Jurnal Perempuan, Senin, 13 November 2006 
<http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-720%7CX>
*
*
Jurnalis kontributor: Dewi Candraningrum

*Jurnalperempuan.com-Jerman. *Terinspirasi oleh interpretasi Syariah 
secara literer yang tidak mengindahkan hak-hak dasar perempuan dan 
kelompok minoritas di Indonesia, seperti dengan diterapkannya 
Perda-perda Syariah, Pusat Informasi untuk Asia Tenggara (SOAI - 
/Suedostasien Informationsstelle, Asienhaus/) bekerjasama dengan MATA 
Asien im Blick, BIZ (/Bremer Informationszentrum fuer Menschenrechte und 
Entwicklung/), Eine Welt Forum Aachen, Ueberseemuseum Bremen, dan IMBAS 
Frankfurt menggelar kembali seminar sehari dengan tema ?Neue Willkuer 
gegen Frauen in Indonesien: Frauenrechte & Perda Sharia? (Menimbang 
Nasib Perempuan dalam Perda Syariah) pada Sabtu (11/11) lalu di Museum 
Laut Bremen. Seminar ini merupakan seminar lanjutan yang diadakan di 
Muenster oleh SOAI pada (15/07/2006) dengan tema yang sama.

Claudie Kuhn, dari MISEREOR Aachen, menyatakan bahwa kesadaran kritis 
berwawasan gender merupakan kunci pokok pemberdayaan perempuan di 
Indonesia. Tanpa hal ini, perempuan akan mudah dipolitisasi dalam 
kebijakan yang tidak responsif gender. Sementara Sri Tunruang dari Eine 
Welt Forum Aachen menyayangkan bahwa budaya patriarki dalam masyarakat 
Aceh telah menyumbang angka kematian perempuan yang lebih besar ketika 
bencana tsunami terjadi. Dia menyatakan bahwa ketika bencana terjadi, 
banyak perempuan Aceh tidak bisa berenang dan memilih menyelamatkan anak 
dan bayi. Jumlah korban perempuan yang tiga lebih tinggi daripada 
laki-laki ini terjadi juga di Sri Lanka. Pascatsunami, Sri menambahkan, 
perempuan Aceh kembali menjadi korban formalisasi Syariah yang lebih 
banyak mengatur cara perempuan berpakaian dan berperilaku. Dia 
menyayangkan sikap aparat pemerintah yang menerjemahkan Syariah secara 
patriarkis dan literer.

Untuk mengatasi hal ini, dalam pernyataan pembuka, Dewi Candraningrum 
dari SOAI, menegaskan perlunya interpretasi Syariah berperspektif gender 
di Indonesia agar perempuan memiliki agensi penuh di hadapan formalisasi 
legal Syariah. Lebih jauh dia memaparkan beberapa organisasi perempuan 
Islam progresif semacam Rahima yang dipimpin oleh Ciciek Farha dan LKAJ 
(Lembaga Kajian Agama dan Gender) yang dipimpin oleh Siti Musdah Mulia, 
telah memberikan sumbangan sangat penting dalam reformasi Syariah yang 
berperspektif gender. Namun, dia menyayangkan, masih lemahnya organisasi 
perempuan Islam yang bergerak dalam bidang politik yang dapat 
menjembatani reformasi doktrin (teologis dan Syariah) oleh kelompok 
perempuan progresif dari NU dan Muhammadiyah ini kepada akses kebijakan 
legal formal di DPR Pusat dan Daerah. Hal ini mengakibatkan lemahnya 
posisi tawar hak-hak dasar perempuan dalam formalisasi kebijakan ini. 
Lebih jauh dia menyayangkan bahwa perempuan telah sengaja ?ditinggalkan? 
dalam proses /legal drafting/ di beberapa Perda tersebut. Suara 
perempuan, tandasnya, harus diakomodasi. Spirit kesetaraan harus menjadi 
dasar dalam penyusunan kebijakan tersebut.

Seminar yang diliput oleh wartawan dari Deutsche Welle dan dihadiri oleh 
mahasiswa & dosen SEA, penggiat HAM dan beberapa aktivis perempuan di 
Jerman yang terlibat dalam diskusi, yang dimoderatori oleh Patrick 
Ziegenhain (peneliti dari Arnold-Bergstraesser-Institut, Freiburg), ini 
menyatakan dukungan dan solidaritas penuh kepada Komnas Perempuan dan 
kelompok-kelompok perempuan di Indonesia (yang tergabung dalam Bhineka 
Tunggal Ika) yang berjuang dalam mengajukan /judicial review/ terhadap 
beberapa Perda yang tidak memiliki wawasan gender dan diskriminatif 
terhadap kelompok minoritas.*



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to