[wanita-muslimah] sunat perempuan_3
Khitan Perempuan Oleh KH. Husein Muhammad (Tulisan ini diambil dari buku KH. Husein Muhammad " Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender") Mungkin bagi sementara orang adalah sebuah ironi yang sangat menyakitkan ketika fiqh klasik disinyalir memberi kesempatan kepada lelaki untuk meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual secara optimal, sedangkan kaum perempuan terus diredam, dilemahkan, bahkan dikebiri agar agresivitas hasrat seksualnya bisa dikontrol oleh komunitas yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum lelaki. Hal demikian di antaranya dapat ditemukan dalam tradisi khitan perempuan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai budaya kuno manusia ketimbang hukum agama. Khitan, yang sering juga disebut "sunat", merupakan amalan atau praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat manusia dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan tidak hanya diberlakukan terhadap anak lelaki, tetapi juga terhadap perempuan. Dalam berbagai kebudayaan, peristiwa khitan sering kali dipandang sebagai peristiwa sakral, seperti halnya peristiwa perkawinan. Kesakralan khitan tampak dalam upacara-upacara yang diselenggarakan untuk itu. Akan tetapi, fenomena kesakralan dengan segala upacaranya itu memang terlihat hanya berlaku pada khitan anak laki-laki. Untuk khitan perempuan jarang terlihat. Dalam masyarakat muslim, amalan atau praktik khitan dikaitkan dengan millah Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai bapak para Nabi (Abu al-Anbiya'') dan diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Di dalam Al-Qur'an dinyatakan: Artinya: "Hendaklah kamu mengikuti millah (agama) Ibrahim yang lurus." QS an-Nahl 16:123. Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Untuk lelaki, pelaksanaan khitan hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulup (qulf) penis lelaki; sedangkan untuk perempuan berbeda di setiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klentit (clitoris) dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora).14 Kata khitan berasal dari bahasa Arab yang secara umum berarti memotong. Dalam fiqh, secara umum khitan adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu. Pada praktiknya, khitan lelaki berbeda dengan khitan perempuan. Khitan lelaki didefinisikan oleh al-Mawardi dengan: "Pemotongan kulit yang menutup hasyafah (kepala penis)", sedangkan khitan perempuan adalah: "pemotongan bagian paling atas (klentit) dari faraj (kemaluan) perempuan, di atas tempat masuknya penis, yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jago."15 Dalam tulisan fiqh kontemporer, Syaikh Sayyid Sabiq berkata: "Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan dapat merasakan kenikmatan jima' dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan adalah dengan memotong bagian teratas dari faraj-nya. Khitan ini adalah tradisi kuno (sunnah qadimah)."16 Berarti, bagi lelaki, khitan dengan memotong kulup adalah sangat positif, karena ia selain berpotensi menyimpan penyakit kelamin juga menyebabkan terjadinya pemancaran dini (ejaculitio seminis), sebab kepala penis yang berkulup lebih sensitif daripada yang tidak berkulup. Dengan demikian, khitan dengan pemotongan kulup bagi lelaki secara medis adalah sehat, dan akan menambah kenikmatan dan memperlama berlangsungnya hubungan seksual sehingga secara optimal lelaki dapat menikmati pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebaliknya, khitan pada perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang akan membawa kenikmatan prima, dengan pemotongan organ tersebut, daerah erogen akan berpindah dari muka (clitoris) ke belakang (liang vagina), dan karena itu, rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis, karena dengan praktik itu sangat memungkinkan perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali, bahkan praktik itu tidak sedikit yang mengakibatkan kematian bayi. Praktik khitan perempuan ini, yang masih mendapat legitimasi dari sebagian budaya di beberapa belahan bumi, akhir-akhir ini mendapat tantangan dan tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, terutama WHO dan LSM-LSM yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan. Para aktivis gerakan ini juga menggugat semua tatanan budaya dan tradisi yang dinilai memberikan jalan pada berlangsungnya praktik yang sangat merugikan kaum perempuan tersebut, termasuk di antaranya teks-teks agama. Di dalam Islam, hukum khitan sebenarnya bisa diformulasikan kembali dengan mengacu pada perspe
[wanita-muslimah] Sunat Perempuan_3
SUNAT PEREMPUAN:Cermin Bangunan Sosial SeksualitasMasyarakat Yogyakarta dan Madura1Basilica Dyah Putranti2The objective of the study is to comprehend how the practice of Female Genital Cutting (FGC), or 'sunat perempuan' in local term, reflects a social contruction of sexuality in Indonesia society, and how it relates to sexual and reproductive health. The study was conducted during 2002 in Yogyakarta and Madura, considering that both areas have distinct sociocultural contexts. First, a survey was conducted with 190 female respondents to find the tendency of the practice of FGC. In-depth interviews were held to more deeply understand people's view and to discover the intensity of the practice. The key informants were religious leaders, ethnic group members, FGC medical and non-medical practicioners, and persons who had directly experienced genital cutting.The study reveals that FGC, as MGC, is socially meant 'to Islamize' member of society. The meaning is culturally rooted on Javanese mysticism, a worldview base on syncretism of animism, dynamism, Hinduism, Budhism, and Islam. However, different norms-emphasized about FGC and modification of its practice are applied in the areas studied. It had discovered that the Madurese can be fanatical in refering FGC as a religious obligatory. The male religious leaders' dominance and rigid interpretations of Islamic holy books may be conducive for male-biased sexual behaviors and harmful procedures of FGC among Madurese. Among Javanese, by contrast, FGC is known as a part of court tradition, to be connected with a puberty rite which articulates symbolic actions. As opened social discourse is more accepted among Javanese, FGC is easily forgotten. Nonetheless, the meaning of FGC as a puberty rite has served as a basis for gender divisions among Javanese todays.Sebenarnya perdebatan mengenai sunat perempuan sudah dimulai di tingkatinternasional sejak tahun 1960an oleh aktivis dan tenaga medis di Afrika yangmenyuarakan konsekuensi kesehatan dari praktik sunat perempuan ini kepada PBB dan WHO. Namun suara tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius denganmenghasilkan suatu peraturan formal. Baru dalam dua dekade berikutnya sunatperempuan mulai sering dibahas dalam berbagai konferensi internasional, dan akhirnya ditegaskan dalam Konferensi Perempuan ke-4 di Beijing tahun 1995 sebagai isukekerasan terhadap perempuan yang dapat menjadi ancaman bagi kesehatan reproduksi (Althaus 1997).Di Indonesia, sunat perempuan baru mulai dipersoalkan setelah gencarnyaperbincangan mengenai gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis kira-kira sejak lima tahun terakhir ini. Sebelumnya kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannyadipandang tidak cukup membahayakan kesehatan. Satu-satunya informasi mengenaisunat perempuan di Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau Alor, dan suku Sasak di Lombok. Dalam studi tersebut juga dilaporkan bahwa sunat 1Paper ini ditulis berdasarkan penelitian tentang "Sunat Laki-Laki dan Perempuan di Yogyakarta dan Madura" yang dilakukan oleh penulis bersama dengan Muhadjir Darwin, Faturochman, SriPurwatiningsih, dan Issac Tri Oktaviantie. Paper serupa juga tengah dipersiapkan bersama Muhadjir Darwin untuk penerbitan buku 'Crafting Sexual Pleasure in Southeast Asia: Explorations of Gender Relations and Sexual Health" bekerja sama dengan Australian National University dan The Ford Foundation.2Staf Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Page 2 Center for Population and Policy StudiesGadjah Mada UniversityS. 321, May 29, 20032perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, yaitudengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris (Feillard & Marcoes 1998).Di kalangan ilmuwan/wati di Indonesia, perbincangan mengenai sunat itu sendiri seringkali mempersoalkan sejak kapan praktik ini dilakukan di Indonesia; apakahbersamaan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 16, atau sudah ada jauhsebelumnya sebagai bagian tradisi masyarakat asli. Sedangkan dalam perbincangangender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi, persoalan berkembang seputarbagaimana sunat perempuan berfungsi untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam rangka memperkuat sistem masyarakat yang patriarkhis.Tulisan ini mencoba mengkaitkan kedua persoalan di atas dalam rangkamenggambarkan sebuah bangunan sosial seksualitas masyarakat Yogyakarta danMadura, seperti tercermin melalui fenomena sunat perempuan. Perbedaan karakteristik kedua daerah