http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=667:teror-a-tantangan-elit-politik-baru&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131


 
TEROR & TANTANGAN ELIT POLITIK BARU    
Written by Effendi Hasan |
Mahasiswa S3 Bidang politik Universiti Kebangsaan Malaysia.    
Thursday, 03 December 2009 07:37 


AKHIR-AKHIR ini kekerasan dan teror marak menimpa pekerja asing di Aceh, 
terutama diarahkan kepada negara-negara donor yang selama ini sangat konsen 
membantu Aceh selepas peristiwa tsunami 26 Desember 2004. Kejadian-kejadian 
tersebut sempat menggemparkan berbagai kalangan di Aceh serta pihak luar. 
Penembakan terhadap Kepala Perwakilan Palang Merah Jerman dr Erhard Bauer, 
penembakan guest house (wisma tamu) Uni Eropa yang ditempati Kepala Perwakilan 
Uni Eropa Wilayah Aceh John Penny bersama isterinya Monica, penembakan terhadap 
rumah yang ditempati dua perempuan berkebangsaan Amerika Serikat Michelle Ahmad 
dan Sarah Willis di kompleks perumahan dosen di Desa  Kopelma Darussalam adalah 
skenario teror baru yang ditujukan kepada warga negara asing (WNA) di Aceh. 
Kasus ini telah meresahkan tidak hanya rakyat Aceh akan tetapi  warga negara 
asing yang sedang membangun Aceh pasca tsunami. Sebagai rakyat biasa kita hanya 
bisa berharap  pihak kepolisian untuk segera mengusut aksi teror tersebut 
secara cepat dan proposional.

Mengapa teror-teror tersebut ditujukan kepada warga negara asing? Apakah ada 
indikasi untuk menjadikan Aceh menjadi sarang kekerasan baru paska MoU? Kalau 
indikasi ini benar, sungguh kita sesalkan karena selain akan mencoreng nama 
baik Aceh yang sangat menghormati tamu asing yang jelas mempunyai komitmen 
tinggi untuk membangun Aceh dari keterpurukan pasca tsunami dan perundingan 
Helsinki. Selain indikasi di atas, Berbagai faktor lain juga akan muncul ketika 
kita menganalisa beberapa kejadian teror tersebut. Menurut Aryos Nivada ( 
Serambi 25-11-2009) teror terhadap warga negara asing di Aceh tidak hanya 
bersifat tindakan kriminal murni akan tetapi lebih jauh dari itu telah memasuki 
motif politik. Pertama, kasus ini ingin mencari perhatian dari seluruh 
masyarakat Aceh maupun dari masyarakat internasional. Kedua, suatu upaya untuk 
menunjukkan kondisi Aceh belum aman untuk mencari perhatian Marrti Ahtisaari 
yang hendak melakukan kunjugan ke Aceh pada akhir tahun ini seiring dengan 
berakhirnya mandat Forum komunikasi dan Koordinasi. Ketiga, pengalihan isu 
pembangunan Aceh yang lamban.

Terlepas dari beberapa faktor kejadian teror yang sedang mencari sasaran di 
Aceh, apakah itu kriminal murni, atau mempunyai motif politik, yang pasti 
berbagai skenario sedang dilakukan oleh kelompok yang ingin Aceh tidak aman. 
Modus operandi ini sama mirip kejadian teror menjelang pemilihan umum 2009. 
Kalau skenario sebelumnnya yang disasarkan adalah beberapa aktivis partai 
lokal, sedangkan saat ini sasarannya adalah warga negara asing. Apapun modus 
operandi kelompok tersebut tujuannya adalah ingin merusak perdamaian Aceh yang 
sudah berlangsung selama 4 tahun. Kelompok tersebut tidak senang bila rakyat 
Aceh hidup dalam pembangunan dan kedamaian, mereka akan mencari segala celah 
untuk menciptakan konflik baru di Aceh, dengan demikian nama baik Aceh diluar 
akan tercemar dari segi keamananan dan kestabilan politik. Keadaan ini 
menyebabkan negara-negara luar akan mengeluarkan peringatan (travel warning) 
melarang warga negaranya untuk mengunjungi atau memasuki wilayah Aceh.

Beberapa peristiwa teror yang sedang terjadi di Aceh pada satu sisi juga 
memberi kesimpulan betapa belum mengakarnya pembangunan perdamaian (peace 
building) di Aceh. Peristiwa-peristiwa tersebut juga akan menjadi suatu 
tantangan serta peringatan bagi elit politik baru di Aceh baik ditingkat 
eksekutif maupun legislatif, bahwa membangun perdamaian juga harus 
memperhatikan faktor-faktor sekecil apapun yang menyebabkan rusaknya perdamaian 
tersebut. Hal ini sangat menarik bila kita mengutip ucapan Dr Marthin Luther 
King Jr yang pernah mengatakan bahwa "Peace is not the absence of conflict, but 
the presence of justice", sebuah perdamaian yang asasi bukan sekadar ketiadaan 
konflik, namun harus diiringi dengan adanya keadilan. Tanpa adanya keadilan, 
perdamaian yang hakiki sebenarnya belum terlaksana.

Ibnu Khaldun juga pernah memberi nasehat yang dapat diambil pelajaran oleh 
pemimpin serta elit politik baru Aceh, "ketika kelas penguasa mulai terbiasa 
dengan gaya hidup mewah, kepuasaan pada diri sendiri mulai muncul dan mereka 
mulai kehilangan semangat perjuangan. Mereka kurang memperhatikan kebutuhan 
rakyat dan berlomba-lomba dengan prestise dan buta dengan kewewahan,  maka 
terjadilah perselisihan dan perekonomian pun mulai mengalami kemunduran. Dengan 
demikian, suatu negeri menjadi rentan terhadap kelompok suku atau nomaden baru 
yang semangat ashabiyah-nya sedang bangkit, dan sebuah siklus baru mulai 
bangkit". Ibnu Khaldun memberi nasehat ini setelah melihat bagaimana 
kejatuhan-kejatuhan negara Mongol  selama paruh kedua abad 14 akibat dari 
kehidupan elit yang mengabaikan keadilan rakyat serta telah hidup dalam budaya  
keserakahan (Karen Armstrong, 2004: 140).

Nasehat Marthin Luther dan Ibnu Khaldun memberi isyarat bahwa faktor 
ketidakadilan akan menjadi biang keladi terganggunya perdamaian, keresahan 
dilapisan bawah, menyebabkan terjadinya kesenjangan yang mencolok. Faktor 
tersebut kemudian akan melahirkan konflik serta tindakan kekerasan. Terganggu 
perdamaian dapat disebabkan oleh nafsu tamak harta, kuasa dan dominasi serta 
nafsu monopoli baik dari segi ekonomi maupun kultural.

Mahatma Gandhi pernah mengibaratkan sifat keserakahan tersebut; "Dunia kita 
tidak dapat menyediakan materi cukup untuk memuaskan keserakahan semua orang, 
tetapi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang". Elit politik Aceh 
sudah saatnya belajar hidup sederhana serta lebih memiliki rasa kepedulian 
(sense belonging)  terhadap kemaslahatan rakyat seperti ungkapan Mahatma 
Gandhi. Pilkada 2006 serta Pemilu 2009 merupakan manisfestasi amanah rakyat 
kepada pemimpin terpilih untuk memperjuangkan nasib rakyat dari segala 
ketidakadilan. Bukan sebaliknya pemimpin-pemimpin rakyat terpilih menggunakkan 
legitimasi rakyat tersebut untuk memperkayat diri sendiri, keluarga, 
kelompoknya serta partainya.

Kalau prilaku ini terjadi maka sungguh keadilan dan kejujuran tidak dapat 
diharapkan di Nanggroe Aceh ini. Tidak ada lagi yang memperjuangkan nasib 
rakyat termasuk pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Keadaan ini ibarat cerita 
Abu Nawas, "pada suatu hari datang seorang lelaki dewasa ke rumah Abu Nawas dan 
ingin menyewa seekor keledainya.Abu Nawas memperhatikan sekilas tamu tersebut 
dari serban dikepala sampai ke kasut di kaki, gerak-gerik dan roman mukanya, 
lalu berkata " Maaf, saudara, semua keledai sudah disewa orang yang sampai hari 
ini belum kembali". Ketika berbasa-basi mengakhiri percakapan untuk pulang, 
tiba-tiba terdengar ringkik keledai di kandang rumah. Calon penyewa segera 
bertanya "Bukankah yang kedengaran itu keledai"? Dengan perasaan marah Abu 
Nawas balik bertanya "saudara lebih percaya kepada keledai atau kepada saya"? 
Ia tersinggung karena kredibilitas keledai dianggap lebih tinggi dari pada dia.

Kita tidak menginginkan ketidakjujuran yang dipraktekkan oleh Abu Nawas akan 
merasuki pemimpin atau elit politik baru Aceh, ketika kampaye pemilu 2009 
mereka berjanji kepada rakyat untuk membela nasib mereka, tetapi setelah mereka 
duduk dan terpilih sebagai wakil rakyat telah lupa nasib rakyat serta janji 
yang pernah diucapkan. Nasib rakyat berada dalam papa tanpa ada yang 
memperdulikannya. Faktor kekecewaan rakyat inilah yang perlu dijaga sehingga 
tidak melahirkan kekecewaan di mana-mana. Termasuk timbulnya gerakan rakyat 
atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk 
melimpahkan kekecewaan tersebut dengan berbagai tindakan kekerasan yang 
bersifat teror dan lain sebagainya. Wallahu'alam. 

| Effendi Hasan | Mahasiswa S3 Bidang politik Universiti Kebangsaan Malaysia.


Hak Cipta Terlindungi  @ Copyrights by The Aceh Institute

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke