Tanggapan Ulil tentang tulisan Hartono dan adab dalam diskusi. Ada komentar menarik lain tentang perbedaan pendapat di poin poin di bawahnya.
salam, Ari Condro ----- Original Message ----- From: "Ulil Abshar-Abdalla" <[EMAIL PROTECTED]> Salam, Saya menghargai teman-teman Mesir yang membuat laporan tentang diskusi seperti ini. Laporan semacam ini sangat baik, supaya mencegah adanya "sas sus" yang kurang sehat. Saya mengalami peristiwa yang agak kurang baik bekaitan dengan Hartono ini. Suatu ketika diadakan diskusi buku "Ada Pemurtadan di IAIN" di UIN Jakarta. Saya, Abdul Moqsith, dia dan Attamimi menjadi pembedah buku itu. Yang datang memblukak, dan diskusi berlangsung dengan panas, sangat tidak sehat, penuh caci maki (yaitu dari Attamimi), dan sama sekali di bawah standar ilmiah. Beberapa hari setelah diskusi, saya mendapatkan semacam "laporan" tentang diskusi itu yang ditulis oleh seseorang yang mengaku "Abu Qori" atau siapa (saya lupa tepatnya, yang jelas memakai nama samaran). Saya malas membaca laporan itu, tetapi saya paksakan juga. Dalam laporan itu, ada bagian yang berisi kutipan dari saya, dan sama sekali tidak muncul dalam diskusi. Kutipan itu saya sampaikan langsung kepada Hartono saat diskusi sudah usai, di kamar terpisah. Saya jadi tahu, ternyata yang bikin laporan itu adalah Hartono. Dia pura-pura pakai nama lain. Dia memulai laporan itu dengan kira-kira mengatakan bahwa diskusi di UIN itu sangat penting. Tetapi dia kecewa karena tidak ada media yang meliput. Setelah meungguh berhari-hari tidak ada liputan media, maka dia tergerak untuk "meliput sendiri". Karena dia tidak mau diketahui identitasnya, dia pakai nama samaran. Tetapi dia toh akhirnya tidak bisa menyembunyikan identitasnya. Yang lebih menjengkelkan lagi tentu adalah, diskusi yang panas di UIN itu direkam melalui handycam oleh seseorang yang saya kira (wallahu a'lam) dari kelompok garis keras, dan kemudian diperbanyak dalam bentuk VCD dan dijual di pasaran. Saya sempat membeli VCD itu waktu salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa beberapa bulan yang lalu. Sudah jelas, tindakan semacam ini tidak etis. Sebab, si perekam itu tidak minta izin sama saya (sekurang-kurangnya), atau memberi tahu, sehingga saya bisa melihat bentuk akhir tayangan diskusi itu, dan memberikan saran dan masukan jika ada hal-hal yang saya rasa kurang etis untuk dikemukakan kepada publik luas. This has nothing to do with money, please. Yang mengherankan, VCD itu dijual dengan peringatan dalam kovernya, "tidak boleh menggandakan VCD ini tanpa izin kepada ...." (saya lupa nama pihak yang memperbanyak VCD itu). How can this "man" talk about coyright while he has no right to copy? Yang mengecewakan adalah cara-cara yang kurang "berakhlak" yang dipakai oleh orang semacam Hartono untuk mendiskreditkan lawan-lawan diskusinya. Dalam buku "Ada Pemurtadan di IAIN" itu, misalnya, dia menyebut isteri Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah Wahid, yang getol memperjuangkan kesetaraan jender dan sangat anti poligami, dengan profiling yang menyinggung cacat fisik. Hartono memakai kata-kata kira-kira (saya lupa detilnya), "Ibu Nuriyah Wahid yang jompo itu". Cara serupa dia pakai untuk Cak Nur. The whole point is: buku Hartono itu sama sekali tak memakai adab diskusi sebagaimana dianjurkan dalam Isam, "wa jadilhum billati hiya ahsan". Buku itu penuh dengan kebencian, kedengkian, caci-maki, dan kata-kata kasar, suatu hal yang membuat saya ragu saya heran, bagaimana mungkin seseorang mengaku membela Islam --agama yang turun konon untuk "menyempurnakan akhlak" ini-- dengan cara-cara yang menjauhi akhlak. Saya kerap dikritik karena melontarkan kata-kata "tolol" kepada fatwa MUI. Sekali lagi saya katakan, saya khilaf, saya sudah sampaikan ke publik bahwa itu khilaf dan saya minta maaf. Tetapi kekhilafan saya ini tak sebanding dengan kata-kata kasar yang dipakai oleh Hartono (dan juga oleh seorang pengurus dalam MUI sendiri, saya tak akan sebut namanya, ketika menyebut JIL sebagai "Jaringan Iblis La'natullah"). Baik Hartono (atau pengurus MUI) itu tak pernah mengaku khilaf, apalagi minta maaf. Dalam diskusi di UIN itu, saya sampaikan bahwa cara Hartono (dan orang-orang semacam dia yang sekarang mulai banyak di Jakarta) yang tak memakai adab itu, menurut pemahaman saya yang sederhana tentang Islam, berlawanan dengan etik yang dikemukakan dalam Surah Al Hujurat, "Ya ayyuhalladzina amanu la yaskhar qaumun min qaumin 'asa an yakunu khairan minhum, wa la nisa'un min nasa'in 'asa an yakunna khairan minhunna, wa la talmizu anfusakum wa la tanabazu bil alqab". Ayat itu melarang orang "beriman" untuk saling menghina yang lain dengan kata-kata yang kasar, dan saling memanggil satu dan yang lain dengan "sebutan" (laqab) yang buruk, seperti profiling Hartono terhadap Ibu Shinta Nuriyah yang dia sebut sebagai "yang jompo" itu (maaf, Ibu Shinta pernah mengalami kecelakaan mobil bertahun-tahun yang lampau, dan dia kemudian mengalami kelumpuhan hingga sekarang). Ketiadaan tata krama dan adab semacam ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena sejak dulu kecenderungan semacam ini sudah ada. Itulah yang mendorong Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) menulis buku yang sangat baik sekali, "Dahulukan Akhlak sebelum Fikih". Saya menganjurkan teman-teman untuk membaca buku yang sangat bagus ini. Kecenderungan itu juga terjadi di Timur Tengah, dan mendorong seorang alim besar seperti alm. Muhammadi Al Ghazali, seorang penulis Islam yang "style" tulisannya sangat enak dinikmati dan termasuk paling saya sukai, menulis buku "Al Haqq al Murr" (Kebenaran yang Pahit). Ketiadaan adab itu pula yang menyebabkan orang seperti Adian Husaini menulis sebuah kolom pendek (kalau tidak salah; mohon koreksi kalau saya keliru) di Majalah Hidayatullah tentang meninggalnya Cak Nur. Menurut Adian, mengutip sebuah informasi yang ia dengar dari orang lain (dan orang lain mengutip dari komentar Akbar Tanjung (?) di koran) bahwa waktu meninggal, wajah cak Nur hitam legam. Lalu, hal semacam itu dispekulasikann sebagai semacam "peringatan" dari Allah terhadap Cak Nur -- suatu cara berpikir yang lucu dan menggelikan. Kalau pun benar wajah Cak Nur hitam legam (kalau benar), maka menceritakan keadaan orang yang meninggal dan menyebar-nyebarkannya kepada orang lain jelas kurang sesuai dengan etik Islam. Dalam ajaran Islam yang saya terima di pesantren, jika anda melihat jenazah, dan di sana ada hal-hal yang kurang lazim berkaitan dengan jenazah itu, maka anda dianjurkan untuk tidak memberitahukan hal itu kepada orang lain. Dalam hadis disebutkan, "Man satara 'uyuba akhihi satara Allahu 'uyubahu yaumal qiyamah (au kama qal ar Rasul saw.) Artinya: barangsiapa menutupi cacat saudaranya, maka Allah akan menutup cacatnya di hari kiamat nanti. Ketiadaan adab itu pula yang menyebabkan sejumlah orang dari Majlis Mujahidin Indonesia datang, membesuk Cak Nur, beberapa minggu sebelum beliau meninggal, dan meminta Cak Nur untuk bertobat. Permintaan bertobat itu pula pernah ditulis oleh Adian Husaini dalam kolom tetapnya di Majalah Hidayatullah. Saat orang-orang MMI meminta Cak Nur bertobat, terjadi ketegangan antara mereka dengan Mas Utomo Dananjaya yang saat itu mendampingi Cak Nur. Mas Tom --begitu saya sering memanggil dia-- marah karena orang-orang itu tidak mengerti kondisi Cak Nur yang sedang sakit. Tetapi, perkenankan saya memberi komentar tentang tobat ini sedikit lebih lanjut. Sebab, saya juga mendapat ratusan sms dan email pribadi yang isinya meminta saya bertobat. Menurut saya, ada "fallacy" atau waham atau kesalahan cara berpikir dalam hal ini, dan itu kemudian menjadi umum dalam masyarakat. Pertama, dalam sejarah Islam, jarang atau bahkan tidak ada seorang 'alim yang mengemukakan suatu pendapat tentang suatu hal dalam Islam, kemudian dianggap salah oleh lawan diskusinya dan kemudian disuruh bertobat. Pendapat biasanya dilawan dengan pendapat. Itulah yang dilakukan Imam Ghazali dengan menulis buku "Tahafut al Falasifah" atau "Fadha'ih al Bathiniyyah" yang berisi sanggahan atas kuam filsuf (buku pertama) serta kaum syi'ah Isma'iliyyah (buku kedua). Dalam buku itu, Imam Ghazali tidak meminta para filsuf itu untuk bertaubat. Sebab pikiran bukanlah tindakan kriminal yang dosa. Jika anda berbuat zina atau maling, maka anda mesti bertobat. Tetapi jika anda berpikir, anda dijamin penuh haknya oleh Islam. Bahkan Nabi memberikan jaminan, siapa yang berijtihad dan berpikir, orang itu tak pernah akan rugi. Sebab, kalau benar dapat dua "bonus", kalau pun salah tetap dapat satu. Kedua, jika anda meminta bertobat kepada lawan diskusi anda, maka anda seolah-olah menempatkan diri sebagai "wakil kebenaran Tuhan" di muka bumi. Seolah-olah orang itu mutlak berada di pihak yang benar. Seolah-olah orang-orang MMI yang datang membesuk Cak Nur itu dan meminta dia bertobat adalah pasti di pihak yang benar. Siapa yang bisa menjamin bahwa dalam suatu diskusi sayalah atau anda berada di pihak yang benar dan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan? Tidak ada! Oleh karena itu, permintaan tobat itu adalah sikap kesombongan yang tak layak bagi seorang Muslim. Itu adalah sebentuk arogansi keagamaan. Itu berlawanan dengan etik yang ditegaskan dalam Quran, "wa la tuzakku anfusakum", janganlah merasa diri paling bersih, paling benar, dan yang lain kotor dan pasti salah. Seorang beriman dianjurkan untuk bersikap rendah hati, yang dalam Islam disebut sebagai etika "hilm" (saya ingat istilah ini justru saat mengikuti kuliah Adam Seligman, pengarang buku terkenal "The Idea of Civil Society", bukan ahli Islam tetapi peminat besar sufisme Islam; dan ..... seorang Yahudi [sebentar lagi akan beredar isu "Ulil belajar sama Yahudi, pantesan."]). Ketiga, taubat adalah pertama-tama merupakan bentuk hubungan pribadi antara seorang mukmin dengan Khaliknya. Seseorang mau bertobat atau tidak, itu adalah urusan dia dengan Tuhannya, dan kita tidak berhak untuk memaksanya. Dalam fikih Islam, memang ada konsep tentang "istitabah", yaitu meminta seseorang untuk bertaubat. Misalnya, jika seseorang meninggalkan salat selama tiga kali berturut-turut, maka dia harus ditanya, apakah motif dan alasannya. Apakah karena menganggap salat tak wajib atau karena malas. Jika dia tak salat karena malas, maka dia harus diberikan pelajaran dan didorong lagio supaya mau salat. Kalau dia tak salat karena punya penafsiran bahwa salat itu tak wajib, maka dia dianggap kafir, sebab mengemukakan pendapat yang jelas-jelas berlawanan dengan agama. Dia diberikan waktu "grace periode" selama 3 hari dan diminta bertaubat. Itulah istitabah dalam konsep fikih klasik. Jika dalam waktu 3 hari itu dia tak mencabut pendapatnya, maka, menurut sebagian (yang cukup banyak juga) ulama dia harus dibunuh. Saya tak mau menulis terlalu panjang mengenai hal ini. Tetapi saya mempunyai kritik yang banyak terhadap konsep istitabah seperti dalam fikih klasik ini. Konsep ini jelas bukan merupakan sesuatu yang memang dari "sononya" ada dalam Quran atau hadis, tetapi sebagai hasil dari pendapat ulama. Buat saya, pendapat ini harus ditempatkan sebagai masalah ijtihadi, dan karena itu tak bisa dianggap sebagai mutlak kebenarannya. Dasar kritik saya sebetulnya berangkat dari tradisi yang sudah ada dalam fikih sendiri, dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam tasawwuf. Dalam fikih, ada pembedaan antara apa yang disebut sebagai "huqul Lah" atau hak-hak Allah, dan "huquq al adamiyyin", hak-hak manusia. Hak-hak Allah misalnya, salat, puasa, haji, dll. Anda salat atau tidak, itu adalah urusan anda dengan Tuhan. Hak-hak manusia sangat banyak contohnya. Semua hal atau transaksi yang melibatkan dua orang manusia atau lebih adalah bagian dari hak-hak manusia. Hak-hak Allah sangat sedikit jumlahnya. Yang paling banyak adalah hak-hak manusia. Kadiah dasar dalam hak-hak Allah dalah "tasamuh" atau kemudahan, toleransi. Jika anda tak salat atau puasa maka anda bisa langsung bortobat pada Allah, jika Allah berkehendak, Dia akan memaafkannya, jika tidak tentu itu wewenang penuh Tuhan. Tetapi manusia tak boleh mencampuri urusan pribadi antara hambda dan KhalikNya. Tetapi, kaidah dasar dalam hubungan antar manusia adalah "at tasyaddud", artinya harus hati-hati, dipersulit. Jika anda maling harta orang lain, maka anda tak bisa memohon ampunan dari Allah. Anda harus selesaikan urusan itu dengan pihak bersangkutan. Jika pihak bersangkutan memaafkan, ya baik-baik saja. Tetapi jika tidak, ya anda harus berurusan dengan peradilan. Konsep hak-hak manusia ini, dalam pemikiran hukum modern, dikembangkan lebih jauh lagi, sehingga muncul perbedaan antara "delik umum" dan "delik aduan". Saya kira hal ini bisa diterima dalam kerangka hukum Islam. Intinya, istitabah sebagai institusi publik yang dilembagakan, bagi saya, kurang sesuai dengan pembedaan yang dibuat oleh fikih sendiri antara dua jenis hak itu. Bagi saya, taubat adalah urusan pribadi antara seseorang dengan Tuhannya. Orang lain tidak boleh ikut campur dalam hal ini. Keempat, dan yang terakhir, menyangkut pertanyaan mendasar yang bersifat filosofis, yaitu, apakah berpikir dilarang dalam Islam? Apakah ketika anda berpikir, anda diharuskan untuk benar, dan tidak boleh salah? Apakah salah dalam berpikir adalah sesuatu yang dianggap buruk dalam Islam? Bukankah dalam kegiatan berpikir, salah adalah salah satu proses yang harus dilampaui, dan kerapkali merupakan proses yang produktif menuju kepada kebenaran? Bukankah salah adalah bagian dari karakter manusia itu sendiri? Bukankah berpikir adalah suatu kegiatan fakultas mental manusia yang bersifat prosesual, terus "menjadi" (becoming), terus bergerak? Bukankah dalam kegiatan berpikir, modus yang berlaku adalah kritik-dan-otokritik, serta saling koreksi, dalam semangat terus-menerus mencari kebenaran yang belum tentu kita peroleh dalam kehidupan ini? Apakah dalam konteks itu semua, taubat relevan? Terakhir, jika permintaan taubat tidak relevan dalam konteks perbedaan pendapat, apalagi cara lain yang juga diusulkan oleh MMI juga, yaitu "mubahalah" atau sumpah pocong. Saya tidak pernah dengar dalam sejarah Islam, kaum sarjana menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara yang agak aneh ini. Mohon maaf, berkepanjangan. Semoga bermanfaat. Ulil ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/