http://guntur.name/2008/01/18/uji-kelayakan-lembaga-fatwa/
Uji Kelayakan Lembaga FatwaMohamad Guntur Romli

             Apa kriteria sebuah lembaga fatwa (dârul iftâ’) agar bisa 
dipercaya? Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa 
makna. Yang terpenting: fatwa berarti penjelasan atas persoalan yang musykil 
dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
 
Selanjutnya, ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang saya sarikan dari 
pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq, bahwa fatwa adalah penjelasan dan 
pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian–tabyîn al-hukm 
al-syar’i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah 
penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang 
tegas antara fatwa dan hukum syariat.
 
 
Yang lebih penting lagi dari penjelasan tentang fatwa tersebut bahwa fatwa dari 
seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti, tak ada keharusan untuk menjalankan 
sebuah fatwa. Kesimpulan yang bisa ditarik: sifat fatwa tidak mengikat, karena 
ia hanyalah penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak 
mutlak sebagaimana hukum syariat.
 
Jarak antara syariat dan pendapat ini sangat disadari oleh para imam pendiri 
empat mazhab yang terkenal dalam fikih: Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan 
Hanbali. Menurut Imam Hanafi, “Tak seorang pun boleh mengambil pendapat kami, 
tanpa mengetahui asal-usul pendapat kami.” Imam Maliki berujar, “Aku manusia 
biasa, bisa benar dan salah, maka telaahlah pendapatku.” Imam Syafi’i 
menegaskan, “Jika Anda menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunah, 
ikutilah sunah dan tanggalkan pendapatku.” Imam Hanbali menyimpulkan, “Jangan 
bertaklid padaku atau pada Maliki, Syafi’i, Awza’i, atau Tsauri, ambillah 
asal-usul pendapat mereka.”
 
Para “imam-mazhab” itu sangat menyadari keterbatasan ijtihad manusiawi dan 
adanya batas di antara dua wilayah: syariat dan pendapat, serta iktikad untuk 
menggerus kerak fanatisme yang acap kali menutupi akal sehat umat.

Fatwa juga tidak bisa menjadi hukum publik. Dikisahkan dalam kitab Siyar A’lâm 
Nubalâ’(Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah 
meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi hukum negara, 
dan menggantungkannya di Ka’bah, dengan tegas Imam Malik menolak.
 
Pun sebuah fatwa harus dikeluarkan dengan penuh hati-hati. Fatwa tak bisa 
dilontarkan secara amat mudah (al-tasâhul): tak semua pertanyaan dibutuhkan 
fatwa, tak harus menjawab seluruh pertanyaan gara-gara menjaga gengsi. 

Menjawab semua pertanyaan adalah kegilaan. Dari hadis riwayat Al-Baihaqi, 
“Barang siapa yang menjawab seluruh pertanyaan dari manusia, berarti dia 
majnun. Singkatnya, mudah berfatwa hanya dilakukan oleh orang gila.”
 
Dengan demikian, para ulama fikih klasik yang memperbincangkan tema ini tidak 
memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi 
mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’) memiliki posisi 
yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.
 
Namun, risikonya jauh lebih besar. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Darami, 
misalnya, “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian berarti ia paling 
berani masuk neraka.” Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang 
memiliki bekal ilmu pengetahuan yang lebih. Bagi mereka yang berfatwa–dalam 
beberapa riwayat hadis disebutkan “tanpa ilmu”–diancam hukuman berlapis-lapis: 
“dilaknat malaikat langit dan bumi”, “didudukkan di atas api neraka”, dan 
“menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya”.
 
Namun, yang terjadi saat ini bertolak belakang. Dalam konteks politik, fatwa 
kekinian yang sering dimunculkan hanyalah doktrin bahwa ulama ahli waris nabi, 
sedangkan kewajiban dan kriterianya dibenamkan dalam-dalam.
 
Padahal Nabi Muhammad diakui sebagai nabi karena memiliki kriteria kenabian, 
yang membedakan dia dengan mereka yang hanya mengaku-ngaku nabi. Secara 
otomatis, bagi mereka yang ingin dianggap sebagai ahli waris nabi, tentu saja 
harus memiliki kriteria. Bila tidak, mereka hanya mengaku-ngaku ahli waris nabi.
 
Percakapan tentang kriteria ulama yang mampu berfatwa inilah yang raib dari 
percakapan publik. Maka tak mengherankan bila fatwa malah menimbulkan 
kekacauan. Dalam kondisi ini, perlu ada pembenahan yang harus dilakukan dimulai 
dari pemerintah. Dalam sepanjang sejarah, sebuah majelis fatwa tak terpisah 
dari kekuasaan.
 
Dalam pengantar kitab Al-Majmû’ karya Imam Al-Nawawi, ditegaskan: pemerintah 
memiliki kewajiban menyeleksi para mufti, bila layak, ditetapkan, bila tidak, 
mesti diturunkan. Dalam istilah sekarang, seorang mufti harus melewati uji 
kelayakan. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Dalam kitab ini juga 
diceritakan bahwa Imam Malik tidak pernah berani berfatwa kecuali setelah ada 
70 orang yang memberi kesaksian bahwa ia layak berfatwa.
 
Semestinya uji kelayakan ini diterapkan pada sebuah lembaga fatwa di mana pun, 
termasuk di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia perlu melewati uji kelayakan, 
karena MUI hasil bentukan pemerintah sebagai alat kepentingan Orde Baru, 
sehingga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan pemerintah, baik dari 
sisi sejarah maupun donor dana. Dan uji kelayakan terhadap MUI ini juga 
bertujuan menjaga martabat dan integritas organisasi itu.
 
Prediksi ke depan, menurut saya, akan sangat mudah kalau hanya memberikan 
pemahaman kepada masyarakat bahwa fatwa adalah pendapat tentang hukum syariat, 
bukan syariat itu sendiri. Sifat fatwa tidak mutlak dan tak mesti dituruti, 
mengingat masyarakat di negeri kita pun sangat mengenal keragaman fatwa. Karena 
itu, tak layak apabila fatwa dijadikan penghakiman berlebihan terhadap orang 
lain atau fatwa dipandang dengan penuh fanatik, apalagi dijadikan dalih sebagai 
kekerasan terhadap pihak lain.
 
Para penegak hukum di negeri ini semestinya berpegang teguh pada konstitusi 
negeri ini, bukan pada fatwa-fatwa keagamaan itu, yang sifatnya sama sekali 
tidak mengikat. Konstitusi kita menjamin kebebasan dan keragaman beragama di 
negeri ini. Maka jangan pedulikan, bahkan lemparkan jauh-jauh, fatwa yang 
menolak keragaman itu.
 
Namun, langkah yang terberat, dan mungkin sebuah misi yang mustahil, melakukan 
pembenahan dalam organisasi fatwa, terutama menggelar ujian kelayakan bagi para 
mufti itu. Sebab, ketika fatwa mereka dikritik dan dipertanyakan kelayakannya 
karena lebih banyak menimbulkan mafsadah daripada maslahah–  dengan munculnya 
kekacauan di mana-mana–mereka akan balik mendamprat, “Kami ahli waris para 
nabi.”


 Sumber: Koran Tempo, Jumat 18 Januari 2008
        
http://korantempo.com/korantempo/2008/01/18/Opini/krn,20080118,61.id.html


       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke