Nomor : 113/DF-FIB/II/4/2007
Depok, 25 April 2007
Perihal : Undagan Press Conference dan Liputan
Lampiran: Agenda Acara Press Release
Kepada Yth.
Teman Teman Media
Dengan Hormat,
Dalam rangka Hari Perempuan Internasional dan Hari Kartini, Departemen
Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, bekerjasama dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Kedutaan Norwegia di Indonesia
bermaksud mengadakan acara seminar Internasional Women for Peace. Acara ini
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang resolusi PBB 1325 yaitu pemberdayaan perdamaian (peace
building). Peace building dimaksudkan untuk
melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam menegakkan Hak Asasi Manusia,
penghormatan pada hak-hak individu,
perlindungan anak dan keadilan gender. Untuk itu, kami mengundang teman-teman
media hadir pada acara Press Conference
(terlampir agenda acara) :
Hari/Tanggal: Senin / 30 April 2007
Tempat : Hotel Nikko Diamond Room 1-3; Jl. MH Thamrin 59,
Jakarta 10350
Waktu ` 11.30 12.00 (Press Conference)
Pembicara :
- Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono (Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, RI),
- Ms. Anne Stenhammer (Deputi Menteri Pembangunan
Norwegia),
- Ms. Jean DCunha (Regional Director, UNIFEM),
- Dr. Gadis Arivia (Program Director Women for
Peace).
Atas partisipasi dan kepedulian teman-teman pers kami mengucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Dr. Gadis Arivia
Ketua Departemen Filsafat FIB UI
PRESS RELEASE
PEREMPUAN UNTUK PERDAMAIAN
WOMEN FOR PEACE
Senin, 30 April Selasa, 1 Mei 2007
Hotel Nikko
Jl. M.H. Thamrin 59, Jakarta 10350, Indonesia,
Latar Belakang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah secara aklamasi menerima resolusi 1325
pada bulan Oktober 2000 yang memiliki
komitmen untuk menegakkan pemberdayaan perdamaian (peace building) bukan
hanya penjagaan perdamaian(peace keeping).
Maksudnya, pemberdayaan-perdamaian adalah upaya untuk secara aktif
merekonstruksi masyarakat dengan tujuan agar
perdamaian di dalam masyarakat dapat berkesinambungan. Dengan demikian
penjagaan perdamaian bukan saja melibatkan
operasi militer untuk perdamaian akan tetapi lebih menitik beratkan pada
keterlibatan partisipasi masyarakat sipil dan
menegakkan Hak Asasi Manusia, penghormatan pada hak-hak masyarakat sipil,
perlindungan anak, dan keadilan gender.
Pemberdayaan perdamaian dimaksudkan agar tercapai rekonsiliasi di daerah-daerah
yang berkonflik, proses pengadilan yang
efektif, reintegrasi masyarakat yang berkonflik, rekonstruksi ekonomi yang
berkeadilan, dan partisipasi politik yang
fungsional, serta transformasi budaya yang progresif, mempertimbangkan
norma-norma serta kepercayaan agama yang adil untuk
perempuan.
Indonesia menyambut baik komitmen PBB tentang pemberdayaan perdamaian karena
dapat membantu Indonesia untuk mengerti dan
memiliki alat pengetahuan baru tentang banyaknya konflik di tanah air, dan agar
dapat selalu menjaga perdamaian di
Indonesia. Indonesia telah dilanda berbagai konflik. Terdapat dua jenis konflik
yang ditemui di lapangan, yakni, konflik
keinginan untuk merdeka dan konflik komunal. Konflik-konflik yang bertujuan
untuk memerdekakan diri lebih merupakan
konflik antar organisasi politik yang menuntut daerahnya untuk merdeka atau
mengiginkan otonomi daerah yang absolut.
Konflik-konflik semacam ini telah ditemui di Aceh, Papua Barat dan sebelumnya
di Timor-Timur yang kini telah merdeka.
Sedangkan konflik komunal merupakan konflik yang berbasiskan etnis, agama dan
budaya. Konflik-konflik semacam ini ditemui
di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku. Kekerasan
komunal termasuk kekerasan yang terjadi pada
komunitas Cina-Indonesia, khususnya kerusuhan bulan Mei 1998 mengakibatkan
korban yang tidak sedikit.
Kekerasan-kekerasan komunal terjadi di mana-mana, misalnya kekerasan imigran
Madura yang berkonflik dengan orang-orang
beragama Kristen, orang-orang Dayak di Kalimantan Barat di tahun 1999.
Kekerasan juga terjadi di Poso sejak Desember 1998
hingga kini dan konflik antar agama di Ambon.
Korban yang dihasilkan dari konflik-konflik komunal tidak sedikit jumlahnya.
Paling tidak tercatat 750,000 hingga 1.3
juta orang meninggal, terluka dan mengungsi. Konflik-konflik ini memang
meningkat sejak zaman transisi pemerintahan yang
demokratis akan tetapi konflik komunal di Indonesia sebenarnya telah dimulai
sejak Orde Baru di zaman Suharto. Konflik
Aceh, Papua Barat dan Timor-Timur telah memiliki akarnya sejak tahun 1990-an,
bahkan pembantaian terhadap mereka yang
dituduh terlibat dalam G-30S PKI di tahun 1965/66 mengakibatkan korban lebih
dari 500.000 orang yang meninggal.
Pemberdayaan Perdamaian: Kesetaraan