Catatan Bantimurung:   
  PUISI-PUISI ANAK SENTANI
   
    

                   
  4.
   
   
  Ciri lain yang menonjol pada puisi-puisi Luna yang juga pemain teater handal, 
"pemonolog terbaik yang kukenal" jika meminjam penilaian Lily Yulianti penulis 
kucerpen "Makkunrai", serta pernah tampil di TIM Jakarta,  terletak pada 
kesederhanaan pengucapannya. Kesederhanaan , umumnya, memang merupakan ciri 
dari warga masyarakat pedalaman dan agraris. Bahkan di Perancis ini, pun 
orang-orang di propinsi lebih sederhana sikap dan pengucapan mereka 
dibandingkan dengan orang-orang di Paris. "Paris bukan Perancis", sering 
kudengar ucapan begini ketika saya berbicara dengan orang-orang di propinsi. 
Dengan kesederhaan pengucapan dan perbandingan ini, puisi-puisi Luna , yang 
pada akhir bulan April 2008  ini akan turut tampil mementaskan salah sebuah 
karya Riantiarno di Makassar bersama grup teater Tambora, tidak menjadi "puisi 
gelap". Tidak menjadi puisi yang sulit dipahami. Kesederhaan, biasanya 
berhubungan dengan kejujuran pada diri sehingga yang diucapkan, yang ditulis 
terasa
 langsung mengalir dari lubuk hati. Seperti air bening mengalir  dari sumbernya 
di gunung lalu mengarus di sungai mencari muara dan laut. 
   
   
  Sebagai misal saya ambil puisi berikut yang saya ambil dari kumpulan : 
"Jalan-jalan Kecil Ke Rumah"
   
   
     "rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter 
dari jalan umum di bawahnya.

jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, 
bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.

  di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya 
aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang". 


     
   
  [Sumber:http://lunavidya.blogspot.com/2007/08/jalan-kecil-ke-rumah.html] 

   
   
  Ciri-ciri kesederhanaan yang kukatakan di atas, terdapat pada puisi Luna ini. 
Dari puisi ini, bayangan kampungnya di Jayapura, Papua terbayang jelas hanya 
melalui beberapa kata. Dan Luna pun mengungkapkan rindunya secara unik: "karena 
akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu 
petang".
   
   
  Bagi orang yang pernah tinggal di pedalaman, di pinggir sungai atau berada di 
puncak-puncak pegunungan Papua, orang akan segera tahu betapa indahnya 
pemandangan saat matahari akan tenggelam di hulu atau di balik gunung atau 
ketika fajar tiba. 
   
   
  Sedangkan tekhnik pengucapan rindu dilakukan oleh Luna secara unik dan berada 
di luar kejamakan mayoritas puisi dewasa ini yang banyak lahir di daerah urban. 
Tidak heran jika syohib lamaku, budayawan Solo asal Banten, Halim HD mengatakan 
dengan pasti dan berulang-ulang saban jumpa bahwa "Sesungguhnya Bung, etnik dan 
daerah merupakan sumber budaya dan kreativitas luar biasa". Sayangnya apa yang 
dikatakan oleh Halim HD ini kurang dilirik oleh sastrawan-seniman kita yang 
asyik dengan Barat saja. Bahkan terkadang budaya etnik dan daerah dipandang 
sebagai hal tradisional dan kadaluwarsa. Padahal apakah nilai yang tertera pada 
pepatah:
   
   
  "menepuk air di dulang
  memercik ke muka sendiri"
   
  atau:
   
  "tangan mencencang bahu memikul"
   
   
  itu kadaluwarsa dan sudah tidak tanggap zaman? Apakah konsep hidup-mati 
manusia Dayak dahoeloe: "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang 
putera-puteri naga] itu kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman? Keadaan begini 
selalu mengingatkan saya akan kritik Mao Zedong pada cendekiawan Tiongkok pada 
tahun 1930an: "Lebih kenal Yunani Kuno daripada mengenal Tiongkok". Atau yang 
sering kudengar di kalangan keluargaku bahwa "kita lebih kenal kanal-kanal di 
Negeri Belanda daripada sungai-sungai di  Kalimantan". Keadaan beginilah yang 
sering kukatakan sebagai keterasingan diri dari kampunghalaman sendiri. 
Kerberadaan di kampunghalaman bukan jaminan kita kenal kampung halaman. Inti 
keadaan begini, barangkali terletak pada pertanyaan: kita berada di mana, apa 
masalah nyata kita, kemudian bagaimana lalu mau ke mana serta jalan apa yang 
ditempuh untuk sampai ke tempat mau ke mana.
   
   
  Sederhana berbeda dengan "jual koyok" yang hampa isi. Berbeda dengan "balagu" 
atau "balagak" hingga menjadi tong kosong nyaring bunyinya. "Sederhana itu 
indah tapi tidak sederhana untuk menjadi sederhana", ujar Agam Wispi alm., 
penyair asal Aceh yang hidup-mati dari puisi. Sederhana, kukira menjadi indah 
karena ia menangkap sari masalah yang sering disebut hakekat. Sederhana erat 
dengan kejujujuran. Sederhana memberi sayap pada kata-kata hingga ia memancing 
selaksa tafsir mendekati luasnya ruang galaksi.  Terbukanya ruang bagi selaksa 
tafsir mendekati luas ruang  galaksi barangkali merupakan ciri kekuatan  puisi 
. Cara puisi yang berbicara dengan hati dan otak memberikan kemerdekaan dan 
kebebasan pada pembacanya. Tidakkah ciri-ciri ini yang terdapat pada 
larik-larik Agam Wispi:
   
  "pita merah dan matahari
  cinta berdarah sampai mati"
   
  atau baris Chairil Anwar:
   
  "sekali berarti sudah itu mati"?
   
   
  Kesederhanaan dan pengucapan langsung merupakan salah satu ciri puisi-puisi 
Luna. Ciri yang merupakan salah satu kekuatannya,kalau bukan kekuatan utamanya. 
Puitisitas puisi-puisi Luna, si penyair Sentani, Papua,  mencuat dalam 
kesederhanaan dan pengucapan langsungnya, seolah meneruskan kekuatan puisi 
lisan.
   
   
  Tentang kesederhanaan ini saya masih tidak bisa mengabaikan kata-kata M. Aan 
Mansyur, penyair kelahiran Bone, yang baru-baru ini melakukan "Tour de Java 
Sastra Makassar", penulis antologi puisi "Aku  Hendak Pindah Rumah". Aan 
menulis dalam "Engkau Dan Sajakku":
   
   
  "ENGKAU selalu sengaja memilih busana yang sederhana
  agar kecantikanmu tidak karam ke dalam kemewahan.
  Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja
  agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan".
   
   
  Dari kata-kata sederhana puitis Aan ini,saya dapatkan orientasi dan sikap 
bersastra. Orientasi yang juga kudapatkan pada Lily Yulianti dalam kucerpennya 
Makkunrai. Juga pada Luna Vidya. Apakah gejala ini merupakan jawaban 
sastrawan-seniman pulau dan daerah terhadap "sastra wangi", "sastra lendir", 
dan sejenisnya  serta sentralisme nilai? Makassar,Lampung, Riau ,Flores, Timor 
Barat, Padang, Medan, dan daerah-daerah lainnya nampak sedang menjanjikan 
sesuatu bagi sastra negeri kampung-halaman ini. Maka munculnya Luna Vidya 
sebagai seniman Papua di tengah dunia sastra-seni negeri ini, sungguh 
menggembirakan dan memperkuat tendensi serta gejala ini.
   
   
  Paris, April 2008.
  -----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Bersambung.......]
   
   
  Lampiran:
   
   



  Panyingkul!  bekerjsama dengan Graha Budaya Indonesia Tokyo menggelar acara 
nonton bareng dan diskusi: 

1. Film Dokumenter "Jangan Ada Kusta di Antara Kita" dilanjutkan dengan diskusi 
Feature Pilihan Panyingkul!  "Bola Nasib Abanda" karya M. Aan Mansyur

2. Video Pementasan Monolog Makkunrai oeh Luna Vidya

3. Diskusi  Proses Kreatif  Laporan Citrep Panyingkul! dalam buku Makassar di 
Panyingkul!

4. Diskusi Kumpulan Cerpen Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya karya Lily 
Yulianti Farid


Kegiatan ini diadakan Sabtu 10 Mei 2008 pukul 14.00 - 18.30 di Galeri Graha 
Budaya Indonesia Tokyo dalam rangkaian tur internasional Sastra dari Makassar.

Pengulas Utama:

Seiichi Okawa, Direktur Graha Budaya Indonesia dan Kepala Biro Metro TV Jepang.

Lily Yulianti Farid, Panyingkul!

Promo kegiatan ini di Graha Budaya Indonesia dapat dibaca di:
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/200804/article_2.html


*Mohon dukungan dan doa sosodara semua.

ly







 between 0000-00-00 and 9999-99-99       
---------------------------------
Tired of visiting multiple sites for showtimes? 
  Yahoo! Movies is all you need


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke