Catatan Bantimurung:   
  PUISI-PUISI ANAK SENTANI
   
   
  5.
                   
   
  Maka munculnya Luna Vidya sebagai seniman Papua sungguh menggembirakan dan 
memperkuat tendensi serta gejala ini. Gejala  berkembangnya sasatra-seni 
kepulauan dan daerah, ujud dari "bhinneka tunggal ika" dalam bidang kebudayaan 
dan kita harapkan berorientasi pada nilai-nilai republiken serta 
berkeindonesiaan.
   
   
  Selain dua ciri di atas, puisi-puisi Luna lebih bersifat liris, mengungkapkan 
pikiran dan perasaannya terhadap kejadian-kejadian yang mengitiarinya dan ia 
alami. Tuturan lukisan ini, rata-rata  memang tidak disertai dengan perenungan 
hakiki. Belum sampai kepada tingkat merenungi apa gerangan hakekat di balik 
kejadian-kejadian itu.  Sampai sekarang, puisi-puisi Luna masih berada di taraf 
permukaan dari segi pemikiran, ketika ia berhadapan dengan peristiwa sebagai 
gejala.  Dan ini tidak menjadi suatu keberatan besar, walau pun ada yang 
berpendapat bahwa penyair yang bekerja menggunakan bahasa  sebagai alat 
sesungguhnya ia pun adalah seorang pemikir.  Sehingga selain ia bisa memberikan 
sumbangan kepada kebudayaan melalui penyempurnaan bahasa,  sang penyair banyak 
diharapkan sumbangannya dari segi gagasan. Sumbangan gagasan tidak mungkin 
diharapkan dari seorang penyair jika sang penyair hanya berkutat dengan dirinya 
tanpa meluaskan lingkup cakrawala penglihatannya serta tanpa
 bertanya apa  gerangan yang terdapat di balik gejala. Penyair tidak pernah 
berkelebihan dalam masyarakat, tapi penyair yang dinantikan oleh masyarakat 
adalah penyair yang merupakan anak zamannya, penyair yang mampu menjadi jiwa 
bangsa dan zamannya. Hal begini tidak mungkin diharapkan dari penyair-penyair 
narsistik dan tipe "anak pangeran" atau "anak raja" jika meminjam istilah Paul 
Elouard, penyair Perancis yang juga pejuang anti fasis.  Saya tidak mentabukan 
penyair bicara tentang dirinya, tidak juga mentabukan sastrawan bicara tentang 
seks. Hanya jika kita membaca Sade misalnya Sade yang juga anti fasis 
menggunakan tema seks dalam  konteks menenang nilai dominan pada zamannya 
dengan cara yang paling ekstrim sehigga lahir istilah sadisme yang bermula dari 
nama Sade juga adanya. Hal begini tidak mungkin dilakukan oleh Sade dan siapa 
pun jika tidak mempunyai lingkup horison  pandangan yang luas dan sibuk dengan 
diri sendiri. Pramoedya dan Goenawan Mohamad , misalnya juga
 bicara soal seks. Tapi seks tidak menjadi tema pokok mereka dan ketika 
berbicara tentang seks dua sastrawan ini mengolahnya dengan lingkup cakrawala 
yang luas. Pram intens belajar tentang sejarah Indonesia. Intens memperkaya 
bahasa Indonesia. Sedangkan Goenawan juga melihat kehidupan dengan segala 
seginya. Dengan lingkup pandang yang luas ini, Goenawan memprakarsai berdirinya 
Komite Indonesia Untuk Pengawasan Pemilu yang membuatnya dikejar-kejar serta 
mendirikan AJI. Caping Goenawan di Majalah TEMPO  adalah rangkaian tulisan yang 
memperlihatkan cakupan perhatian Goenawan sebagai penulis.  Pram dan Goenawan 
adalah sastrawan yang sudah sampai pada tingkat sastrawan sadar -- tingkat 
sastrawan yang sumbangan pemikirannya diharapkan oleh masyarakat dan 
kemanusiaan. Sumbangan apakah yang terpenting yang  diharapkan masyarakat dari 
sastrawan selain sumbangan gagasan , pemikiran dan penyempurnaan bahasa yang 
menjadi alat kerjanya dan alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat?
 Menjadi penulis, kukira, pertama-tama, bukanlah untuk mengejar nama tapi 
adalah suatu misi manusiawi. Nama adalah hasil kerja dan pengakuan masyarakat 
atas sumbangan. Sedangkan penguasaan tekhnik menulis yang niscaya terus-menerus 
ditingkatkan seiring dengan usaha terus-menerus meningkatkan taraf diri, 
hanyalah sarana bekerja dalam usaha pemanusiawian diri, kehidupan dan 
masyarakat. Makin tinggi taraf tekhnis dan nilai diri, sumbangan manusiawi 
seorang sastrawan akan makin besar.
  Keketersohoran paling tidak  mempunyai dua segi : ketersohoran kosong dan 
ketersohoran bermutu. Ketersohoran hampa agaknya lebih dekat dengan sifat 
gelembung sabun dan busa sungai tak obah seorang manekin memperagakan 
kecantikan dan ketampan wajah serta fisik di depan publik tapi sonder mimpi.   
   
   
  Penyair-penyair sastra lisan yang kudapatkan di daerah-daerah pedalaman 
Kalimantan, sangat menarik perhatianku karena dari karya-karya spontan mereka 
kudapatkan nilai-nilai yang menyimpulkan secara puitis dan sangat komunikatif 
pengalaman kolektif orang sekampung. Mereka tidak berpuisi tidak dari dermaga 
keinginan mengejar nama. Sehingga saya bisa mengerti mengapa Luna, sebagai 
orang pedalaman Papua, enggan menyiarkan puisi-puisinya. Luna berpuisi secara 
instingtif. Tapi apakah Luna sadar bahwa dengan modal instingtif ini ia bisa 
mengembangkan diri sebagai penyair lebih jauh lagi? Luna mempunyai kemampuan 
tekhnis dan kepekaan tajam sehalus permukaan danau  terhadap hembusan angin 
peristiwa demi  peristia selembut apa pun dan tak pernah jeda. Luna mempunyai 
syarat untuk menjadi penyair anak zamannya. Etnik dan bangsanya apalagi ia 
memang dekat dengan grass-root [akar rumput] sebagai orang yang bekerja di 
Development Community [Komunitas Pembangunan].
   
   
  Sekali pun instingtif merupakan tingkat awal perkembangan seseorang sebagai 
penyair tapi dari karya-karya penyair instingtif, dan biasanya bermula dari 
soal jatuh cinta,  kita masih bisa melihat tingkat perkembangan masyarakat pada 
suatu kurun sejarah. Bisa menelusuri nilai dominan apa dan bagaimana yang 
terdapat pada masyarakat  di mana penyair berada. Karena itu karya sastra 
sangat membantu penyimakan lebih lanjut tentang suatu masyarakat pada kurun 
waktu tertentu. Misalnya "sastra wangi", "sastra lendir", "sastra selangkang", 
dan sejenisnya tetap bisa dijadikan bahan penyimakan lanjut terhadap keadaan 
masyarakat dari segi sejarah, sosiologi, psikhologi,  sejarah, filsafat dan  
ekonomi . Sebab kiranya, sastra sebagai bagian dari "bangunan atas" tidak 
terlepas konteks dari "bangunan bawah" serta lingkup zaman. Mereka bukanlah 
gejala kebetulan. Unntuk menjadi anak zaman dan jubir zaman, kukira tidak 
mungkin dilakukan jika sastrawan  hanya sibuk dengan dirinya sendiri.
 Adanya narsisme pun sebenarnya tak lepas dari tingkat seorang  sastrawan dan 
tahap perkembangan masyarakat.  Dominan tidaknya narsisme, kukira, mempunyai 
kaitan dengan nilai dominan dan tahap perkembangan masyarakat. 
   
   
  Dengan latar belakangnya sebagai  anak pedalaman Papua, dengan kejujuran dan 
kesederhanaannya, serta kepolosannya, jika dilihat dari suut pandang teori 
"tabula rasa", dengan kemampuan tekhis yang ia miliki sekarang dalam berpuisi, 
saya sangat percaya bahwa Luna akan sangat mampu mengembangkan diri jadi 
penyair sadar. Apalagi ia sekarang berada di akar rumput. Kemampuan Luna dalam 
berpuisi dan penguasaan tekhnisnya kulihat benar misalnya dari puisi-puisinya 
yang berhasil kuhimpun antara lain dari puisi-puisinya berikut  ini:  
   
      Mencapai Bulan   
  
    Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan
Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan
Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang
sulur tanpa penopang
telah mencapai bulan
tanpa warna. Atau hitam?

March 2008 


  viernes 7 de marzo de 2008   
  Manggigil*) 
   
   
    
    Batu di ombak itu,
berdiri di pantai tanpa angin,
memaku mata pada laut yang tak mengalun
sambil mengunyah waktu
dan pada lembah-lembah hari
Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan
jadi helai angin


   
  Batu ombak itu,
mata bermuara tanya,
Kenapa pilu riang bermain gelombang
Kenapa cinta tak hendak pulang
Ketika laut tak mengantar apa-apa,
Juga angin tak memuat berita?


  Batu di ombak itu
adalah bongkah duka
lupa pada namanya,
yang tanya di mata : " Kenapa kelu?"
Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting
Berendam tenang di sekujur lukanya


  pantai berangin, laut mengalun
batu ombak itu
telah menjelma aku
Cadas. Diam. Penuh binatang karang.
Di kedalaman,
adalah ketenangan yang ganjil.
Sedih yang menggigil

*Manggigil = menggigil (Maluku)

March, 2008
  

     


  miƩrcoles 5 de marzo de 2008    Yang Tumbuh, Aneh Sungguh   
      Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu
Di bawah palem baru melepas pelepahnya
Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi.
Selalu menyapa hari seperti ini,
gerimis yang menusukan sepi

Asa lepas seperti hangat tubuh pergi
dalam dingin. Lalu bersendiri
seperti pelepah
kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih
Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim.
Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki.
Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum
Rindu yang menggigil dengan mata berdarah
Di dalam hujan,
Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.


  Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu,
Selalu menyapa sepi seperti ini,
Gerimis mencengkram hati kusut
menyisirnya dengan kuku sepi
Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah
Terkuak pasrah
pada sayat sepi dalam genggam gerimis
menatap tak lepas
Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.

  Lama setelah itu, orang lalu
melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku,
Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta"
   
   
  
  Ichthus
       
  berenang di laut luka
matahari
ombak 
karang 
sengat segala laut
mengupasku 
hingga tulang

aku menjelma ikan

2007
   
  atau dari puisi prosa berikut:
   
   
    Jalan-jalan Kecil Ke Rumah 
   
   
  "rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari 
jalan umum di bawahnya.

jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, 
bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.

    di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya 
aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang". 

    









  Sedangkan judul-judul antologi "Jalan-jalan Kecil Ke Rumah", adalah judul 
puitis dan sekaligus melukiskan keadaan kampungnya di Papua.
   
   
  Hadirnya Luna Vidya dalam dunia sastra negeri ini, seakan mengatakan dengan 
tegas bahwa sastra Indonesia itu bukan hanya ada di Jawa. Sastra Indonesia 
adalah semua karya sastra baik yang berbahasa lokal atau pun yang berbahasa 
Indonesia yang ada di wilayah hukum Republik Indonesia. Salahkah? Sastra-seni 
kepulauan adalah jalan sastra-seni  negeri yang republiken dan berkeindonesiaan.
   
   
  Saya seakan melihat Luna Vidya berjalan mantap  dengan penuh kepercayaan diri 
di jalan sastra-seni Indonesia yang demikian yang republiken dan 
berkindonesiaan  bersama barisan sastrawan dan seniman Indonesia lainnya. *** 
   
   
  Paris, April 2008.
  -----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Selesai]









 between 0000-00-00 and 9999-99-99       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke