Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

4.



Barangkali dalam hal ini, terdapat jasa Kathirina, sekali pun mungkin tidak 
sangat ia sadari. Keadaaan Sabah dan tingkat perkembangan masyarakat Sabah 
terbaca dari dari puisi-puisi duka Kathirina dan puisi-puisi penyair Sabah 
lainnya [dari aspek lain]. Artinya, puisi tidak lepas dari keadaan masyarakat 
di mana penyairnya menggulati waktu.
Sikap fatalis dan menyerah menerima posisi perempuan direndahkan hanya sebagai 
pemuas birahi atau  seksual lelaki, oleh masyarakat maskulin dan juga 
masyarakat yang dikuasai oleh uang, pada galibnya adalah masyarakat yang tidak 
manusiawi sama sekali. Masyarakat itu sendiri, dalam kenyataan sesungguhnya 
mendekati masyarakat barbar yang tak jauh dari tingkat komunitas hewani. Betapa 
tidak, dengan corak masyarakat  demikian separoh penduduk yaitu para 
perempuannya ditempatkan pada taraf  terendah. Padahal kaum perempuan, jika 
menggunakan ungkapan Tiongkok Klasik adalah "penyangga separo langit". 
Bagaimana posisi perempuan dalam suatu masyarakat, kukira, memperlihatkan 
apakah secara hakiki masyarakat itu bebas, demokratis dan menjunjung Hak Asasi. 
Megatruh Kathirina Susanna adalah cerminan dan akibat dari adanya masyarakat 
maskulin di atas. Artinya, ketika membaca megatruh atau elegi atau lagu-lagu 
duka Kathirina, kukira patut dibedakan antara sikap penyair dan masalah 
sebab-akibat sehingga kita lebih adil menilai sikap penyair serta memberikan 
harapan kepada penganut sikap fatalis dan menyerah untuk berkembang alias 
berobah maju sesuai dengan hukum dialektika serta saling hubungan antara  unsur 
satu dengan yang lain. Penyair atau siapa saja yang tidak mengakui hukum 
dialektika, kukira adalalah penyair atau orang yang sekali pun masih bernafas 
tapi secara hakiki ia sudah mati sebelum mati. Ciri utama penyair adalah 
kegelisahan mencari dan terus mencari, terus mengalir seperti arus memburu 
muara bukan bagai sabut dihanyutkan atau menghanyut di arus.

Dari segi kritik, fatalisme dan sikap menyerah Kathirina yang tercermin dari 
enam sanjak di atas, bisa ditafsirkan secara terbalik yaitu salah satu cara 
mengkritik keadaan masyarakatnya. Melalui fatalisme dan pembudakan separoh 
warga masyarakatnya, penyair menunjukkan secara tidak langsung: "Beginilah 
akibatnya jika masyarakat maskulin dan maskulinisme dikembangteruskan". Padahal 
jika potensi perempuan dibebaskan, tidak dibelenggu, maka masyarakat hanya 
mendapatkan keuntungan atau manfaat. 

Jika benar pemahamanku bahwa pesimisme Kathirina merupakan bentuk kritik pada 
maskulinisme dan masyarakat maskulin, maka dengan cara ini, Kathirina setia 
pada posisinya sebagai sastrawan yang adalah warga republik berdaulat. Republik 
sastra yang dengan kedaulatannya berani melakukan pemberontakan berikut segala 
resikonya dan sering berdiri hadap-hadapan dengan repulik atau kerajaan politik 
formal. Dengan status begini, status sebagai warga republik sastra yang 
berdaulat, maka sastra dan sastrawan bisa dipandang salah satu aktor dari 
kontrol sosial. 

Berbicara tentang pemberontakan atau perlawanan maka pemberontakan atau 
perlawanan itu paling tidak terdiri dua jenis. Pertama pemberontakan/perlawanan 
instingtif dan kedua perlawanan sadar. Pemberontakan/perlawanan instingtif 
umumnya bersifat spontan, sedang pemberontakan sadar adalah perlawanan yang 
dibimbing oleh suatu konsep dibuntuti oleh rencana dan penyediaan sarana untuk 
mewujudkan konsep tersebut. Penyair yang bisa dikategorikan sebagai seorang 
pemikir dalam barisan warga republik berdaulat sastra-seni, seyogyanya jika 
memberontak melancarkan pemberontakan sadar dan bukan perlawanan spontan yang 
instingtif. Untuk bisa sadar, dari penyair dituntut kegiatan mengamati, studi , 
menguasai tekhnik bersastra, bebas  berpikir,  komitmen dan ketegasan tanpa 
kepalang guna melaksanakan komitmen manusiawi tersebut. Dengan berkata begini, 
aku mau memperlihatkan bahwa komitmen dan komitmen itu ada berbagai macam. Ada 
komitmen yang anti kemanusiawan dan ada pula  komitmen yang manusiawi. Tanpa 
unsur-unsur ini, kukira, penulis akan tetap berada pada tingkat penulis 
"ecek-ecek" tanpa hirau akan tanggungjawab yang menyertai sebutan penyair atau 
sastrawan dan "ecek-ecek' pulalah taraf kemanusiaannya sekali pun mereka 
berlindung di balik nama para dewa-dewi serta para malaikat kayangan yang asing 
dari kenyataan hidup di bumi. Tentu saja bahwa kesadaran dan komitmen bukanlah 
sesuatu yang sekali jadi sebagaimana pula halnya dengan taraf kemampuan 
bersastra. Ia adalah suatu proses sesuai dengan dialetika alam. Karena itu, aku 
membedakan adanya dua jenis penyair yait penyair instingtif dan penyair sadar.

***

Ide "takdir" yang mendominasi enam sanjak  Kathirina di atas mengingatkan aku 
akan kuliah Prof. DR. Arkoun dari Universitas Sorbonne Paris beberapa tahun 
silam di depan para mahasiswa IAIN di Indonesia yang sedang melawat ke Paris 
setelah berkunjung ke Negeri Belanda. Ceramah yang juga dihadiri oleh Gus Dur, 
waktu itu belum jadi presiden Republik Indonesia. Arkoun antara lain mengatakan 
bahwa orang di Barat mengenal dua sumber kebenaran. Pertama yang disebut 
sebagai 'divine truth" dan yang lain adalah kebenaran yang diburu oleh manusia 
dari sumber lain, tidak dicari di langit."Divine truth" adalah angka mati,   
kemutlakan yang tidak bisa digugat dan didebat. Tidak ada jalan pencarian di 
daerah "divine truth" kecuali penerimaan mentah-mentah. Barangkali "takdir" 
yang disinggung oleh Kathirina mendekati "divine truth" ini.

Sedangkan kebenaran lain adalah kebenaran sebagai hasil pencarian manusia 
dibimbing oleh hasrat mencari jawab atas pertanyaan demi pertanyaan yang tak 
berkeputusan. Debat  di jalan ini sangat berkembang dalam usaha memeriksa 
apakah jawaban yang didapat itu benar atau tidak. Marcopolo, Columbus, 
Magelhaens dan sekian banyak penjelajah [voyageurs] lainnya telah mengarungi 
laut dan samudera dalam usaha mencari kebenaran lain di luar divine truth ini. 
Kemajuan Barat, menurut Arkoun, justru dimungkinkan oleh adanya kuriusitas tak 
kenal ujung dan tersedianya ruang debat dan gugat, dalam menjawab pertanyaan 
guna mendapatkan kebenaran di luar "divine truth" yang membelenggu dan 
menempatkan orang di jalan buntu. Barat maju dan berkembang bukan karena kulit 
mereka putih, hidung mereka mancung, tapi terutama disebabkan oleh tersedianya 
syarat-syarat tersebut. Militerisme, paternalisme, feodalisme lama dan baru, 
maskulinisme dan entah apa lagi isme yang sejenis ini, yang membelenggu 
masyarakat Asia, menyebabkan Asia jadi tertinggal walau pun tadinya banyak 
penemuan-penemuan ilmiah bermula dari Asia.

Apabila alur "divine truth" ini yang menguasai Kathirina ketika ia mengatakan 
"takdir", apakah yang bisa ia harapkan untuk bisa keluar dari jalan yang 
menghimpit dan membelenggunya? Jika mengamat perkembangan sejarah, maka 
"takdir" dalam pengertian di atas hanyalah jalan buntu, jalan kemandegan dan 
jalan malapeta serta hanya memelihara petaka dan mengurung diri di penjara 
petaka. Kemanusiaan akan diluluh hancurkan. 'Divine truth" seperti halnya 
dengan semua dogma akan mengembangkan sektarisme dan ketidaktoleransi. Akal 
sehat dibunuh.

Barangkali dari sini  kita kembali bisa melihat betapa dunia sastra seperti 
yang dikatakan oleh Peter Mandaville tidak lain dari suatu arena  di mana 
berlangsung suatu "battle for hearts and minds". Jadi bukan sekedar tempat 
berindah-indah dengan kata dan bahasa tanpa disertai dengan tanggungjawab 
seperti yang pernah ditulis oleh seseorang secara terbuka di sebuah harian 
terkemuka di Jakarta. Mengecimpungi dunia sastra, artinya kita patut 
memperhitungkan tanggungjawab sosial dan manusiawi sastra. 

Tanggungjawab sastra untuk apa? 

Jawabku tentu saja: Untuk memanusiawikan manusia dan bukan sebaliknya yaitu 
membuat manusia hilang martabat dan harkat kemanusiaannya, menegakkan 
nilai-nilai republiken dan keindonesiaan jika ditautkan dengan Indonesia. 

Apabila nilai-nilai ini kita lambangkan sebagai bebuahan, sebagai bunga-bunga 
atau dedaunan dan dedahanan maka di sini ingin kucuplik puisi Paul Verlaine, 
penyair Perancis terkemuka pada zamannya:

"Inilah bebuahan dan bunga-bunga
Dedaunan dan dedahanan
Dan  kemudian inilah hatiku
yang untukmu saja ia berdegup
Janganlah ia kau koyak dengan
Dua tangan putihmu"

Demikian Paul Verlaine berharap agar nilai-nilai itu "janganlah ia kau koyak 
dengan dua tangan putihmu" lembut halus. Tapi kita koyak atau tidak, akhirnya 
adalah soal pilihan dan tanggungjawab juga adanya. Pilihan ditentukan oleh 
banyak faktor.***

Paris, Nopember 2005.
------------------
JJ. Kusni

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke