JURNAL SAIRARA:
   
   
   
  HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI
   
  -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak di 
Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008.
   
   
  6
   
   
    Mengapa kita mesti secara sukarela membuang waktu "seribu tahun" mengayuh 
ke hulu sedangkan muara dan laut menunggu kejantanan awak pinisi? 

   
   
  Malam Musim Bunga makin larut, terasa hingga ke ruang percakapan santai. 
Tamu-tamu yang makan malam satu demi satu pulang meninggalkan restoran. Di luar 
matahari sudah lama tenggelam meninggalkan kelam pada dedaunan hijau yang makin 
merimbun. Pembicaraan saja yang nampaknya seperti tak berujung bagaikan 
kehidupan yang terus berlanjut tanpa perduli suka dan duka kita pribadi. "La 
vie continue", orang Perancis bilang.
   
   
   Di atas helai-helai waktu "de la vie continue" ini tak terbilang darah dan 
airmata mengucur di atasnya. Tak tertakar jumlah nama dan peristiwa tetera.  
Juga kekalahan dan kemenangan, kegagalan dan keberhasilan. Kejatuhan dan 
kebangkitan. Kemudian menjelma jadi parit-parit dahi dan atau warna rambut yang 
memutih atau merontok. Sejenak memandang ke belakang, dengan sisa daya yang 
ada, barangkali kita bisa tersenyum dengan segala nostalgia sonder dendam atau 
menertawakan diri mengingat kebodohan-kebodohan yang telah dilakukan sementara 
kaki mengajak kita menyusur jalan"de la vie continue".
   
   
  Perasaan beginilah yang kudapatkan saban kali berjumpa kembali dengan 
teman-teman seperti GM, Arief Budiman, Sorri Siregar, Rendra dan lain-lain, 
terutama mereka dari kelompok yang kusebut "Kelompok Republik Bringharjo" 
Yogyakarta -- kota di mana aku melewatkan masa remajaku di tengah rupa-rupa 
pergolakan. 
   
   
  "Kelompok Republik Bringharjo" adalah sebuah kelompok tak berbentuk dari para 
sastrawan-seniman dengan berbagai pandangan. Di sini berdiskusi leluasa dengan 
pandangan masing-masing secara leluasa tentang sastra-seni. Diskusi yang 
kemudian tidak jarang menelorkan artikel-artikel, dan rupa-rupa karya bahkan 
sanggar. Ketika munculnya Manifes Kebudayaan warga "Republik Bringharjo" 
terbelah oleh sikap berbeda-beda menanggapi Manifes ini. Hanya saja hubungan 
pertemanan di antara mereka saja sangat kuat. Mereka masih saja saling 
menghormati dan menyayangi. 
   
   
  Pada suatu tahun, di TIM Jakarta diselenggarakan peringatan lahirnya Manifes 
Kebudayaan. Aku baru saja mendarat di Jakarta dari perjalanan ke Papua. 
Mendengar adanya berita ini, dari bandara Soekarno-Hatta, aku langsung ke TIM, 
di mana aku berjumpa dengan teman-teman lama. Mereka mengeremuniku hangat 
dengan pertanyaan bertubi, antara lain: "Kau masih hidup. Ini penting dan kau 
pasti terus menulis".  Aku merasa terharu oleh sikap dan pertanyaan-pertanyaan 
mereka. Perkawanan kami tidak diluluhkan oleh Tragedi, rupa-rupa peristiwa dan 
waktu. Tidak berprinsipkah sikapku ini? Aku tetap berpendapat mengapa  
perkawanan dihancurkan oleh perbedaaan pandangan? Sementara waktu sering 
mengajak orang untuk belajar dan berobah? Siapa pun berobah. Tidak berobah pun 
adalah hak masing-masing dan mengapa tidak bisa hidup dan berkawan dengan 
perbedaan? Perbedaan sering jadi kaca diri dan guru yang baik. Melengkapi diri 
sendiri. Engagement [keberpihakan] adalah pilihan masing-masing, sesuai
 dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman masing-masing. 
   
   
  Dengan sikap begini pula, maka Arifin C. Noor pernah datang ke Paris dan 
secara khusus mencariku di Koperasi Restoran Indonesia, sampai buka puasa di 
Restoran. Tentu saja aku dan Arifin yang sama-sama pernah berada di satu grup 
teater di Yogya, selain berbicara tentang masa silam , juga tentang filemnya 
G30S/PKI.  Seperti sering kuungkapkan, ternyata Arifin menyesal dengan filem 
ini yang dipandangnya bukan lagi dirinya. Dan ia sama sekali tak pernah menduga 
bahwa filem ini akan menjadi filem tontotan wajib selama sekian dasawarsa. Ia 
memintaku agar jangan melakukan kritik terbuka, karena teman-teman dekatnya 
sudah banyak mengkritiknya secara tertulis dan langsung yang membuatnya stres. 
Aku hanya mengatakan kepadanya:"Kau sudah naik punggung harimau lalu tidak bisa 
turun lagi". 
   
   
  Kunjungan Arifin yang khusus mencariku, kupahami sebagai tanda persahabatan 
antara kami masih terjaga. Waktu ia meninggal, aku berada di tengah-tengah 
Kalimantan. Tak kusembunyikan bahwa aku merasa sedih dengan kepergiannya. Sama 
sedihnya dengan kepergian Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka dari Yoyga 
yang meninggal hampir berbarengan dengan Arifin.
   
   
  Perasaan ini kuketengahkan pada GM semacam curhat dan mau menunjukkan bahwa 
mendukung Manifes Kebudayaan dan prinsip berkesenian Lekra sebenarnya bukan 
garis pemisah kekal di antara para sastrawan-seniman. Akan sungguh menarik, 
jika mereka bisa duduk di hadapan satu meja, dengan santai memandang ulang 
dengan kejujuran baru dan perkembangan diri mereka yang sekarang, ketika usia 
makin senja. Barangkali ada gunanya. Dan aku membayangkan jika ini bisa 
berlangsung, mereka akan menertawakan diri masing-masing. Bahkan barangkali 
ngakak. 
   
   
  Baru-baru ini, aku berjumpa dengan seorang teman lama dan kebetulan kemudian 
ketika hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia cari, ia pernah menjadi diplomat 
penting di Jakarta. Dalam percakapan santai antar teman, ia mengatakan antara 
lain: Apalah arti ideologi jika ia tidak secara nyata menyejahterakan rakyat. 
Rakyat akan membuang ideologi itu sebagai sesuatu yang tidak tanggap. Aku jadi 
teringat akan pendapat Mao Zedong yang jauh sebelumnya berkata: Apalah arti 
sosialisme jika sosialisme tidak bisa menunjukkan  keunggulan nyatanya dari 
kapitalisme.
   
   
  Dengan perbandingan ini, aku pun bertanya mengapa Manifes Kebudayaan dan  
ide-ide Lekra menjadi suatu perbatasan kekal yang tak punya garis lintas? 
Menjadikan keadaan seperti yang dilukiskan oleh Rudyard Kipling sebagai "dua 
ujung yang tak pernah bertemu"? 
   
   
  Dengan mengatakan hal ini, tentu saja aku tidak melupakan konteks politik 
pada waktu itu. Tapi apakah posisi masing-masing pada waktu itu niscaya 
dijadikan alat untuk memvonis mati perkembangan. Sementara semuanya mengalir 
bagaikan sungai yang arusnya tak henti mengejar muara dan laut. Memungut sari 
dari pengalaman masa silam, sesuai pandangan sejarah Grup Annales Paris yang 
mengatakan bahwa masa silam punya dampak akan hari ini, hari ini berdampak pada 
esok, barangkali masih diperlukan.    
   
   
  Kunjungan khusus Arifin C Noer, sikap sobat-sobat lama menyambutku di TIM, 
sikap dan sambutan Mas Oyik alm. ketika aku datang ke rumahnyan,  kerjasamaku 
dengan Sanento Yuliman alm.,  kedatangan Rendra dan GM berkali-kali  ke 
Koperasi Indonesia di Paris, dan banyak contoh lagi.. agaknya masih memperlihat 
keberdayaan hukum gerak yang menyangkal ramalan  Kipling di atas.
   
   
  "Arifin tidak siap menghadapi kenyataan yang ia alami",  ujar GM meningkahi 
kenanganku akan Arifin.  
   
   
  Sebelum meninggalkan ruang jumpa Koperasi, GM menyempatkan diri menuliskan 
kata-kata berikut di buku tamu:
   
   
  "Ini bukan tempat untuk makan semata-mata. Ini tempat perjuangan -- sebuah 
Indonesia dan manusia Indonesia di negeri jauh".
   
  Goenawan Mohamad
  Paris, 10 April 2008.
   
   
  Sedangkan Laksmi Pamuntjak menggoreskan baris-baris ini:
   
   
  "Saya merasa sangat tersanjung berada di tempat ini, dan di tengah kehangatan 
kalian semua.
   
  Teriring salam dan hormat".
   
  Laksmi Pamuntjak
  Paris, 10 April 2008.
   
   
  Ketika memperkenalkan Laksmi kepada Keluarga Koperasi, GM antara lain 
menyebut Laksmi adalah salah seorang  dari angkatan penyandang harapan hari 
esok. 
   
   
  "Benar dunia ini adalah milik kita, dan juga milik kalian dari angkatan muda. 
Tapi jika dianalisa terakhir ia adalah milik kalian. Karena kami adalah seperti 
matahari yang hampir tenggelam, sedang kalian tak obah matahari jam-delapan 
pagi".  
   
   
  Malam sudah bertengger di atap-atap dan dedaunan musim bunga yang merimbun. 
Jalan-jalan masih memantulkan sisa hangat matahari yang baru kembali dari 
selatan.  GM dan Laksmi minta diri dilepaskan oleh semua keluarga Koperasi.
   
   
  "Aku akan datang kembali  November nanti", ujar Laksmi dalam suara renyai 
girang sambil melangkah menyusur Rue de Vaugirard ditemani oleh cahaya 
lampu-lampu Paris.
   
   
  "Terimakasih atas kunjungan", ujar teman-teman Koperasi disambut lambaian GM 
dan Laksmi.****
   
   
  Paris, April 2008
  ----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.

       
---------------------------------
 
Live Chat NOW! Love in 1 Click!

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke