Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [5] Matahari sudah berada di hulu Kapuas Bohang ketika aku menaiki bus menuju Sarawak, nama yang kukenal sejak kanak di Katingan melalui lagu dilarang Belanda: "Borneo Tanahairku". Tapi perjalanan ke Sarawak kali ini merupakan perjalanan pertama kulakukan. Demikianlah matahari ketika akan tumbang di daerah yang bersungai, selalu nampak berada di hulu. Bukan di muara. Hulu seakan ujung dari terang sedang muara dan laut bagaikan ruang hidup bergelora merentangkan segala kemungkinan bagi anak panarung. Tak seorang pun kukenal di sana. Lagi pula aku tidak ingin meminta alamat-alamat kontak pada teman-teman Pontianak, terutama dari Institut Dayakologi yang sejak lama berhungan dengan Dayak-Dayak Sarawak dan Sabah. Aku ingin datang tanpa kontak dan tidak memanfaatkan kontak yang bisa kudapatkan dengan mudah. Kepergianku ke Sarawak pun tidak sepengetahuan teman-teman Pontianakku. Aku tidak mau menggunakan kemudahan karena sering kuanggap sebagai suatu hutang budi. Ada keangkuhan dalam arti harafiah pada diriku bahwa aku bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan siapa pun. Karena dengan latar keadaan beginilah aku telah diasuh dan melalukan masa kanak dan remajaku di Kalimantan dan Jawa. Apalagi sejak usia 11 tahun saat meninggalkan rumah orangtua, aku ditantang keluarga: "Jangan pulang jika tidak bisa mengobah cawat dengan dasi". Karena itu aku menjadi sangat peka terhadap tantangan dan hinaan dalam bentuk apa pun. Tapi pulau kelahiran dan Indonesia, lebih-lebih ketika aku dapat kesempatan bekerja brtahun-tahun di Indonesia, kurasakan tidak lain dari setasik hinaan, pelecehan dan tantangan terhadap anak negeri. Tapi justu tantangan, pelecehan dan tantangan ini jugalah yang membuatku ingin kembali segera hadir di tengah-tengahnya untuk menjawab segala tantangan dan hinaan itu, apa pun resikonya sesuai tradisi "lawong bahandang" [ikat kepala merah] manusia Dayak berselempangkan mandau tekad di pinggang , hanya pulang jika menang. "Isen mulang!" Aku ingin tanpa bosan mengatakan dan menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah sinonim dari jalan buntu. Sekali pun untuk berkata begini, aku pernah dibungkam, dilarang bicara dan menulis atas nama hukum Repulik dan Indonesia -- predikat dari nilai-nilai agung. Indonesia juga kemudian kudapatkan sebagai negeri ironi, dengan istilah "semuanya bisa diatur Pak", istilah lain dari suap, korupsi, kolusi dan nepotisme. Bus ke Sarawak-ku melaju menyusur jalan malam. Hutan di kanan-kiri jalan berliku yang cukup mulus, menampakkan wajah hutan hijau dibawah garis khatulistiwa. Hutan tropis yang disebut sebagai paru-paru bumi seperti halnya dengan hutan Amazonia. Dari luar, hutan ini seakan tidak mepunyai persoalan. Berbeda jika kita memasukinya. Anak-anak sungai dan selokan yang kukenal kanak dahulu bening jadi keruh oleh penambangan emas liar, sekaligus sumber pungutan liar bagi aparat yang meraup uang tambahan dari gaji pas-pasan dengan bersepeda motor. Ini tentu saja pungutan liar dalam ukuran kecil dibandingkan perolehan jika Anda jadi bupati atau camat. Dalam posisi ini "upeti" akan lebih besar. Mengutarakan adanya upeti secara polos, akan berdampak ajal bagi yang berani bicara. Sungai dan hutan bisa menjadi tempat berkubur yang hening tanpa saksi. Hutan yang kita lihat nampak hijau sesungguhnya tidak seindah tatap selintas. Hutan adalah jajaran barisan pepohonan rahasia tak terbilang. Apalagi di Kalimantan Barat ini. Sungai yang mengalir di bawah dan di sela-sela pepohonan riap-rimbun, air dan arusnya bercampur dengan darah dan airmata. Hanya sungai, air dan arusnya yang tahu. Sejarawan daerah dan aalagi di tingkat nasional, tak kuasa mengguratkan pena obyektivitas mereka, karena belum mengayunkan langkah ke mari. Sejarah lokal belum dihitung benar oleh mereka yang atas nama soal-soal besar tak melirik pada daerah. Tak perlu memang menunggu Jakarta. Sejarawan dan penulis-penulis lokal mestinya membuka telinga dan mata mendengar seruan hutan dan sungai yang menyimpan sekian rahasia. Sudahkah sejarawan dan penulis lokal menulis tentang Nyrungkop, Desa Mandor di mana militerisme Jepang dikalahkan oleh mandau Dayak, sudahkah ditulis tentang Patung Perdamaian di tengah hutan Kalbar, pernahkah ditulis tentang penyerangan bandara Singkawang, tentang Lan Fang , pemberontakan Tiga Jari, dan lain... dan lain-lain... . Sudahkah sejarah lokal ini ditulis secara padan? Sejarah Indonesia bukanlah hanya sejarah Jawa. Sejarah ini tersimpan di hutan dan sungai pulau. Hutan dan sungai beginilah yang dilalui oleh busku menuju Sarawak. Melihat hutan dan sungai ini, aku merasa sangat sakit karena terlanjur tidak buta aksara. Terlanjur sudah berulangkali memasuki hutan pulau dan mencuci mukaku dengan air sungai setempat saban kutiba di suatu tempat, sesuai tradisi Dayak minta permisi pada para dahiyang penunggunya. Mestinya aku menjadi bandit. Bandit besar yang berbicara dengan mandau, tombak dan sumpitan. Bukan dengan kata-kata dan tidak berkomunikasi dengan bahasa. Kata-kata ini jugalah yang sering kudengar di banyak kampung-kampung terpuruk di pedalaman sambil mencemooh Jakarta. Tapi apakah jika berbuat demikian tidak membuat negeri ini kian rimba dan hukumnya menjadi lebih menjadi-jadi? Kemanusiaan, keadilan dan harapan manusiawi tak obah seperti pelangi merentang langit nampak sejenak dan hilang. Merindukannya sama seperti kerinduan seorang gila ingin menetak sungai dengan mandaunya. Di sebuah kampung yang kulupa sudah namanya, busku berhenti memberikan peluang kepada para penumpang untuk istirahat dan mengisi perut agar ada yang dicernakan. Perbatasan sudah tak jauh. Sambil menyurup secangkir kopi panas menarung dingin subuh, kenanganku melayang kembali ke penghancuran rumah-rumah panjang [betang] Dayak oleh Orba dalam usaha memadamkan perlawanan PGRS, Paraku dan gerilyawan PKI di bawah pimpinan Sofyan, seorang Indonesia asal etnik Arab, nikah dengan seorang perempuan etnik Tionghoa. Kenanganku juga melayang ke Wong Kie Chok, pimpinan gerilyawan PARAKU yang menyerah kepada Pemerintah Malaysia bersama 600 anak buahnya lengkap dengan senjata-senjata mereka. Apakah benar, selain karena percaya pada janji pemerintah Malaysia, Wong Kie Chok menyerah juga karena desakan istrinya? Jika benar, o, aku melihat betapa pengaruh perempuan pada lelaki. Jika benar maka aku bertanya:apakah benar perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki -- soal yang di Perancis dipandang sebagai salah terjemahan. Dari kisah ini aku membayangkan sebuah roman atau novel menarik yang bisa ditulis tanpa keinginan berdiri di atas gelimpangan nyawa yang berlaga untuk suatu mimpi. Melalui bayangan ini, aku hanya melihat betapa besarnya hutang penulis pada sejarah dan kehidupan. Penulis selalu ditagih hutangnya oleh sejarah. Dikejar-kejar oleh sejarah sementara mereka tidak sedikit yang asyik dengan diri sendiri. Memandang diri sebagai pusat segala. Melihat hutan dan sungai yang dilalui bus-ku melaju menuju Sarawak menyusur jalan malam, aku bertanya-tanya: Tidakkah ada analogi dan paralel antara Indonesiaku dan hutan-belantara? Kalau Mochtar Lubis almarhum menjuduli sebuah novelnya dengan "Harimau, Harimau!" aku sering menyaksikan di negeri kampung lahirku, manusia jadi harimau lapar yang ganas memangsai orang-orang senegeri. Globalisasi kapitalis adalah sejenis harimau juga adanya. Dunia kita pun Rara, apakah bukannya sejenis hutan harimau juga adanya? *** Paris, Akhir Musim Dingin 2008. --------------------------------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. [Bersambung..]
--------------------------------- Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel [Non-text portions of this message have been removed]