[wanita-muslimah] Sunat Perempuan_3

2006-09-25 Terurut Topik RAHIMA
SUNAT PEREMPUAN:Cermin Bangunan Sosial SeksualitasMasyarakat Yogyakarta dan 
Madura1Basilica Dyah Putranti2The objective of the study is to comprehend how 
the practice of Female Genital Cutting (FGC), or 'sunat perempuan' in local 
term, reflects a social contruction of sexuality in Indonesia society, and how 
it relates to sexual and reproductive health. The study was conducted during 
2002 in Yogyakarta and Madura, considering that both areas have distinct 
sociocultural contexts. First, a survey was conducted with 190 female 
respondents to find the tendency of the practice of FGC. In-depth interviews 
were held to more deeply understand people's view and to discover the intensity 
of the practice. The key informants were religious leaders, ethnic group 
members, FGC medical and non-medical practicioners, and persons who had 
directly experienced genital cutting.The study reveals that FGC, as MGC, is 
socially meant 'to Islamize' member of society. The meaning is culturally 
rooted on Javanese mysticism, a worldview base on syncretism of animism, 
dynamism, Hinduism, Budhism, and Islam. However, different norms-emphasized 
about FGC and modification of its practice are applied in the areas studied. It 
had discovered that the Madurese can be fanatical in refering FGC as a 
religious obligatory. The male religious leaders' dominance and rigid 
interpretations of Islamic holy books may be conducive for male-biased sexual 
behaviors and harmful procedures of FGC among Madurese. Among Javanese, by 
contrast, FGC is known as a part of court tradition, to be connected with a 
puberty rite which articulates symbolic actions. As opened social discourse is 
more accepted among Javanese, FGC is easily forgotten. Nonetheless, the meaning 
of FGC as a puberty rite has served as a basis for gender divisions among 
Javanese todays.Sebenarnya perdebatan mengenai sunat perempuan sudah dimulai di 
tingkatinternasional sejak tahun 1960an oleh aktivis dan tenaga medis di Afrika 
yangmenyuarakan konsekuensi kesehatan dari praktik sunat perempuan ini kepada 
PBB dan WHO. Namun suara tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius 
denganmenghasilkan suatu peraturan formal. Baru dalam dua dekade berikutnya 
sunatperempuan mulai sering dibahas dalam berbagai konferensi internasional, 
dan akhirnya ditegaskan dalam Konferensi Perempuan ke-4 di Beijing tahun 1995 
sebagai isukekerasan terhadap perempuan yang dapat menjadi ancaman bagi 
kesehatan reproduksi (Althaus 1997).Di Indonesia, sunat perempuan baru mulai 
dipersoalkan setelah gencarnyaperbincangan mengenai gender, seksualitas, dan 
kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis kira-kira sejak lima tahun 
terakhir ini. Sebelumnya kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak 
diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannyadipandang tidak cukup 
membahayakan kesehatan. Satu-satunya informasi mengenaisunat perempuan di 
Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang 
mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah 
Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, 
Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau 
Alor, dan suku Sasak di Lombok. Dalam studi tersebut juga dilaporkan bahwa 
sunat 1Paper ini ditulis berdasarkan penelitian tentang Sunat Laki-Laki dan 
Perempuan di Yogyakarta dan Madura yang dilakukan oleh penulis bersama dengan 
Muhadjir Darwin, Faturochman, SriPurwatiningsih, dan Issac Tri Oktaviantie. 
Paper serupa juga tengah dipersiapkan bersama Muhadjir Darwin untuk penerbitan 
buku 'Crafting Sexual Pleasure in Southeast Asia: Explorations of Gender 
Relations and Sexual Health bekerja sama dengan Australian National University 
dan The Ford Foundation.2Staf Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan 
Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

  Page 2 
Center for Population and Policy StudiesGadjah Mada UniversityS. 321, May 29, 
20032perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, 
yaitudengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris (Feillard  Marcoes 
1998).Di kalangan ilmuwan/wati di Indonesia, perbincangan mengenai sunat itu 
sendiri seringkali mempersoalkan sejak kapan praktik ini dilakukan di 
Indonesia; apakahbersamaan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 16, atau 
sudah ada jauhsebelumnya sebagai bagian tradisi masyarakat asli. Sedangkan 
dalam perbincangangender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi, persoalan 
berkembang seputarbagaimana sunat perempuan berfungsi untuk mengontrol 
seksualitas perempuan dalam rangka memperkuat sistem masyarakat yang 
patriarkhis.Tulisan ini mencoba mengkaitkan kedua persoalan di atas dalam 
rangkamenggambarkan sebuah bangunan sosial seksualitas masyarakat Yogyakarta 
danMadura, seperti tercermin melalui fenomena sunat perempuan. Perbedaan 
karakteristik kedua daerah 

[wanita-muslimah] sunat perempuan_3

2006-09-25 Terurut Topik RAHIMA
Khitan Perempuan 
Oleh KH. Husein Muhammad
(Tulisan ini diambil dari buku KH. Husein Muhammad  Fiqh Perempuan, Refleksi 
Kiai atas Wacana Agama dan Gender)  



Mungkin bagi sementara orang adalah sebuah ironi yang sangat menyakitkan ketika 
fiqh klasik disinyalir memberi kesempatan kepada lelaki untuk meningkatkan 
kesehatan dan kepuasan seksual secara optimal, sedangkan kaum perempuan terus 
diredam, dilemahkan, bahkan dikebiri agar agresivitas hasrat seksualnya bisa 
dikontrol oleh komunitas yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum 
lelaki. Hal demikian di antaranya dapat ditemukan dalam tradisi khitan 
perempuan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai budaya kuno manusia 
ketimbang hukum agama. 

Khitan, yang sering juga disebut sunat, merupakan amalan atau praktik yang 
sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat manusia dan diakui oleh agama-agama 
di dunia. Khitan tidak hanya diberlakukan terhadap anak lelaki, tetapi juga 
terhadap perempuan. Dalam berbagai kebudayaan, peristiwa khitan sering kali 
dipandang sebagai peristiwa sakral, seperti halnya peristiwa perkawinan. 
Kesakralan khitan tampak dalam upacara-upacara yang diselenggarakan untuk itu. 
Akan tetapi, fenomena kesakralan dengan segala upacaranya itu memang terlihat 
hanya berlaku pada khitan anak laki-laki. Untuk khitan perempuan jarang 
terlihat.

Dalam masyarakat muslim, amalan atau praktik khitan dikaitkan dengan millah 
Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai bapak para Nabi (Abu al-Anbiya'') dan 
diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Di dalam Al-Qur'an 
dinyatakan:




Artinya: Hendaklah kamu mengikuti millah (agama) Ibrahim yang lurus. QS 
an-Nahl 16:123.


Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Untuk lelaki, pelaksanaan 
khitan hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulup (qulf) penis lelaki; 
sedangkan untuk perempuan berbeda di setiap tempat, ada yang sebatas pembuangan 
sebagian dari klentit (clitoris) dan ada yang sampai memotong bibir kecil 
vagina (labia minora).14 

Kata khitan berasal dari bahasa Arab yang secara umum berarti memotong. Dalam 
fiqh, secara umum khitan adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu. Pada 
praktiknya, khitan lelaki berbeda dengan khitan perempuan. Khitan lelaki 
didefinisikan oleh al-Mawardi dengan: 

Pemotongan kulit yang menutup hasyafah (kepala penis), sedangkan khitan 
perempuan adalah: pemotongan bagian paling atas (klentit) dari faraj 
(kemaluan) perempuan, di atas tempat masuknya penis, yang berbentuk seperti 
biji atau seperti jengger ayam jago.15 


Dalam tulisan fiqh kontemporer, Syaikh Sayyid Sabiq berkata: 

Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar tidak 
menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan dapat merasakan 
kenikmatan jima' dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan adalah 
dengan memotong bagian teratas dari faraj-nya. Khitan ini adalah tradisi kuno 
(sunnah qadimah).16 


Berarti, bagi lelaki, khitan dengan memotong kulup adalah sangat positif, 
karena ia selain berpotensi menyimpan penyakit kelamin juga menyebabkan 
terjadinya pemancaran dini (ejaculitio seminis), sebab kepala penis yang 
berkulup lebih sensitif daripada yang tidak berkulup. Dengan demikian, khitan 
dengan pemotongan kulup bagi lelaki secara medis adalah sehat, dan akan 
menambah kenikmatan dan memperlama berlangsungnya hubungan seksual sehingga 
secara optimal lelaki dapat menikmati pemenuhan kebutuhan biologisnya. 
Sebaliknya, khitan pada perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan 
seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa 
menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ 
seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang akan 
membawa kenikmatan prima, dengan pemotongan organ tersebut, daerah erogen akan 
berpindah dari muka (clitoris) ke belakang (liang vagina), dan karena itu, 
rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh 
kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang 
sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi di beberapa tempat di 
Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis, karena dengan praktik itu sangat 
memungkinkan perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali, 
bahkan praktik itu tidak sedikit yang mengakibatkan kematian bayi.

Praktik khitan perempuan ini, yang masih mendapat legitimasi dari sebagian 
budaya di beberapa belahan bumi, akhir-akhir ini mendapat tantangan dan 
tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, terutama WHO dan LSM-LSM yang 
bergerak dalam pemberdayaan perempuan. Para aktivis gerakan ini juga menggugat 
semua tatanan budaya dan tradisi yang dinilai memberikan jalan pada 
berlangsungnya praktik yang sangat merugikan kaum perempuan tersebut, termasuk 
di antaranya teks-teks agama.

Di dalam Islam, hukum khitan sebenarnya bisa diformulasikan kembali dengan 
mengacu pada perspektif