Surat Kembang Gunung Purei:

"TOAST" SEPI,  RINDU, HATI DAN TUBUH

6.


Demikianlah "makna" dan "pesan" yang kupahami setelah membaca cerpen Xiao Lan 
berjudul "Toast". "Namun makna bukan pesan. Makna tidak untuk dipahami, ia 
harus dihayati. Sedangkan pesan memang memerlukan pemahaman, sebab tanpa 
pemahaman ia tidak akan "sampai" kepada tujuan", demikian Sapardi Djoko Damono 
dalam "Esai Pengiring. Mencoba Menghayati Si Malin Kundang" [Lihat: Ayu Utami & 
Sitok Srengenge [Penyunting Naskah], "Goenawan Mohamad. Sajak-sajak Lengkap 
1961-2001", Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001, hllm-hlm. 201-214].  

Apakah "makna" yang harus dihayati itu? 

Tentang hal ini, ada baiknya kita mengacu pada apa yang dikatakan oleh Goenawan 
Mohamad: 

"Pengalaman membawa kita untuk mengenal sifat  yang seperti itu [baca: pasemon] 
dalam kesusastraan: permainan dan ketegangan yang menghanyutkan dan mencengkam, 
pengelakan dan penundaan yang tak habis-habisnya untuk menemukan makna, 
pertemuan dengan makna yang muncul menghilang dalam kebebasan dan kesendirian" 
[Ibid].

Sebagai contoh Sapardi menyodorkan baris-baris   Robert Burns, si penyair 
romantik Inggris berikut:

"My love is like a red, red rose
that newly sprung in June"

dan pembukaan puisi T.S. Eliot "The Love Song of J. Alfred Prufcock": 

"Let's go then, you and I, when the evening is spread out against the sky, like 
a patient ehterised upon a table".

Sanjak T.S. Eliot ini, menurut Sapardi, "mengundang kita untuk menghayati 
susasana malam yang bagaikan pasien yang kena bius, dan sama sekali tidak 
mengarapkan kita memahaminya dengan cara mencari pesan di sebaliknya" [buku 
serupa].   

Lalu, bagaimana dengan yang disebut "pesan"? Pesan itu mengakhiri sebuah puisi 
seperti yang dikatakan oleh Sapardi:

" [....] begitu pesan ditangkap, sajak pun selesai -- dan itu mungkin saja 
terjadi pada sajak yang tugas utamanya memikul pesan, atau pada pembaca yang 
puas karena merasa telah menemukan pesannya" [ buku serupa] . 

Barangkali "makna" dan "pesan" merupakan rincian dari isi suatu karya. Keduanya 
berjarak tidak jauh sehingga seperti ujar Sapardi menimbulkan suatu "masalah 
pelik". Sebab,  "[....] yang harus dihadapi seorang yang berusaha "menjelaskan" 
penghayatannya adalah kecenderungan untuk bergeser posisinya dari penghayat 
menjadi pemburu pesan. Jika ia menuruti kecenderungan itu, tulisannya hanya 
akan menjadi semacam kegiatan "mencari kutu" [Ibid]. Padahal mungkin sekali si 
penulis sama sekali tidak memelihara "kutu" dalam tulisannya. Bukan tidak 
mungkin dalam tulisan mengenai cerpen "Toast" Xiao Lan ini, aku terseret oleh 
"kegiatan 'mencari kutu'" yang dikatakan oleh Sapardi. Tapi seperti kukatakan 
di atas, jika memang demikian, selain memperlihatkan kurang ketatnya aku 
menjaga disiplin pendekatan, ia bisa dilihat juga sebagai kedaulatan pembaca.   
Dari segi "kedaulatan pembaca" menafsir suatu karya,  lepas dari sesuai atau 
tidak dengan ide awal penulisnya,  nampak pengaruh dari karya yang disiarkan 
atau diterbitkan sehingga mengangkat ke atas masalah tanggungjawab seorang 
penulis. Hanya saja, bertanggungjawab atau tak usah hirau pada tanggungjawab 
sebagai penulis, adalah urusan masing-masing. Masalah pilihan sama sebangun 
dengan pandangan hidup masing-masing penulis. Sesuai dengan pandangan 
masing-masing tentang untuk apa ia menulis dan bagaimana ia menggunakan 
ketrampilannya menulis. Berdasarkan alur pandangan pilihan ini, ia akan memilih 
tema dan bagaimana mengolah tema tersebut. Makna dan pesan apakah yang mau 
disampaikannya.

Dalam hal ini, aku tidak mengatakan bahwa puisi dengan muatan "makna" lebih 
baik dari yang bermuatan "pesan" atau sebaliknya. Yang terpenting  bagiku bahwa 
puisi itu tetap puisi dan niscaya mengandung unsur-unsur puitisitas. Sastra 
tetap sastra yang tak menceraikan "makna", "pesan" dan "tekhnik pengungkapan 
yang artistik". 

"Makna" dan "pesan" disampaikan dengan menggunakan apa yang disebut 
"konsep-konsep cara pengucapan" atau "muslihat", jika boleh meminjam istilah 
Sapardi,yang kukira lebih menjadi urusan penulis daripada pembaca. Dengan kata 
sederhana, barangkali bisa disebut sebagai tekhnik atau ketrampilan menulis 
yang tentu saja bisa dicapai dengan kerja keras, latihan, pencarian dan belajar 
tanpa henti sebagaimana usaha memperluas cakrawala pengetahuan dan pandangan. 
Karena "makna", "pesan" dan cara pengungkapan, keduanya saling berhubungan satu 
dengan yang lain.  Kukira, hal ini  pun berlaku pada pembaca. Peningkatan taraf 
apresiasi sastra pembaca, pembaca yang paham sastra, pembaca yang berwacana 
sebagai hasil proses pendidikan sejak kanak, akan bisa berfungsi sebagai 
kontrol sosial terhadap kesewenangan penerbit yang bermodal besar guna 
mengarahkan kehidupan sastra-seni ke satu jurusan sesuai dengan kepentingan 
kapital tanpa hirau akan esok bangsa dan negeri serta kemanusiaan. 

Dalam hubungan ini, Xiao Lan,  aku merasa beruntung berkesempatan tinggal di 
Perancis, khususnya Paris, di mana taraf apresiasi sastra masyarakat cukup 
tinggi, sastrawan mendapat tempat terhormat dalam masyarakat, demokrasi, dengan 
segala kekurangannya, menyediakan  ruang gerak berpikir yang layak, kritik dan 
debat sastra serta ide yang sehat cukup berkembang, karya-karya sastra berbagai 
penjuru dunia masuk leluasa dan segera diterjemahkan. Suara sastrawan dan 
seniman didengar oleh semua pihak, semenjak Emile Zola membela secara 
habis-habisan sampai terpaksa eksil ke Inggirs,  Kapten Dreyfus habis-habisan. 
Kapten Dreyfus yang dikatakan berkhianat oleh pemerintah dan tentara, sekarang 
oleh Presiden Chirac telah diputuskan untuk segera  dimakamkan ulang di 
Pantheon -- makam putera-puteri terbaik Perancis. Ini adalah jasa dan pengaruh 
sastrawan dalam masyarakat. Zola tidak mabuk nama, tidak pula mengejarnya. Nama 
hanya membuntut dan hasil dari kerjanya. Ia sanggup menderita demi nilai 
manusiawi dan keadilan sebagai prinsip dari kerja sastranya. Tadisi Zola ini,  
sampai sekarang terus berlanjut  hingga menjadikan "sastra engagé" [berpihak]  
punya tempat dan dihitung benar. Melihat Indonesia dari tebing-tebing sungai 
Seine dan Jembatan Sembilan, aku sering menanyakan diri dengan kesanggupan 
menhgadapi segala seperti apa adanya: "Bagaimana dengan sastrawan dan seniman 
kita hari ini? Apa dan bagaimana prinsip kita dalam bersastra?" Di sinilah, 
dalam artian perbandingan,  aku sangat menghargai May Swan, penulis Singapura, 
yang baru menerbitkan kucerpennya "Matahari Di Tengah Malam", di Jakarta, Mei 
2006 lalu. Ia jelas dengan prinsip dan arah bersastra.

Kembali ke cerpen "Toast". Bagaimana cerpen Xiao Lan, yang merupakan salah 
seorang penulis cerpen  paling terkemuka, paling tidak di Jawa Timur sekarang, 
ini jika dilihat dari segi "cara pengungkapan"? Tentu saja, apa yang kukatakan 
di bawah ini, tidak lebih dari pendapat seorang awam dan pelajar awal dunia 
sastra-seni. Sama sekali tanpa pretensi  merasa diri sebagai kritikus,  apalagi 
sastrawan. Pendapat dari seorang pembaca yang menghormati dan sadar akan 
kedaulatannya sebagai pembaca setara dengan kedaulatan penulis, yang tak 
gampang-gampang bebas dari kendali kapital sehingga sering "melacurkan" diri 
secara nilai demi selembar nyawa dan  barang dagangan.  "Presiden Penyair" pun 
tak pernah membela warganya. Suka sebutan tapi mengelak tanggungjawab. Baik 
buruk ditentukan oleh uang dan uang. Pemilik uang. Yang aku khawatirkan bahwa 
arah sastra-seni kita juga ditentukan oleh pemilik uang yang menciptakan nilai 
dominan dalam masyarakat dan tak segan kompromi dengan kebiadaban dan bahkan 
pembunuhan. Nyawa, jiwa sekian juta orang dan esok negeri serta manusia, 
seharga puntung rokok di tumit sepatu, tak pernah jadi hitungan. Apalagi tubuh 
perempuan. Republik dan Indonesia masih menjadi fatamorgana. 

Pilihan tema dan cara pengungkapan cerpen "Toast" dan entah  berapa banyak 
cerpen dan novel lain yang telah diterbitkan di Indonesia "orang sakit Asia 
Tenggara",   yang erotis dan seksis pun kupahami dari sudut pandang begini. 
Benarkah begitu miskinnya tema lain yang bersumber dari kehidupan di negeri ini 
sehingga kita dijejali oleh penerbit besar dengan soal seks dan erotisme atau 
yang dekat-dekat dengan jurusan ini? Inikah yang disebut kebebasan dan 
kesetaraan perempuan? Quo Vadis sastra kita jika begini?

Dari Jembatan Sembilan sungai Seine,  aku melihat betapa masih jauhnya  
perjalanan menuju Republik dan Indonesia. Kraeng  Kalesong sepi sendiri dengan 
mimpinya di makamnya di Jawa Timur, keadaan yang  seakan mengatakan bahwa 
Indonesia tak lagi memerlukan pahlawan dan kepahlawanan, sukarela menjadikan 
diri  sebagai "koeli", obyek dan barang dagangan, di antara bangsa-bangsa 
dunia. 


Paris, Juli 2006.
----------------------
JJ. Kusni


[Bersambung.....]

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Something is new at Yahoo! Groups.  Check out the enhanced email design.
http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. 
Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas 
nama RETNO WULANDARI. 

Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa.

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke