itu tergantung perbedaan tafsir ttg khilafah itu apa? kalau ditafsirkan bentuk 
pemerintahan, ya tidak relevan dengan pengalaman sejarah Islam dan kondisi 
kekinian kita. Makanya, mayoritas ulama menafsirkannya sebagai tugas individual 
atas semua muslim sebagai pemimpin yg memiliki tanggungjawab ketuhanan untuk 
mengejawantahkan semua ajaran Tuhan. Pendapat terakhir ini yang diterima jumhur 
ulama. Islam akan maju kalau kita sebagai umatnya tidak menutup diri dan tidak 
memahami agama secara dangkal. Mungkin dua artikel berikut ini bisa memberi 
penjelasan. 
  Tapi sikap Bush yang memandang sebagian kelompok umat Islam sebagai musuh pun 
sangat kita kecam. Orang seperti Bush ini yang turut bersumbangsih menciptakan 
ketegangan Islam dan Barat. Jangan tersinggung ya, aku cuma membantu 
menyodorkan pandangan lain dari yg mas percayai. Saya harap kita tetap saling 
hormat menghormati meski berbeda pandangan.
  Wassalamu 'alaikum..
   
   
   KOMPAS
    
  Opini  
                          
         Sabtu, 18 Agustus 2007 
      
      
      
      Relevansi Khilafah di Indonesia 
  Azyumardi Azra 
  

  Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan Hizbut Tahrir 
Indonesia pada 12 Agustus 2007 setidaknya berhasil menarik perhatian media 
internasional. 
  Beberapa hari sebelum dan pada hari-H konferensi itu, saya diwawancarai 
beberapa media internasional, termasuk al-Jazeera English live, dari Jakarta. 
Bagi kalangan media internasional yang memiliki persepsi atau bahkan bias 
tertentu terhadap Hizbut Tahrir (HT), Konferensi itu memiliki signifikansi 
sendiri. Bahkan dari aneka pertanyaan yang diajukan, tergambar seolah dengan 
konferensi itu Islam Indonesia telah berubah drastis; kesan mereka, dengan 
konferensi itu, khilafah segera berdiri (entah di mana), dan syariah Islam 
secara serta-merta segera berlaku di seluruh Indonesia. 
  Konferensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428 H). Konon 
pada tanggal yang sama apa yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai 
"Khilafah Utsmaniyyah" di Turki dihapuskan penguasa sekuler Turki, Kemal 
Ataturk pada 1924. Jika orang-orang Turki saja tidak pernah menangisi tamatnya 
riwayat khilafah ini, sebaliknya HT umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi 
berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani itu sebagai tamatnya persatuan Islam.
   
  
  Makna khilafah 
   
  Apa sebenarnya khilafah itu? Masih relevan atau viable-kah pembentukan sebuah 
khilafah di tengah realitas dunia Muslim Indonesia dan internasional? 
  Awalnya istilah khilafah mengacu pada Al Quran surat al-Baqarah Ayat 30 
tentang penciptaan manusia yang disebut khalifah, wakil Tuhan di bumi. Dalam 
hubungan dengan ayat-ayat lain, para ulama menafsirkan, tugas khalifah ialah 
memakmurkan kehidupan di muka bumi, bukan menegakkan khilafah, yaitu 
kekhalifahan, sebuah lembaga politik yang bermula pada masa pasca-Nabi 
Muhammad. Kekhalifahan ini dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidun 
berturut-turut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ’Ali bin Abi 
Thalib. Ciri paling menonjol dari kekhalifahan yang empat ini ialah bahwa 
sukses didasarkan merit, keunggulan kualitas pribadi daripada yang lain- lain. 
  Kekhalifahan (khilafah), menurut sejarawan terkemuka Ibn Khaldun, tamat 
dengan berakhirnya al-Khulafa’ al-Rasyidun. Entitas politik Islam selanjutnya, 
seperti Dinasti Umaiyyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah, bukan 
khilafah karena suksesinya berdasar tali darah daripada merit. Semua entitas 
politik pasca-al-Khulafa’ al-Rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan 
khilafah. 
  Karena itu, seperti pernah saya kemukakan dalam wawancara khusus tentang 
khilafah dengan majalah al-Wa’ie, media resmi HTI, gagasan khilafah yang mereka 
usung pada dasarnya merupakan romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Karena, 
jika rujukan gagasan khilafah ialah kekuasaan Turki Utsmani, maka sejak awal 
pembentukannya pada masa Sulaiman al-Qanuni abad ke-15, para penguasanya hampir 
tidak pernah menyebut entitas politik mereka sebagai khilafah atau memanggil 
diri mereka sebagai khalifah. Sebaliknya, dengan rendah hati menyebut diri 
sebagai sultan. Barulah saat penguasa Turki Utsmani terakhir Sultan Abd 
al-Hamid pada dasawarsa kedua abad ke-20 terancam gerakan Turki Muda yang akan 
mengambil alih kekuasaan, ia menyebut diri sebagai khalifah guna menarik 
simpati dan solidaritas kaum Muslim lainnya. 
  Para penguasa Turki Utsmani tampaknya menyadari, khilafah dan jabatan 
khalifah bukan sembarangan. Mereka tahu, pada dasarnya adalah para ghazi, 
perwira, yang karena perjalanan sejarah menjadi para penguasa. Namun, sadar 
atau tidak, kekuasaan yang mereka bangun—dalam perspektif ilmu politik 
modern—adalah "oligarki militer" yang kemudian mengalami transformasi menjadi 
kesultanan. 
  Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paruhan kedua abad ke-19, para sultan 
Turki Utsmani lebih dikenal sebagai penguasa yang despotik, yang lebih asyik 
dengan diri sendiri daripada memedulikan rakyat. Namun, untuk menciptakan citra 
kesalehan bagi dirinya, para penguasa ini memberi beasiswa kepada para penuntut 
ilmu, khususnya yang ada di Haramayn (Mekkah dan Madinah). 
  Karena watak Dinasti Turki Utsmani seperti itu, Haji Agus Salim pernah 
mengingatkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia yang terlibat dalam Komite Khilafat, 
yang menentang penghapusan yang dilakukan Kemal Ataturk, bahwa khilafah tidak 
memiliki relevansi dengan Indonesia. Sebaiknya kaum Muslimin Nusantara tidak 
menjadikan para penguasa Utsmani yang despotik itu sebagai sosok ideal mereka. 
Yang relevan dengan kaum Muslimin Indonesia ialah mencapai kemerdekaan dan 
memakmurkan kehidupan bangsa sesuai dengan surat al-Baqarah Ayat 30 itu. Sejak 
itu, Komite Khilafat Indonesia kehilangan momentumnya dan ide khilafah tidak 
pernah lagi menjadi wacana kaum Muslimin arus utama seperti diwakili Nahdlatul 
Ulama, Muhammadiyah, dan banyak lagi. 
  Lepas dari pernyataan Haji Agus Salim dan kenyataan tidak berkembangnya 
wacana khilafah dalam arus utama kaum Muslim Indonesia, gagasan khilafah 
agaknya tidak pernah pudar. Sejak Jamaluddin al-Afghani menyerukan perlunya 
khilafah (politik) di Istanbul dan khilafah keagamaan di Mekkah, bisa disimak 
ide khilafah yang dikembangkan para pemikir sejak Abd al-Rahman al-Kawakibi 
(Suriah), Abu al-A’la al-Mawdudi (Pakistan) dan Taqi al-Din al-Nabhani 
(Palestina), pendiri HT. Tentu saja, sejauh ini HT paling gigih memperjuangkan 
apa yang disebut khilafah. 
  

  Khilafah dan negara bangsa 
  

  Gagasan khilafah pada masa modern kontemporer menyerukan pembentukan 
kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi; sebuah gagasan 
yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Jika 
umat Islam boleh jujur kepada diri sendiri, kesatuan semacam itu tidak pernah 
terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun. 
Kesatuan hanya terwujud pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tetapi sejak 
masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan, terjadi pertikaian dengan ‘Ali bin Abi 
Thalib—lalu menjadi khalifah keempat. Sejak itu, persatuan umat Islam di bawah 
satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh. 
  Abu A’la al-Mawdudi, yang merumuskan khilafah secara lebih komprehensif, 
menyadari hampir tidak mungkinnya mewujudkan khilafah universal. Akhirnya ia 
menyerah kepada realitas negara-bangsa (nation-state). Ia menerima kehadiran 
negara-bangsa Pakistan pascapartisi Anak Benua India pada 1947, lalu mendirikan 
parpol Jama’ati-Islami untuk mewujudkan cita-citanya mencapai khilafah. Maka, 
al-Mawdudi dan Jama’ati-Islami terlibat pergulatan politik nasional Pakistan 
yang kompleks, sampai terlihat seolah melupakan gagasan dan cita khilafahnya. 
  Pengalaman al-Mawdudi itu setidaknya menunjukkan dua kontradiksi. Pertama, 
khilafah tidak mungkin dicapai melalui negara-bangsa. Kedua, negara-bangsa yang 
ada pada dasarnya menerapkan sistem demokrasi modern. Dan khilafah tidak 
kompatibel dengan demokrasi yang bersandar pada vox populi vox dei (suara 
rakyat adalah suara Tuhan), sementara khilafah yang berdasar pada vox dei vox 
populi (suara Tuhan adalah suara rakyat). 
  Realitas politik yang begitu kompleks membuat al-Mawdudi mengompromikan cita 
khilafahnya. Boleh jadi, HTI akan menempuh jalan yang sama. HT Jordania, 
misalnya, membentuk parpol yang terlibat proses-proses politik modern. HTI 
boleh jadi mengikuti langkah lebih realistis dengan membentuk parpol. Jika itu 
jalan yang ditempuh, realisme HTI patut diapresiasi dengan iringan doa, semoga 
berhasil di belantara politik Indonesia. 
   
  Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) 
Syarif Hidayatullah Jakarta 
        
          
  

  

  Situs Berita Rakyat Merdeka
GAZEBO
Sabtu, 18 Agustus 2007, 15:30:37 WIB
www.rakyatmerdeka.co.id
  
Puritanisme Islam & Pengkhianatan Elit Politik

Oleh: Buya Abd. Aziz Aru Bone
  
Hari Minggu (12/8) kemarin, sekitar 90 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 
memadati Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta , dalam acara bertajuk, 
“Saatnya Khilafah Memimpin Dunia; Konferensi Khilafah Internasional 2007.” 
Organisasi Islam puritan yang menyatakan diri sebagai gerakan politik dengan 
agenda pembentukan Khilafah Islamiyah ini secara tegas menyatakan, menolak 
konsep sosial-politik Barat, seperti, konsep negara-bangsa (nation-state) dan 
demokrasi. 

Dengan pembentukan Khilafah Islamiyah, HTI bukan saja bercita-cita melenyapkan 
demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , tapi juga mencita-citakan semua negara 
berpenduduk muslim mayoritas sebagai satu kesatuan politik. 


Kebangkitan Islam puritan yang aktornya diperankan oleh gerakan keislaman 
seperti HTI, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Dunia 
Islam, terutama Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan dunia Islam 
sebagai respon terhadap kolonialisme Barat di era kolonial adalah, bahwa yang 
paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan 
invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap 
validitas ajaran Islam. Maka berbagai konsep social-politik yang diidentifikasi 
berasal dari Barat, seperti, nation-state, sekularisme, demokrasi dan 
liberalisme, diletakan sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang 
mengancam koherensi dan validitas Islam. Dan seruan untuk kembali kepada 
autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural 
Barat. (El Fadl, 1997:2). 

Dalam konteks pasca kolonial kini, sikap menempatkan dunia 
Islam pada kutup yang berlawanan secara diametral dengan Barat terus berlanjut 
dengan mengambil beragam agenda dan strategi, dari yang paling radikal melalui 
berbagai gerakan terorisme yang dimotori oleh organisasi seperti Al-Qaeda, 
hingga yang mengambil perlawanan politik-kultural dengan melakukan penolakan 
secara menyeluruh dan fundamental atas berbagai konsep sosial politik Barat, 
seperti yang dipelopori organisasi gerakan keislaman Hizbut Tahrir di berbagai 
negara. 

Meski berbeda agenda dan strategi aksi, tapi gerakan Islam puritan ini 
sama-sama memposisikan Barat sebagai the others (meminjam istilah Edward W 
Said) yang menyebabkan keterpurukan Dunia Islam melalui kolonialisme duhulu, 
hingga imperealisme kini. 
Sikap menempatkan Barat sebagai lawan juga dipicu dan seakan mendapatkan 
justifikasi teologis oleh pembacaan teks-teks keagamaan dengan lagam 
puritanistik. 
Kaitannya dengan ini, tokoh penting dan ideolog Ikhwanul Muslimin yang 
merupakan organisasi asal Hizbut Tahrir, Sayyid Qutb, meramu tafsir tentang 
jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif. 

Dalam lagam penafsiran yang puritanistik- tekstual ala Qutb, Islam puritan juga 
mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua ideologi dan konsep-konsep 
sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, 
termasuk demokrasi dan nation state. 

Kini Islam puritan hadir di Indoensia. Selain dipengaruhi dua faktor di atas, 
tumbuh suburnya puritanisme Islam di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru, 
juga merupakan aktualisasi kekecewaan masyarakat bawah atas peralihan politik 
dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi yang sama sekali tidak berdampak pada 
perbaikan kesejahteraan rakyat. 

Kecewa terhadap elit politik yang
tidak menunjukan komitmen sungguh dan kepedulian penuh pada rakyat, rakyat pun 
bukan saja tidak percaya terhadap elit politik, tapi juga tidak percaya 
terhadap demokrasi. Lalu memandang penuh harap pada gerakan puritanisme agama 
yang dipandang memberikan harapan baru di dunia dan bumbu-bumbu janji syurgawi 
di kehidupan setelah mati. 
Maka perlawanan terhadap puritanisme Islam Indonesia , sebenarnya bukan saja 
merupakan tantangan dan tanggungjawab kalangan muslim moderat dan civil 
sosiety, tapi juga elit politik. 

Meski kehadirannya mengancam demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , 
perlawananan terhadapnya tidak perlu melibatkan tangan besi kekuasaan negara, 
karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan 
berorganisasi dan berpendapat. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini 
menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan. 
Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara kultural oleh kalangan Islam 
moderat dan civil society dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin 
Indonesia tentang pentingnya meletakan Islam sebagai corpus terbuka, moderat, 
dan mengambil peran kultural dalam relasi Islam dan negara, bukan sebagai 
ideologi politik tertutup yang legal-formalistik. Karena tidak seperti Islam 
Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang 
non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam 
konteks Islam Indonesia , gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan 
adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi. 

Itu saja tidak cukup, tugas berat juga diemban para pengelola negara dan 
elit-elit politik untuk segera mengakhiri pengkhianatannya terhadap rakyat dan 
nilai-nilai demokrasi. Bahwa kini sudah saatnya para elit politik harus 
menunjukan keseriusan,
komitmen tinggi dan keberpihakan pada rakyat agar perubahan politik yang 
terjadi secara langsung dapat berpengaruh positif pada perbaikan kesejahteraan 
rakyat, bukan hanya pergantian kekuasaan politik di tingkat elit. 

Keberpihakan sepenuh hati pada kesejahteraan rakyat, merupakan keniscayaan 
muktak untuk menumbuhkan optimisme rakyat terhadap demokrasi sekaligus 
membendung arus puritanisme Islam yang mengancam nation-state dan demokrasi 
Indonesia. Lantaran, puritanisme Islam tumbuh subur di Indonesia pasca Orde 
Baru, bukan hanya sebagai respon atas sikap politik Barat terhadap dunia Islam 
yang tidak adil dan disokong oleh pemahaman keislaman yang puritanistik, tapi 
juga dipicu oleh kekecewaan terhadap elit politik dan pengelola negara yang 
kerap mempertontonkan pengkhianatan atas nilai-nilai demokrasi dan tidak 
memiliki keberpihakan sepenuh hati kepada rakyat.(**) 
  

   
   
   
   
   
   
   
   
   
  

Achmad Chodjim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          "Tsumma takunu ala khilafatun minhajin nubuwwah (dan akan tegak 
kembali khilfah yang bermanhaj kenabian)"

Hadis yang dikutip ini tidak menunjukkan bahwa kita harus mendirikan khilafah! 
Khilafah dan Nubuwah itu haq Allah. Jadi, kita tidak bisa mengusung kenabian 
atau khalifah. Maka, tugas penting umat Islam adalah menjalankan kehidupan ini 
secara islami. Kita bangun iklim yang kondusif. Khalifahnya sendiri sudah ada, 
dan masih gaib bagi umat manusia saat ini.

Dengan iklim yang kondusif itu, kelak Sang Khalifah akan diturunkan langsung 
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perhatikan ujung QS 7:157 di bawah ini:

".....Falladziina aamanuu bihii wa 'azzaruuhu wa nasharuuhu wattaba'uu annuur 
alladzii unzila ma'ahu ulaaika hum al-muflihuun."

Maka orang-orang yang beriman kepada dia (Muhammad), memuliakannya, menolongnya 
(menciptakan iklim yang kondusif), dan mengikuti CAHAYA YANG DITURUNKAN BESERTA 
DIA (Muhammad), merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan/keberuntungan.

Dus, khalifah bukanlah kekuasaan yang kita rebut atau kita himpun kekuatan 
massa untuk kita dirikan. Bukan demikian! Kewajiban kita hanyalah beriman 
kepada Rasul Allah, memuliakan Rasul Allah, Menolong Rasul Allah, dan mengikuti 
cahaya yang diturunkan Allah yang menyertai Rasul Allah. Makanya, tak ada 
khalifah pasca Khulafa' arrasyiduun. Nanti, akan turun lagi ya karena Sang 
Khalifah itu sudah ada, dan tinggal kita bersiap-siap saja menjemputnya. Jadi, 
kita tidak berebut khilafah seperti sekarang. Khilafah yang ini sih akal-akalan 
NEKOLIM (neoklonialisme imperialisme).

Salam,
chodjim

----- Original Message ----- 
From: Irdham Kusuma 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Thursday, September 06, 2007 9:28 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fwd: Bush Bersumpah Akan Menyerang Siapa 
Saja yang Ingin Kekhilafahan di Ti

Recent Activity
a.. 14New Members
Visit Your Group 
Y! Messenger
All together now

Host a free online

conference on IM.

Share Photos
Put your favorite

photos and

more online.

Yahoo! 360°
Start Today

Get your own

place online
.Kalau orang kafir seperti Bush saja meyakini akan kembali berdirinya khilafah 
apalagi kita yang muslim. Bukankan sudah jelas sabda masul bahwa: Tsumma takunu 
ala khilafatun minhajin nubuwwah (dan akan tegak kembali khilfah yang bermanhaj 
kenabian) Lagipula kalau khilafah itu dianggap tidak nyata buat apa repot-repot 
mempertentangkan pihak yang memperjuangkan berdirinya kembali khilafah, iya 
khan?

[Non-text portions of this message have been removed]



                         

       
---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke