Mas Jehan,
Saya rasa mas benar mengenai approach untuk menegakkan Islam secara
struktural dan kultural. Salah seorang ustadz saya di sini juga
mengatakan bahwa kita sebaiknya melakukan approach di kedua jalur
tersebut, secara kultural maupun struktural. Dan bukan hanya salah
satunya.
Saya juga mengakui bahwa apa yang saya tuliskan memang sangat amat
terlalu sederhana. Pada prakteknya tentu tidak akan semudah itu. Mungkin
yang terbaik memang menentukan visi terlebih dahulu, baru kemudian
mengurainya menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana. Sayangnya, umat
Islam (di Indonesia) ini untuk menetukan visi saja kebanyakan tidak
berani, mas. Tapi itu pun bisa dimengerti, mengingat environment dan
lingkungan seperti ini, menentukan "dari mana kita mulai" aja sudah
sulit, apa lagi bermimpi mengenai visi.
Namun demikian, saya yakin, sesuatu yang sulit bukan berarti tidak
mungkin. Sulit artinya memerlukan lebih banyak effort dari kita semua.
Kota tempat saya tinggal ini (Balikpapan) memiliki cita-cita untuk
menjadi Madinatul Iman. Pak Walikota punya visi agar kota ini menjadi
kota yang Islami. Saat ini beberapa teman di sini mulai mendiskusikan
suatu konsep kota Islami tersebut. Saya masih belum tahu seperti apa
itu.. tapi banyak sudah masukan dari rekan-rekan dalam hal ini, termasuk
rekan-rekan ex warga balikpapan yang sedang berada di luar negeri. Saya
rasa ini adalah suatu awal yang baik. Makanya saya bilang, mulai dari
satu kota aja mungkin sudah bisa jalan..
Pak Latif,
Dalam naungan Syariat Islam yang seharusnya, mestinya technology dan
ekonomi akan maju juga, walaupun tanpa adanya riba. Riba itu jelas
haramnya. Saya rasa tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita bisa punya
perbankan dan pengaturan ekonomi yang baik namun bersih dari riba. Itu
memungkinkan, kalau kita semua mau bekerja keras. Kenapa Indonesia
terpuruk? Salah satunya karena riba, pak.. kita terlilit utang dan
bunga-bunganya. Setiap kepala warga negara Indonesia ini berutang
sebesar 17 juta rupiah pada saat ini. Dan sedihnya lagi, kita menjadi
object riba yang empuk karena kita tidak punya kekuatan untuk
menolaknya...Astaghfirullaahaladziim... sediiih banget saya kalau
mengingat ini pak.
Permasalahan lain adalah mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam. Islam
punya cara untuk mengaturnya. Kalau bapak mengetahui yang terjadi di
freeport, sedih banget pak. Berapa ton emas yang dihasilkan di sana
setiap harinya (saya tahu ini dari salah seorang rekan di freeport). Dan
berapa harga kontrak kerja samanya.. berapa yang dinikmati penduduk..
menyedihkan. Bila kita mengikuti cara yang islami, tentu hasilnya tidak
akan demikian.
Banyak lagi yang lainnya. Mungkin terlalu panjang kalau diuraikan satu
persatu. Mungkin lain kali aja.
Wassalaam,
-Ning
** Sedih dengan keadaan bangsa ini **
-Original Message-
From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Jehan
Sent: Thursday, September 08, 2005 8:44 PM
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] Menegakkan Syariat Islam
"Tri Budi Lestyaningsih \(Ning\)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mau mulai dari wadah dengan scope kota, kabupaten atau negara, menurut
> saya bisa-bisa saja. Tapi tentu dengan tidak melupakan visi untuk
> mempersatukan umat di seluruh dunia dalam naungan syariat Islam
> tersebut. Ya kan mas?
Saya pikir istilah "menegakkan" SI bukan konsep yang sederhana. Sama
tidak sederhananya konsep SI itu sendiri. Jadi apa yang mbak Ning
ungkapkan itu saya pikir terlalu sederhana.
Kita tentunya akan bicara kontroversi antara Islam Struktural dan Islam
Kultural yang klasik namun tetap aktual. Apa sebenarnya masalahnya?
Saya pikir ada keterpecahan pemikiran dalam melihat dua pendekatan ini,
yang akhirnya menghasilkan gagasan Islam Kultural yang tidak
terstruktur di satu sisi, dan Islam Struktural yang terlalu kaku dan
keras tak berkultur. Islam Kultural sangat lemah dalam gagasan2
praktikal dan stratejik, sedangkan Islam Struktural sangat lemah dalam
memahami aspek2 kultural yang salah satunya adalah aspek pluralitas
yang ada.
Saya tidak memilih salah satunya, namun keduanya. Kedua pendekatan
tersebut, kultural dan struktural, tidak perlu dipertentangkan. Karena
seperti saya pernah bilang, melihat suatu dualitas sebagai bertentangan
jauh lebih mudah ketimbang melihatnya sebagai harmoni.
Menurut saya pendekatan kultural maupun struktural tidak dapat
dipisahkan. Ada hubungan dialektik diantara keduanya yang berproses dan
berinteraksi secara terus menerus. Masalahnya, bagaimana mendekati
dialektika ini secara positif?
Pertanyaan2 seputar pengaruh hukum dan moral dari fatwa MUI adalah
contohnya. Di belakang pertanyaan2 itu tentunya banyak sekali pemikiran
dan keinginan2 yang merefleksikan kedua pendekatan tersebut. Satu pihak
mengatakan fatwa MUI tidak mengikat, yang lain mengikatkan setiap
aksinya dengan fatwa MUI. Sayangnya contoh2 dialektika yang ada selama
ini tidak menghasilkan apa2. Sama saja sejak dulu. Sejak kontrov