[zamanku] Tara Pernah Minta Tolong di Wall Facebook Anand Krishna
Tara Pernah Minta Tolong di *Wall* Facebook Anand Krishnahttp://www.detiknews.com/read/2010/02/24/213928/1306316/10/tara-pernah-minta-tolong-di-wall *E Mei Amelia R* - detikNews *Jakarta* - Maya Safira Muchtar, Direktur Anand Krishan Foundation membantah segala tudingan Tara Pradiptha Laksmi atas pelecehan seksual yang dilakukan Anand Krishna. Bahkan, menurut Maya, Tara pernah meminta tolong di dinding situs jejaring sosial facebook milik Anand Krishna. Dia menulis di wall Pak Anand dan beberapa teman-temannya, kata Maya di Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (24/2/2010). Berikut tulisan Tara dalam dinding facebook milik Anand Krishna yang berakun Anand Krishna Full. Bapak...i hate to give you more problems know...but i have to ..i can't stand it anymore..i've been held as a hostage in my own house by my parents so i can't go anywhere...only because they don't want me to be my self and follow what my heart say, even my wish is actually to keep my problems to be myself and finish this semester..but they still not allowed me please help me...liberates me...help me bapak..get me out.. Tulisan itu dipostingkan oleh Tara dalam akun facebooknya Tara Laksmi pada 14 Juni 2009 pukul 8.33 WIB. Dengan nada yang sama, Tara juga mempostingkan tulisannya di dinding beberapa teman facebooknya pada 14 Juni 2009 8.29 WIB. I want to get out of my house...i've been held as a hostagr in my own hpuse...and can't go out anywhere. Only because my parents don't allow me to be myself and follow my heart says...sombody please HELP ME OUT NOW!!! Melihat hal itu, pengacara Maya, Darwin Aritonang menilai, Tara justru memiliki masalah keluarga. Ayahnya baru pulang dari Australi, sepuluh tahun dia tidak ketemu ayahnya. Saat dia menuliskan itu, dia kos. Lalu keluar, tidak ada kabar. Baru muncul peristiwa ini, pungkasnya. * (mei/asp)*
[zamanku] Meditating on the Media
By Anand Krishna on TheBaliTimeshttp://www.thebalitimes.com/2010/03/26/meditating-on-the-media/%20 March 26, 2010 The media is the most powerful entity on earth,” said the American black militant leader Malcolm X, popular in the 1960s. For, in his own words, “They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.” How does the media do this? How does it control the minds of the masses? By repeating one thing over and over. In the words of my very dear friend the late Dr Setiawan, a neurosurgeon par excellence, “The mind can be manipulated and controlled by intensive repetition.” The word “mind” here is used for the “common mind.” A common mind is a dull mind. When it is bombarded with a certain idea – whether constructive or destructive – it begins to believe in it. A dull mind cannot differentiate between the two. Now, a dull mind is not necessarily an illiterate mind. A highly intellectual mind can also be dull, and therefore destructive. On the other hand, an illiterate mind can be sharp, and therefore constructive. The number of books we have read, the number of degrees we have acquired or the number of awards we have received – all these do not necessarily sharpen our mind. Our mind is sharpened by varied kinds of experiences. A sharp mind is an all-rounder mind. It is holistic and expansive. A sharp mind is a borderless mind, infinite and as limitless as the sky. Modern-day scientists, scholars, specialists and experts tend to have “concentrated” minds. In Nicholas Murray Butler’s words, they know “more and more about less and less.” Such non-expansive minds can never be sharp. A deeply religious mind that is not aware of the latest developments in the fields of science and technology remains dull. Similarly, a scientific and technocrat mind shall have no depth without religious experience. A sharp mind is an all-rounder mind. And a mind that is not all-rounder is dull. Unfortunately, our present-day society consists of more dull than sharp minds, and this situation has been fully exploited by a handful of people. Someone has rightly said, “In day-to-day commerce, television is not so much interested in the business of communications as in the business of delivering audiences to advertisers. People are the merchandise, not the shows. The shows are merely the bait.” A handful of people not only control our media, but also our politics and economy. They are the actual rulers, not the elected heads of states and governments. Management expert Teresa Stover writes: “The news media has become an aspect of show business, offering merely infotainment. It has evolved into an entity that tends to function as public relations for the wealthy and powerful … The news media is being utilised as a political tool of suppression and propaganda by those in power, and propaganda is psychological in nature. Full of half-truths and utter misinformation, it’s an arrogant and very commercial strategy that is implemented because it appeals to emotions…” There is no way to stop them. However there is a way to remain unaffected by such media propaganda and promotion profiting the immoral. The way is: Meditation. A meditative mind can never, ever be manipulated or exploited. For a meditative mind is an inquiring mind. It is the mind ever in search of truth. It begins such a search by first understanding its own nature. Self-inquiry is the first step in meditation. It should not surprise us, therefore, if the manipulators are against meditation. In Teresa Stover’s words, “Manipulators rarely advise you to seek new and diverse information or to ‘learn and research for yourself.’ It tends to be safer for exploitative and irresponsible leaders to keep their citizens in the dark; in their view less independent thought is better. Independent thought leads to an inquiring mind.” An inquiring mind is an awakened mind. It is the mind of people like Socrates, busy exploring life in all its diverse dimensions. It is the opposite of an indoctrinated and non-inquiring mind. The Sufis speak of fiqr or tafakkur – this is the way to meditation. This is the way to sharpen the mind. This is the way to ensure that your mind is not indoctrinated, manipulated and exploited. When a disciple follows a Sufi Murshid, Guru or Master, he actually follows the lead set by him to freedom. It is not “following” in the sense that the word has been misunderstood and misinterpreted, but “walking” side by side to enlightenment. Unless and until this happens – our minds are sharpened, and its inherent intelligence is brought to the surface – the human mind remains very, very vulnerable to outside forces. Be meditative, free yourself first of the negative influence of the media and society, and then undertake the task of reforming both, the media and society. The world today is in dire need of true reformers. The media must be owned and directed by
[zamanku] Benarkah Ada Cuci Otak Hipnotis oleh Anand Krishna?
Yuan Yudistira OkeZonehttp://suar.okezone.com/read/2010/03/04/58/309003/benarkah-ada-cuci-otak-hipnotis-oleh-anand-krishna Kamis, 4 Maret 2010 - 10:54 wib Mengikuti perkembangan berita yang saya baca di beberapa media yang berkembang saat ini tentang Bapak Anand Krishna. Bapak Anand Krishna telah dilaporkan oleh dua orang yang konon mengaku sebagai mantan murid telah melakukan perbuatan pelecehan seksual. Mengingat ketokohan beliau – isu seperti ini tentu menjadi hal yang menarik untuk dipublikasikan oleh beragam media baik cetak maupun elektronik . Apakah benar apa yang dilaporkan kedua “mantan murid” Bapak Anand Krishna kepada pihak polisi, saya berpendapat biarkan proses hukum yang berjalan dengan baik tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Semuanya harus bisa dibuktikan oleh pihak pelapor. Menyimak adanya isu yang berkembang bahwa pelapor telah mengalami brain wash atau proses cuci otak. Dan bahkan akhir-akkhir ini apa yang dilakukan oleh Lembaga Anand Ashram pun tak luput disoroti media dan disebut-sebut sebagai sebuah lembaga yang menyebarkan ajaran sesat. Menanggapi semua pemberitaan yang ada, saya terdorong untuk menuliskan beberapa hal berdasarkan pengalaman pribadi saya yang berkenalan dengan Bapak Anand Krishna serta lembaga Anand Ashram. Semoga apa yang saya sampaikan ini bisa memberikan informasi yang cukup bagi siapa saja yang penasaran tentang apa yang sebenarnya dilakukan di Anand Ashram dari sudut pandang yang netral. Izinkan saya memperkenalkan diri - Nama lengkap saya Yuan Novadhya Yudistira, kelahiran 28 November 1975. Beragama Islam. Pendidikan terakhir S2 dan saat ini bekerja sebagai IT Manager sebuah perusahaan media di Jakarta. Saat ini telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. *Bagaimana Saya Mengenal Anand Krishna dan Anand Ashram* Mungkin akan saya mulai dengan menceritakan kilas balik saya pertama kali mengenal Bapak Anand Krishna dan lembaga Anand Ashram. Sekira tahun 1998 – ketika itu saya kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) tingkat akhir. Seperti kebanyakan mahasiswa yang lain, saya pernah aktif di beberapa organisasi – terutama organisasi rohani Islam dan juga musala kampus. Rasa pengetahuan tentang Islam – dan mungkin dilatar belakangi – dasar pemahaman saya yang masih sangat dangkal, proses pencarian jati diri saya membawa saya terlibat dalam sebuah organisasi gerakan islam yang cukup ekstrim dan bergerak di bawah tanah. Kurang lebih dua tahun saya aktif di sana dan bahkan saya pernah menjadi salah satu “perangkat pemerintahan” pada level setingkat desa. Walaupun saya tidak menyebutkan gerakan apa yang saya ikuti, pembaca tentu bisa menerka kira-kira apa. Pada saat itu, semangat jiwa muda saya yang mendorong dan bergerak 100 persen. All out. Gerakan yang saya ikuti ini memberikan semacam doktrin yang cukup ekstrim, dimana jangankan orang yang beragama di luar Islam, bahkan orang Islam yang belum masuk kedalam gerakan ini – dalam istilah mereka “melakukan hijrah” adalah termasuk orang kafir dan layak untuk diperangi! Begitu terlenanya saya dengan ajaran yang saya terima telah mendorong saya untuk mencurahkan seluruh perhatian, dana dan waktu saya pada kegiatan gerakan tersebut. Bahkan pihak keluarga saya merasa “telah kehilangan saya”. Kerasnya aktivitas di sana dan karena konsentrasi pada pencurahan dana dan sumberdaya manusia yang sangat tinggi, mengantarkan saya pada sebuah titik kulminasi. Sebuah titik dimana saya merasa hati dan jiwa saya kering. Saya merasa apa yang sudah saya korbankan tidak membawa saya kemana mana, jiwa masih saya kering, hidup saya tidak tenang dan yang pasti hubungan saya dengan keluarga dan orang tua menjadi berantakan. Apa yang saya rasakan saat itu sesungguhnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saya mengalami goncangan yang cukup dahsyat. Di satu sisi saya sudah didoktrin tentang sebuah ideologi, di sisi lain – saya merasa telah pada satu titik jenuh dan merasa tidak mendapatkan apa yang saya cari. Dalam situasi dan kondisi tersebutlah saya berkenalan dengan Bapak Anand Krishna melalui sebuah buku yang beliau tulis. Tertarik dengan apa yang saya baca, akhirnya saya memutuskan untuk datang pada sebuah acara open house yang diselenggarakan di sunter. *Pengalaman yang Benar-Benar Baru Mengenal Meditasi* Dalam acara open house yang pertama kali saya ikuti, saya mendapatkan sebuah pengalaman baru. Dalam acara tersebut yang dihadiri oleh puluhan orang, itulah pertama kali saya melihat Bapak Anand Krishna secara langsung. Dalam kesempatan itu, Beliau mengajarkan sebuah teknik yang kala itu terasa aneh, tapi setelah selesai acara efeknya langsung terasa. Seakan beban berat yang sedang saya pikul hilang begitu saja. Singkat cerita saya mengikuti beberapa program. Program pertama yang saya ikuti adalah “Seni Memberdaya Diri 1”, Kemudian “Neo Zen Reiki”. Saya merasakan ketenangan dan merasa mendapatkan apa yang sedang saya cari. Setelah itu, bisa saya katakan bahwa saya telah mengikuti semua program yang
[zamanku] Hal menarik seputar karakter asinan terhadap Anand Krishna
*Perhatian, ini tulisan panjang, subyektif, mengandung curcol, dan menyebut nama. Dengan nekat membaca ini, berarti Anda sudah setuju untuk tidak menuntut dan atau mengutuk saya. :)* *diambil dari **guhpraset.wordpress.comhttp://guhpraset.wordpress.com/2010/02/19/seputar-karakter-asinan-terhadap-anand-krishna/#more-1440 ** * ——-——-——-——-——-——-——-——-——-——-——- Jadi gini, baru-baru ini saya ditanya-tanya begini: “*Guh, guru spiritual lu kena kasus cabul ya!*” tanya seorang Mbak Cantik. “*Guh, Anand Krishna terkait dugaan asusila?*” tanya Mbak lain yg lebih cantik. “*Nyet, AK kenapa tuh di TV One?*” tanya seorang yang pasti temannya lintas spesies. Yaiks! Dan saya pun harus kembali bergaul dengan TV. Tadinya saya malas sekali menonton TV, kecuali kalau terhubung dengan PS2. Malas menonton iklan. Tapi demi menonton Mbak TR vs AK ya apa boleh bikin. Saya berhasil nonton berita itu. Berkali-kali. Dan baru setelah beberapa kali, saya tersadar kalau pemberitaan di TV itu *tidak berimbang*. Bagian TR diberitakan dengan mantap dan jelas sekali, diulang-ulang sampai bosan, nah giliran pihak AK bicara, cuma diperlihatkan singkat sekali. Cara pemberitaan begitu membuat saya teringat pada cerita implisit beberapa teman yang ngakunya bekerja di pabrik PR (bukan Pubic, tapi Public. *Public Relations*). Secara implisit mereka menyampaikan bahwa “*Sebagaimana perusahaan PR dibayar untuk mengatur agar media diisi berita yang menguntungkan klien korporat, sebagai PR kami juga bisa dibayar untuk mengatur agar media diisi berita yang membunuh musuh-musuh klien kami”*. Pendapat yang membuat saya berprasangka buruk pada stasiun TV yang saya tonton. Tapi sore tadi cara TV mulai berubah. Selepas maghrib saya menonton (lagi) TV One, kali ini wakil pihak tertuduh dimunculkan. Ibu Maya yang baru nongol langsung komplain memperingatkan pembawa acara yang beberapa detik sebelumnya mengatakan “*pihak AK sampai sekarang sulit dihubungi*” padahal Ibu Maya sudah siap dan menunggu di studio sejak 17.30 (atau 16.30, saya lupa). Tentu saja beliau membantah semua tuduhan dan mengatakan hal yang dituduhkan tidak pernah terjadi. Siaran langsung itu lumayan vulgar. Ada kalimat dari seorang mas-mas dari pihak TR: “*…seperti menggosok vagina*“. Mbak SM juga menyebut-nyebut “*…tisu berisi cairan sperma*“. Semua diucap secara eksplisit. Sevulgar itu, sesore itu, pada jam primetime dimana anak-anak mungkin masih terjaga. TV One ini pasti hanya di stel di TV yang berada di ruangan khusus orang dewasa. Ternyata bukan cuma blog saya saja yang bisa sevulgar itu. Sekarang saya yakin karakter Anand Krishna memang sedang dibantai oleh media. Dibuat tampak cabul secabul-cabulnya. Pembantaian ini bahkan sudah dimulai sebelum pengadilan direncanakan. Ini mengingatkan saya pada nasib Antasari. Media membuat beliau tampak mesum dengan mengekspos saat-saat dimana pengadilan yang (entah kenapa) sangat tertarik dengan cara Antasari membuka kutang Rani. *….mmm… kutang….* Lantas? Ya bagi semua yang berguru pada Anand, baik secara langsung, lewat buku, maupun diam-diam dari jauh, kasus ini jelas sangat amat menggelisahkan. Apalagi trial by press yang sedang dilakukan TVnya Bang One bersama media-media lain. Itu sux! Trus gimana? Ya gimana lagi. Kita ikuti saja perkembangannya gimana. Kasus ini jelas akan mengalihkan perhatian sebagian orang dari kasus-kasus besar macam Century, penggelapan pajak dan semacamnya. *berharap jangan ada yg nyebut kasus Freeport atau Aceh atau Kalimantan*. Kalau nanti TR bersama hipnoterapis, psikolog dan 100 pengacaranyahttp://go2.wordpress.com/?id=725X1342site=guhpraset.wordpress.comurl=http%3A%2F%2Fbit.ly%2FaAoPRFberhasil membuktikan AK bersalah, kamu gimana Guh?? Ya… saya akan terus menghormatinya sebagai Guru. Jika guru sekolah yang pernah menampari saya puluhan kali hanya dalam waktu satu hari bisa tetap saya hormati, apalagi AK yang sudah mengajarkan banyak pemahaman baru dan memperluas wawasan saya. Namun saya yakin beliau tidak bersalah. Apalagi saya sudah mulai melepaskan paham buntelanisme. Sebuah cacat dalam ‘buntelan’ tidak harus membuat saya menganggap seluruh buntelan jadi layak buang. Sebaliknya, adanya beberapa hal yang bagus dalam buntelan, tidak berarti seluruh isi buntelan pasti bagus. Saya masih terus belajar untuk tidak terjebak buntelanisme. Udah? Gitu aja? Belum. Kan judulnya diatas itu adalah “hal-hal menarik disekitar karakter asinan terhadap AK”. (Untuk yang belum mengerti, karakter asinan ini maksudnya adalah *character assasination* atau pembunuhan karakter) Jadi, inilah hal-hal menarik itu. Semua terkait kasus TR vs AK yang bertema “Hipnotis”, “Brainwash” dan “Cabul yang secabul-cabulnya”: *1. Keberanian yang inspiratif* Inilah sisi baiknya. Keberanian Mbak TR bisa *menginspirasi dan menyemangati siapapun yang menjadi korban pelecehan agar berani melapor*. Jika Mbak TR berani melaporkan tokoh sebesar AK, masa dilecehkan oleh guru sekolah atau guru ngaji saja takut dan bungkam? Jika Anda
[zamanku] Pembunuhan Karakter!!
Oleh : Ahmad Yulden Erwin Sebagai aktivis Gerakan Anti Korupsi di Indonesia selama lebih dari 10 tahun ini, saya cukup paham bagaimana mekanisme hukum pidana jika ingin mengadukan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tertentu kepada aparat penegak hukum. Kita tidak bisa sembarangan saja mengadukan orang dan menuduhnya melakukan perbuatan pidana. Harus ada bukti permulaan yang cukup. Yang dimaksud bukti permulaan yang cukup dalam kasus pelecehan seksual: 1. Harus ada 2 atau 3 saksi yang melihat langsung kejadian dugaan pelecehan tersebut; 2. Harus ada visum dari RSU. Ini adalah dasar bagi pihak polisi atau Komnas HAM/Perempuan untuk melakukan proses hukum. Nah, jika memang bukti permulaan yang cukup tersebut ada, maka adalah hak setiap warga negara untuk menuntut keadilan melalui proses hukum. Namun, jika tidak ada bukti permulaan yang cukup, maka kita bisa dituduh balik melakukan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan fitnah. Anehnya, pihak pengacara TR dan SM, yang seharusnya pasti tahu soal prosedur hukum pidana ini, justru malah menjadi pihak yang saya duga mendorong TR dan SM mengadukan dugaan pelecehan seksual tersebut ke Komnas Perempuan dan Polda Metro Jaya. Meski ia sendiri tahu bahwa tak ada bukti permulaan yang cukup untuk mengadukan kasus ini ke aparat penegak hukum (hal ini terbukti dari pengakuannya sendiri kepada pihak pers beberapa waktu lalu). Etika profesi pengacara ini harus dipertanyakan. Menurut pendapat saya, dari segi hukum, Bapak Anand Krishna adalah korban penghakiman oleh pers akibat pelaporan TR dan SM ke Komnas Perempuan dan Polda Metro Jaya tanpa disertai bukti permulaan yang cukup. Nah, kalau Bapak Anand Krishna mau, justru dugaan kasus pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan terhadapnya malah sudah memiliki bukti permulaan yang cukup untuk ditindaklanjuti ke dalam proses hukum. Pemberitaan yang tak berimbang di pers Indonesia sehingga mencemarkan nama baik seseorang adalah suatu tindak pidana yang melawan hukum. Jika kasus seperti ini bisa dilegitimasi oleh aparat penegak hukum, atau bahkan menjadi yurisprudensi, maka ini alamat buruk penegakan supremasi hukum di Indonesia. Karena kelak siapa pun bisa mengadu dan diadukan telah melakukan pelecehan seksual, tanpa bukti permulaan yang cukup, asal bisa mem-/blow up/ kasusnya ke pers Indonesia. Salah satu kasus terkenal penghakiman oleh pers ini justru terjadi beberapa tahun lalu dan menimpa seorang yang sekarang akan diberi gelar pahlawan pluralisme, Gus Dur, Presiden RI ke-4. Beliau waktu itu diberitakan telah melakukan perzinahan dengan seorang janda, bahkan ada fotonya segala saat beliau sedang memangku sang janda. Namun, akhirnya terbukti juga menurut seorang pakar informasi bahwa foto tersebut cuma rekayasa komputer. Tuduhan ini, yang tak sekalipun dibuktikan melalui proses hukum yang adil, dijadikan salah satu alasan untuk meng-kudeta beliau dari jabatannya yang sah secara konstitusi. Apakah ada pihak pers yang telah memberitakan tuduhan tanpa bukti itu meminta maaf kepada Gus Dur? Saya pikir, kasus yang menimpa Bapak Anand Krishna harus dijadikan pembelajaran hukum serta pembelajaran tentang kebebasan pers yang bermartabat. Sebab, bisa jadi ke depan Anda akan diadukan telah melakukan pelecehan seksual dan mengalami penghakiman oleh pers, tanpa bukti permulaan yang cukup. Semoga saja tidak terjadi lagi kasus seperti yang menimpa Bapak Anand Krishna dan Gus Dur ini pada masa datang.
[zamanku] Renungan Natal
*Memikul Salib bersama Yesus* *oleh : Anand Krishna** ( http://www.facebook.com/anandkrishnafull?ref=nf#/notes/anand-krishna-full/renungan-natal/214925959662 ) Mudah sekali bagi kita untuk mengutip seseorang yang “punya nama” kemudian menjabarakan apa yang dikatakannya. Mudah sekali bagi kita untuk mengutip Yesus, atau Muhammad, atau Siddhartha, atau Krishna, kemudian mengomentari kata-kata mereka. Namun, tidak demikian dengan seorang Yesus. Ketika ditanya oleh para ahli kitab apa yang menjadi “ajaran utama” – bukan ajaran-“nya” – tetapi “ajaran”, titik. Mereka ingin mendengar sesuatu yang bersifat generik, dan berlaku bagi semua. Maka, tanpa keraguan, Yesus pun menjawab bila mencintai Tuhan dengan segenap hati, pikiran dan jiwa – adalah ajaran terutama. Dan, kedua adalah mencintai tetangga kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Pernyataan seperti ini bukanlah pernyataan biasa. pernyataan seperti ini mengandung resiko yang sangat tinggi. Pernyataan ini menuntut “komitmen penuh” tanpa embel-embel, tanpa syarat apa pun jua. Menempatkan Tuhan diatas segalanya. Dan, menempatkan tetangga sejajar dengan diri, dan keluarga sendiri. Mudah terucap, tetapi tidak mudah dalam laku. Maka, para ahli kitab pun tercengang. Mereka tidak terbiasa memperoleh jawaban setegas dan sejelas itu. Kebiasaan para alim ulama adalah mengutip ayat-ayat suci. Mereka tidak berani berpendapat sendiri. Mereka tidak berani mengambil resiko. Tidak demikian dengan Yesus. Ia berani mengambil resiko. Ia tidak membutuhkan dukungan kitab suci atau ayat-ayat suci untuk menyampaikan kebenaran. Inilah salib Yesus. Keberaniannya itulah yang menjadi salib yang masih juga dipikulnya hingga hari ini. “Apa yang tidak kau hendaki bagi dirimu, janganlah kau lakukan terhadap sesama manusia – inilah inti ajaran Torah. Sisanya sekedar penjabaran dari inti ajaran itu,” Talmud juga menyampaikan hal yang sama. Tetapi, siapa yang peduli? Siapa yang ingat? Para alim ulama dan ahli kitab sibuk mengutip ayat-ayat suci, seorang Yesus sibuk melakoni ayat-ayat itu. Yesus adalah seorang pemberani, sekaligus pemberontak. Masih ingat apa yang dilakukannya di pelataran bait suci? Ia seorang diri. Para murid yang berjumlah sedikit itu untuk malah meminggir. Para penonton bingung, karena apa yang mereka saksikan saat itu adalah sesuatu yang baru. Yesus, seorang diri, mengobrak-abrik gubuk para pedagang dan para penukar uang yang menempatkan diri sebagai calo Tuhan. Adakah keberanian seperti itu dalam diri kita? Bila tidak, maka jadilah kita pemuja bangkai, gambar, patung, kitab dan tempat – yang semuanya kemudian tidak lebih dari berhala. Bila kita tidak berani memikul salib kita masing-masing bersama Yesus, maka biarlah hati kita, nurani kita, jiwa kita menangisi kelemahan diri pada malam Natal ini. Tidak perlu merayakan Natal dengan menyalakan pelita dan lilin, karena hati yang lemah tidaklah menjadi kuat dengan cara itu. Apakah arti kelahiran Yesus? Setiap detik banyak orang yang lahir, dan banyak pula yang mati. Setiap Natal kita merayakan kelahiran Yesus, sebagaimana kita merayakan hari kelahiran saudara kita pasangan kita, anak kita – lantas apa? Apa bedanya? Barangkali Natal lebih meriah, itu saja? Kelahiran Yesus tidak dapat dipisahkan dari kayu salib yang kelak dipikulnya. Kehiran Yesus hanyalah menjadi bermakna bila saat menyalakan lilin untuk merayakannya, kita juga memungut kayu salib yang ada diatas altar dan memikulnya. Pajangan itu mesti turun dari dinding dan berpindah tempat ke atas pundak kita. Keberanian Yesus, kegigihannya untuk menghadapi segala tantangan hidup – inilah kemuliaan dan keilahiannya. Kematiannya diatas salib dan kebangkitannya kembali mesti “terulangi” dalam hidup kita masing-masing. Adakah keberanian di dalam diri kita untuk terlebih dahulu - jauh-jauh hari sebelum merayakan malam kelahiran Yesus - menguburkan jiwa kita yang lemah, hati kita yang alot, dan pikiran kita yang kacau? Biarlah keangkuhan, dan keserakahan kita mati diatas kayu salib. Biarlah jiwa kita yang tersentuh oleh kesadaran kristus bangkit kembali untuk berkarya di tengah kegaduhan dan ketakwarasan dunia ini dengan tetap mempertahankan kewarasan diri. Barulah setelah itu, malam kelahiran Yesus menjadi bermakna bagi kita. Yesus tidak mengurusi kerajaan dunia, Ia mengurusi kerajaan Allah. Ya, betul, tetapi milik siapa pula kerajaan, bahkan dunia ini, alam ini? Bukankah semuanya milik Allah? Bukanlah kerajaan Allah berada di dalam diri kita masing-masing? “Tidak mengurusi kerajaan dunia”, mesti dimaknai sebagai “tidak mengurusi apa pun jua karena keterikatan kita dengan dunia”. Urusilah keluarga, dan dunia, karena semuanya itu merupakan amanah Allah. Tugas yang diberikan kepada kita oleh Gusti Pangeran. Jadikanlah malam Natal ini malam yang beda dari malam-malam lain. Isilah malam Natal ini bukan saja dengan lagu, dansa, pesta dan kebaktian, tetapi dengan pencerahan baru, dengan kesadaran baru. Yesus tidak kemana-mana. Yesus ada di sini. Ia
[zamanku] Stop Violence in the Name of Religion
*Stop Violence in the Name of Religion* *91* Signatureshttp://www.gopetition.com.au/petitions/stop-violence-in-the-name-of-religion/signatures.html http://www.gopetition.com.au/petitions/stop-violence-in-the-name-of-religion/sign.html http://www.gopetition.com.au/petitions/stop-violence-in-the-name-of-religion.html#sign Published by Anand Krishna on Dec 19, 2009 Category: Religionhttp://www.gopetition.com.au/petition-campaigns/Religion/ Region: GLOBAL http://www.gopetition.com.au/petition-campaigns/Global/ Target: The Government of the Republic of Indonesia Background (Preamble): Violence in the name of religion still persists. Just a few days before Christmas, in the Indonesian City of Bekasi, another Church was attacked on Dec 18th 2009 (Santo Albertus Church, Bekasi). Our Government and officials are unable to curb such acts of violence, clearly for lack of the political will. Need support from the Global Community to pressurize our Government through the Indonesian Embassies/Missions in your respective countries. Shalom Salaam Sadhu Shanti.. IN THE NEWS 1. LARGEST ENGLISH LANGUAGE DAILY http://www.thejakartapost.com/comment/reply/240302 2. ANOTHER ENGLISH PAPER http://thejakartaglobe.com/home/church-attacked-by-bekasi-mob/348186 Petition: We, the undersigned, call on the Government of the Republic of Indonesia, and the United Nations to put pressure on the head of the state, to immediately act against the fanatics, extremists, and radicals who are let loose to destroy places of worship of faiths other than theirs. To Sign the petition, please click below : http://www.gopetition.com.au/petitions/stop-violence-in-the-name-of-religion.html regards yudha
[zamanku] Lessons of leadership: Why do our politicians fail?
*by : Anand Khrisna* , Jakarta | Thu, 12/17/2009 8:59 AM | Opinion http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/17/lessons-leadership-why-do-our-politicians-fail.html Source : http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/17/lessons-leadership-why-do-our-politicians-fail.html In spite of their “purportedly” common vision toward a better and more livable world, our politicians have failed. Certainly not all of them were, or, are insincere. Nevertheless, they have failed to deliver. Today, we live in a more comfortable, but not a “better” world. Conflicts and wars are tearing us apart – whereas, peace and harmony remain issues for discussion among our elites. In his historic speech in Cairo on June 4 this year, President Obama spoke about the need to “have the courage to make a new beginning”. Later, during the UN General Assembly on Sept. 23, he emphasized, “The time has come for the world to move in a new direction.” Interestingly, the Iranian President Mahmoud Ahmadinejad, whose speech was boycotted by many, also expressed hope for “a global community filled with justice, friendship, brotherhood and welfare”. Not long after, speaking at Harvard on Sept. 29, President Yudhoyono proposed the reinvention of “a new world”. More recently, speaking in Egypt on Nov. 9, Chinese Premier Jiabao hoped the cooperation between China and the African countries would “contribute to the effort of building a harmonious world of enduring peace and common prosperity”. I do not doubt their good intentions, but neither can I close my eyes to the fact the world envisioned by them is still a far cry from their hopes. *Why?* President Sukarno, one of our founding fathers, found flaws in the way we handled our problems. Speaking to the 15th UN General Assembly on Oct. 4, 1960, he said: “Any effort to solve our problems with violence, threat, or force would not only fail, but create problems of a more serious nature.” He cited “equality” as the only solution. To him, equality was the quintessence of all human rights. He hoped for certain universally accepted guiding principles to usher in a new era of equality among nations. It was on these grounds that he wished to “build the world anew”. Sukarno was a man of vision. He was a dreamer, but not an unrealistic one. He knew the realization of this dream would only be possible if we all let go of our “petty grudges, and ill feelings toward each other… “Eliminate the cause of war, and peace shall reign. Eliminate the cause of tension, and life shall be easy… “It is not only to ensure the survival of this world, we have the task to build the world anew!” Sukarno often cited Neo-Imperialism and Neo-Colonialism as threats to world peace and true emancipation. Many of us then, and even now, scoff at him, and consider his fears unfounded. History, however, has proved otherwise. Neo-Imperialism and Neo-Colonialism are not only a living reality, but are also thriving at the cost of our ignorance. To make things worse, even our politicians and highly paid diplomats are often unaware of this. They still relate Neo-Imperialism and Neo-Colonialism with certain western powers. They cannot see the tables turning. The imperial powers colonizing us are no longer western, but also eastern, and perhaps, our next-door neighbors, and darling friends. George Bernard Shaw was, perhaps, right in saying that: “He knows nothing; he thinks he knows everything – that clearly points to a political career.” Sukarno offered an indigenous “Indonesian Solution” to face the challenges ahead: Pancasila. “When I speak of Pancasila, I am actually speaking of our nation’s, at least, 2,000-year-old civilization.” He was bold enough to challenge the assembly to point out any flaw in what he offered; or, anything disputable or irrelevant to the modern age and its challenges. The entire assembly, instead, applauded “Sukarno of Indonesia” as he was then known. Alas, we Indonesians have lost our self-pride. We no longer believe in the ideals of Pancasila, and in the virtues and values of our age-old civilization. Our leaders find it more civilized to connect with much younger and less experienced civilizations. They forget that when those civilizations lived by raiding caravans, and had to have the divine guidance to divide their booty, we were already shipping our spices using our own flag carriers! Sukarno explained the values imbibed in Pancasila in few simple words: *Religiosity, Nationalism, Internationalism, Democracy, and Social Justice.* These are universal values, and no man in his senses would possibly oppose these values. Yet, I say, we have failed. Where have we gone wrong? Let’s move from being positive thinkers to having a positive and holistic attitude toward life and ask of our conscience, “Are we in a better position today than we were at the time of our independence?” Simple mathematics: consider the current value of all the wealth, all the natural resources we had on Aug. 17,
[zamanku] Undangan Diskusi : Titik Temu Agama-agama dari Sudut Pandang Islam
National Integration Movement kembali menggelar Diskusi Kebangsaan yang akan menghadirkan seorang tokoh Islam yang kontroversial, merupakan imam perempuan satu-satunya di dunia, juga seorang penulis buku yang berjudul 'Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective', *Amina Wadud.* Diskusi ini akan mengambil tema *Titik Temu Agama-agama dari Sudut Pandang Islam*'. Seru ? Pastinya!! Jangan sampai terlewat, *Hari Sabtu, 10 Oktober 2009 Pukul 16.00 - 17.30 WIB Di One Earth Retreat Center Jl Raya Bukit Pelangi KM 2 Ciawi - Bogor* Info dan pendaftaran hubungi Isti (0818.0894.1999) Wass,
[zamanku] PRESS RELEASE International Day of Peace 2009
PRESS RELEASE * * *ANAND ASHRAM FOUNDATION* *National Integration Movement – Forum Kebangkitan Jiwa – Sufi Lodge – ForADokSi-BIP – Anand Krishna Global Cooperation – Yayasan Pendidikan Anand Krishna – Institut Pendidikan Holistik – California-Bali Friendship Association* *International Day of Peace 2009* *CELEBRATING PEACE TOWARD INTERFAITH HARMONY* * * Tahun 2009 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan memperingati International Day of Peace pada tanggal 21 September 2009 sebagai seruan global bagi penghentian segala bentuk pertikaian dan penggunaan semangat anti-kekerasan. Sekarang adalah waktunya bagi kita semua untuk merenungkan segala kerugian yang diakibatkan oleh peperangan, pertikaian, dan kekerasan atas nama apapun, serta segala manfaat yang dapat kita peroleh dari penyelesaian masalah dengan cinta, perdamaian dan harmoni. Sepuluh tahun lalu, Jeremy Gilley mendirikan gerakan Peace One day yang bertujuan untuk menghentikan segala peperangan dan kekerasan di dunia paling tidak untuk satu hari saja. Atas upaya yang tidak mengenal lelah tersebut maka,PBB menetapkan tanggal 21 September sebagai Hari Perdamaian Internasional. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, tradisi, dan sosial masih menghadapi pertikaian penuh kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan agama. Komunitas kecil Anand Ashram, yang didirikan oleh aktlivis spiritual, *Bapak Anand Krishna*, sudah sejak 1991 tidak hanya berbicara tentang perdamaian dan persatuan negeri di atas kebhinnekaan, tapi sudah mempraktekannya dalam keseharian, seperti yang dilakukan tahun ini dengan merayakan hari lebaran bersama para anggota komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda di pulau Dewata, Bali. Yayasan Anand Ashram, sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil dunia yang telah berafiliasi dengan PBB, bertekad untuk terus membagi dan menggaungkan semangat perdamaian di Indonesia dan dunia, dengan turut merayakan Hari Perdamaian Internasional ini sebagai bagian dari kampanye publik untuk membangun dan mewujudkan suatu masyarakat dunia yang hidup penuh cinta, damai dan harmony di Satu Bumi, Satu Langit, Satu Keluarga Besar Ummat Manusia. Oleh karena itu, kami dari Yayasan Anand Ashram beserta sayap-sayap organisasinya, yakni Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), National Integration Movement (NIM), Sufi Lodge, ForADokSi-BIP, Anand Krishna Global Cooperation, Yayasan Pendidikan Anand Krishna, Institut Pendidikan Holistik, dan California-Bali Friendship Association akan mengadakan acara*,** Peringatan Hari Perdamaian Internasional 2009** *pada : Hari/ Tanggal : Senin, 21 September 2009 Waktu : 19:30-21:00 WITA Tempat: Anand Krishna Center Bali Jl. Pura Mertasari No. 27, Sunset Road Area, Kuta, Bali. Phone : (062) 811258648 Semoga semangat perdamaian dan apresiasi terhadap perbedaan dapat terus bergaung di sanubari segenap anak-anak bangsa. *Amin, Amen, Sadhu, Om Shanti Shanti Om.* Jakarta, 21 September 2009 Salam Indonesia! *Maya Safira Muchtar* *Ketua Yayasan Anand Ashram* * * Untuk Keterangan Lebih Lanjut bisa menghubungi : Maya Safira Muchtar ( 0818891122)
[zamanku] Duhh... Kok Banyak Juru Dakwah yang Bodoh Ya!
Senin, 14 September 2009 | 21:01 WIB *Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya* *YOGYAKARTA, KOMPAS.com http://www.kompas.com/read/xml/2009/09/14/21014958/duhhkok.banyak.juru.dakwah.yang.bodoh.ya— *Pengasuh Ponpes Rudlotul Fatihah, Bantul, KH Muhammad Fuad Riyadi (38), gerah melihat semangat Islam disampaikan hanya secara sepotong-potong oleh para juru dakwah Islam. Juru dakwah banyak yang bodoh. Saya tantang mereka memahami Islam, kata Kyai Fuad. Ia melihat bahwa yang disampaikan juru dakwah di masjid, di televisi, dan di mana saja sudah melenceng dari semangat Islam, agama yang seharusnya memberi kesejukan, ketentraman, kedamaian bagi siapa saja, tak hanya umat Islam, tetapi semua orang non-muslim, termasuk mereka yang ateis sekalipun. Dengan kata lain, jika apa yang dikatakan juru dakwah membuat umat nonmuslim waswas, merasa terancam, dan tak nyaman, maka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa dakwah yang dilontarkan juru dakwah sudah tak lagi Islami. Ini fenomena yang menurut dia sudah mulai muncul sejak tahun 1970-an, dan mulai kencang. Ia banyak memberi kritik tentang kebiasaan dan perilaku umat Muslim. Misalnya memakai pengeras suara sekeras mungkin sehingga umat non-muslim dan muslim pun sama-sama terganggu, juga rangkaian acara puasa yang kemeriahannya berlebihan. Juru dakwah, dai-dai itu, maaf, baru memegang satu ayat, tapi *ngomong*-nya sejuta ayat. Tak heran, sekarang bermunculan radikalisme, seperti aksi * sweeping*, fundamentalisme, dan hal tak mengenakkan yang mengatasnamakan agama. Peraturan daerah pun digiring menjadi bernuansa Islam, paparnya. Lihat saja, menurutnya, sekarang banyak yang secara eksplisit dan implisit menyuarakan perlunya Indonesia menjadi negara Islam. Enggak hanya orang nonmuslim yang ketar-ketir dan cemas. Saya juga takut. Apa Islam di Indonesia seperti itu? Islam adalah agama yang menyuarakan kerinduan pada Allah, bukan agama yang bikin orang lain takut, apalagi menyemai benih permusuhan, katanya. Perlu dicatat, saya hapal 'Malam Kudus', lagu rohani umat Katolik saat Natal. Liriknya bagus. Lagunya bagus. Saya suka Natal, gereja. Saya suka semangat Natal, damai di bumi damai di hati. Saya berani katakan, lagu 'Malam Kudus' itu lagu Islami, ujar kyai muda ini. Tentang Puasa, mestinya umat Islam merefleksikan hal itu seperti umat Hindu merayakan Nyepi. Mestinya Puasa itu ya nuansanya seperti saat Nyepi. Kita merenung, berdiam, bukan malam ramai, katanya. Pengotakan agama mesti dihapus. Saya justru gembira jika saat zikir bersama, ada teman-teman nonmuslim yang ikut datang. Ikut *nggabung*. Sering mereka datang ke ponpes saya. Seorang Katolik yang pernah datang pas zikir bilang ke saya, kok dia merasa tenang dan nyaman. Tentu ia masih Katolik. Ketika dia pun merasa damai, tenang, itulah juga sejatinya esensi zikir, ucap dia. Kyai ini merasa perlu minta maaf kepada semua umat nonmuslim yang pernah tersinggung dengan perlakuan umat Muslim dan perkataan/perbuatan para juru dakwah. Saya mohon maaf karena mereka melakukan itu. Mohon dimaklumi, kata Kyai Fuad. Kyai ini menggelar lukisan bertema Aura Dsikir di Bentara Budaya Yogyakarta. Acara berlangsung dari Sabtu (12/9) hingga Kamis (17/9). Proses pembuatan lukisan dilakukan dengan berzikir terlebih dulu.
[zamanku] Global interfaith harmony
By : Anand Krishna , on the Jakarta Posthttp://www.facebook.com/note_redirect.php?note_id=127344413345h=af4ed88ee005f54bbb8f1b727f9bafecurl=http%3A%2F%2Fwww.thejakartapost.com%2Fnews%2F2009%2F09%2F06%2Fglobal-interfaith-harmony.html About 60 years ago, then president Sukarno scoffed at Indian shopkeepers in India who took pride in displaying their religion on their signboards, Hindu Tea Stall, Muslim Restaurant, and so on and so forth. Around the same time, then president Radhakrishnan of India was amazed at how we on the archipelago had preserved our culture and traditions, deeply rooted in the ancient Indus Valley civilization, irrespective of our religious affiliations. That was a reality then, but a myth now. Now, the hard reality is that *a notorious cleric, totally ignorant of our age-old traditions and culture, can publicly make the threat that suicide bombings will continue if we do not adopt a sharia-based government system.* The intensified police efforts to curb terrorism are not blessed by this purported man of God. Instead, he blesses the suicide bombers and calls them martyrs. In his own words, I don't absolutely blame bombers in Indonesia, because their goal is good, namely to defend Islam. Such view is in clear contrast with what Mahatma Gandhi believed in: Terrorism and deception are weapons not of the strong but of the weak. A religious act cannot be performed with aid of the bayonet or the bomb. Another hard fact is that our government feels helpless in dealing with this one single man's notoriety, which has already tarnished our country's image. Or perhaps he is not a single man after all. Perhaps there are others behind him. Or a number of political parties, some influential people up there, forces outside the country - who are they? A former high officio tells me that is not the case. So what is the case? It's the political will. There is no political will to put an end to all this. Perhaps. Our learned analysts and scholars argue that fanaticism, radicalism and terrorism are not the same. Not all radicals, they argue, are terrorists. As mentioned by Prof. Greg Barton, in his well-researched book, Jamaah Islamiyah: Radical Islamism in Indonesia, our notorious cleric is also reported to have said, *I make many knives, I sell many knives, but I am not responsible for how they are used.* The moderate clerics maintain that terrorism and violence have nothing to do with religion. They carefully avoid discussing the issue of growing fanaticism. They would not echo with Gandhi, A fanaticism that refuses to discriminate is the negation of all ideals. Speaking in international forums, the leaders of our religious institutions are reluctant to admit that growing fanaticism and radicalism have divided our society, where interfaith harmony had never been an issue to discuss, but a way of life to practice. We did not have interfaith groups earlier, but we had interfaith harmony. This was a reality back then, and a myth now. Now, the reality is that we have several interfaith groups, but no interfaith harmony. Like it or not, religion has been used to justify acts of terror. Religion has been presented in such a way, and by its own followers, that it has lost both its meaning and its utility as a uniting force. It is against this backdrop that, in December this year, *the Parliament of the World's Religions will meet in Melbourne, Australia.* We may recall that back in 1893, the parliament met for the first time in Chicago. Vivekananda (1863-1902), one of the speakers who was to become the star then, firmly believed that, *sectarianism, bigotry and its horrible descendant, fanaticism, have long possessed this beautiful Earth. They have filled the Earth with violence, drenched it often and often with human blood, destroyed civilization and sent whole nations to despair. Had it not been for these horrible demons, human society would be far more advanced than it is now.* He hoped the convention might toll the death-knell of all fanaticism, of all persecutions with the sword or with the pen, and of all uncharitable feelings between persons wending their way to the same goal. More than a century later, his hope remains a hope and a dream to realize. The conference in Melbourne later this year, therefore, is not only timely, but also urgent and imperative. However, more important is the meeting of our minds and hearts. More urgent is our willingness to be honest and truthful in what we say and what we do. More imperative is the change of the paradigm of a mere tolerance. We have to learn to appreciate the differences between us. We have to work on our individual belief systems and mental complexes. *Can we change our slogans from my religion is the best or my religion is the only solution to my religion is not better than yours? This will bring an end to all our religious and religion-based conflicts, competitions and acts of conversion.* To my friends who still endorse fanaticism
[zamanku] i am SO VERY SORRY.......
I am sorry. I apologize for my inability to be a good host to foreigners living in my country. I am sorry that I could still find time to say my prayers before rushing to the scene or to the hospital where the wounded were being treated. I realize now, that I was being insensitive to the cries and tears of the bereaved family members of the deceased and the injured victims in the hospital. I apologize for finding it more important to take pictures, rather than helping Holcim Indonesia President Timothy David Mackay. Indirectly, or indirectly, I stand responsible for his death. I am sorry for sharing those pictures on television amidst giggles. I am sorry for allowing our children to be brainwashed and trained as suicide bombers. I apologize for not being vigilant enough toward people spreading hatred in the name of religion and education. I also apologize for my unwise remarks, finding scapegoats for the incident, rather blaming my own incapability in securing my neighborhood. I now realize that this incident was very carefully planned, and perhaps for months. I can see a clear pattern connecting this with the hotel siege in Mumbai some time back. I am sorry, so very sorry. by Anand Krishna - http://www.facebook.com/note.php?note_id=100297644662ref=mf
[zamanku] (OOT) Undangan Diskusi Kebangsaan Memperingati Hari Sumpah Pemuda
file:///E:/Crack/CleaningLab.exe Kepada Yang Terhormat, Jakarta, 10 Oktober 2008 * * *Pemuda-pemudi Indonesia* * * * * *Perihal : Undangan Diskusi Kebangsaan Memperingati Hari Sumpah Pemuda * * * Salam Indonesia! Kami *National Integration Movement (NIM*) atau Gerakan Integrasi Nasional, lembaga non-profit dan non-politik, yang berdiri karena keprihatinan kami terhadap berbagai masalah disintegrasi bangsa yang saat ini terjadi dan yang berpotensi untuk terjadi, sedang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menumbuh-kembangkan rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi. Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah *Diskusi Kebangsaan *setiap sebulan sekali, yang merupakan *Kampanye Menjaga Keutuhan Bangsa dan Perdamaian Dunia. *NIM yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, suku, agama dan gender, berusaha untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan semangat Pancasila, UUD 1945 dan juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau Keberagaman yang merupakan dasar dalam membangun Bangsa Indonesia. ** NIM menyadari bahwa peran pemuda Indonesia sangatlah penting dalam membangkitkan upaya mempersatukan segala komponen masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Sejarah telah mencatat bahwa semangat persatuan yang digelorakan kaum muda Indonesia pada Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa ini. Bersama surat ini, kami mengundang Saudara/Saudari untuk menghadiri Diskusi Kebangsaan NIM memperingati Hari Sumpah Pemuda dengan tema *Memaknai Kembali Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Rakyat yang Kian Apatis, Terpecah dan Kecewa* yang akan dilangsungkan pada: - Hari, tanggal : Jumat, 24 Oktober 2008 - Waktu : Pukul 19.00 WIB – selesai - Tempat : Padepokan One Earth, One Sky, One Humankind Jl. Raya Bukit Pelangi Km 2, Ciawi – Bogor - Pembicara: *DR Adnan Buyung Nasution *( Dewan Pertimbangan Presiden ) - Info pendaftaran : Muslihah 0813 8990 6800/021-71510224 atau David 021-68644945 Kehadiran Saudara/Saudari sekalian sangat kami harapkan untuk suksesnya acara ini. Demikianlah surat undangan ini kami sampaikan. Atas kesediaan, dukungan dan kehadirannya, kami haturkan banyak terima kasih. * * Bende Mataram – Sembah Bhaktiku Bagi Ibu Pertiwi. Indonesia Jaya ! * * *Panitia*
[zamanku] Peringatan Hari Tanpa Kekerasan Sedunia 2 Oktober 2008 (Press Release)
*Press Release* * * *Yayasan Anand Ashram* *Peringatan Hari Tanpa Kekerasan Sedunia * *2 Oktober 2008* * * Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 15 Juni 2007, telah menetapkan *International Day of Non-Violence* jatuh pada setiap tanggal 2 Oktober, yang juga merupakan peringatan Hari Kelahiran *Mahatma Gandhi* yang telah menginspirasikan gerakan hak-hak sipil dan kemerdekaan di seluruh dunia dengan cara *Ahimsa *(Tanpa Kekerasan). Pada hari ini, diharapkan setiap orang menyebarkan pesan-pesan tanpa kekerasan, termasuk melalui pendidikan dan kesadaran publik. Atas seruan ini, *Yayasan Anand Ashram* (beraffiliasi dengan PBB) memperingati Hari Tanpa Kekerasan Sedunia ini dengan mengadakan : - Diskusi Buku *Be The Change!* *Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi* - Waktu: Kamis, 2 Oktober 2008, Pukul 19.00 – 21.00 WIB - Tempat : Pusat Pelatihan One Earth, Bukit Pelangi Km 2, Ciawi-Bogor, Jawa Barat - Indonesia Buku, karya Bapak *Anand Krishna*, yang ditulis paska Tragedi Monas 1 Juni 2008 ini, memuat 10 butir utama ajaran Gandhi untuk merubah dunia ini dan dipersembahkan kepada siapapun yang siap sedia untuk mempersembahkan harta, jiwa, raga, bahkan nyawa di atas altar *Ibu Pertiwi*. Doa bersama bagi Perdamaian Indonesia dan Dunia melalui *jalan non-violence* oleh pemeluk agama dari berbagai agama dan suku bangsa akan menutup acara ini. Tahun ini, Hari Tanpa Kekerasan Sedunia ini diperingati masih dalam suasana Idul Fitri sehingga atmosfir kebersamaan dan saling memaafkan sangat selaras dengan prinsip tanpa kekerasan walaupun pada kenyataannya masih banyak kelompok yang mengatasnamakan agama, politik, ekonomi ataupun etnis menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbedaan pendapat. Bahkan, di Indonesia kelompok-kelompok pembela agama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap orang lain dan kekerasan ini tidak hanya dibiarkan oleh pemerintahan tapi juga dibenarkan oleh beberapa tokoh agama yang bersembunyi dalam dalih pemurnian agama. Memang segala bentuk kejahatan harus dilawan, tapi harus tanpa kekerasan, tanpa senjata, melainkan dengan logika, rasio dan di atas segalanya cinta-kasih serta pemaafan. Keberhasilan seseorang melawan kejahatan dan menaklukannya tanpa kekerasan membuatnya menjadi manusia berjiwa besar seperti Sang Mahatma sendiri, demikian tulis Bapak Anand Krishna dalam Buku *Be The Change!* (Hal 58) Tapi *Ahimsa* bukan lah tanda sebuah kelemahan. *Ahimsa*, menurut Mahatma Gandhi, adalah ideal yang tertinggi. Ia diperuntukkan bagi mereka yang kuat, bukan bagi para pengecut. *Ahimsa adalah atribut bagi para pemberani*. Kelemahan dan *Ahimsa* ibarat air dan api, tak pernah bertemu. Selain Gandhi, Nelson Mandela di Afrika Selatan, dan Martin Luther King, Jr di Amerika Serikat telah berhasil memperlihatkan kepada dunia bahwa gerakan masyarakat sipil yang menerapkan prinsip-prinsip *Ahimsa* telah mampu mematahkan dominasi dan cengkraman kekuasaan terdahulu yang diskriminatif dan mengutamakan kekerasan. Semoga pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang prinsip-prinsip *Ahimsa * (Tanpa Kekerasan) ini dapat tersebar dan menular, sehingga pada suatu hari nanti, setiap hari tanpa kekerasan bukanlah merupakan suatu mimpi indah tapi menjadi sebuah kenyataan yang nyata bagi seluruh manusia yang hidup bersama secara damai di Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia. Ciawi, 2 Oktober 2008 Untuk Informasi Lebih Lanjut bisa menghubungi : Made Yudhanegara (0816.482.61550) dan (021.710.1010629) Joehanes (0811.144959)
[zamanku] Peace One Day
Nowdays, World Peace is not enough just to be merely a fantasy, but it has to become a reality. Then, what we should do in order to create peace in this world which is getting closer to a belief of violence ? This day, World Peace is no longer just a desire of an idealist, but already is becoming the most realistic need so that humankind can keep survive in this beautiful earth. A journey of a thousand steps begins from one single small step. So let's start creating World Peace by applying non-violent principles in daily life, such as : always talk in comforting tone, avoid fight, don't hurt anybody with harsh words, and apologize to anyone who ever had a fight with us. Creating World Peace by practicing a day without violence, or One Peace Day on September 21st, 2008 ** *Please send this email to 10 of your friends, then you will get lucky within this week. *
[zamanku] PRESS RELEASE - Peringatan Hari Perdamaian Dunia
(sorry kalau OOT) PRESS RELEASE *Yayasan Anand Ashram* National Integration Movement -- Forum Kebangkitan Jiwa – Sufi Lodge – Forum Pengajar Dokter Psikolog-Bagi Ibu Pertiwi – Anand Krishna Global Cooperation – Yayasan Pendidikan Anand Krishna – Institut Pendidikan Holistik – California-Bali Frienship Association – L'Ayurveda *Peringatan Hari Perdamaian Dunia (The International Day of Peace 2008) * *Kontribusi Pemuda Indonesia bagi Perdamaian Dunia* *World Peace Now! Stop Imagining, Make It Happen* Tanggal *21 September* telah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai *Hari Perdamaian Dunia (The International Day of Peace).* Seluruh negara dan masyarakat dunia diharapkan menghormati hari ini sebagai hari tanpa peperangan tanpa kekerasan. Satu hari bagi Perdamaian, atau *Peace One Day. * *Peace One Day* diinisiatifkan oleh seorang pembuat film Inggris, Jeremy Gilley, yang sejak tahun 1998, melakukan berbagai pertemuan dengan para mahasiswa, LSM, Kepala Negara dan Pemerintahan Dunia, Pemenang Nobel Perdamaian Oscar Arias Sanchezhttp://en.wikipedia.org/wiki/Oscar_Arias_Sanchezdan Nelson Mandela http://en.wikipedia.org/wiki/Nelson_Mandela, Sekjen ke-7 PBB Kofi Annan, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Mary Robinson, Sekjen Liga Arab Amre Moussa http://en.wikipedia.org/wiki/Amr_Moussa, dan juga Dalai Lama bagi terwujudnya Satu Hari Bagi Perdamaian. Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB), beserta sayap-sayap organisasinya, yakni Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), National Integration Movement (NIM), Sufi Lodge, Forum Pengajar, Dokter dan Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP), Anand Krishna Global Cooperation, Yayasan Pendidikan Anand Krishna, Institut Pendidikan Holistik, California-Bali Friendship Association, dan L'Ayurveda merespon seruan ini dengan mengadakan serangkaian acara dengan tema *Kontribusi Pemuda Indonesia Bagi Perdamaian Dunia: World Peace Now! Stop Imagining, Make It Happen* mulai hari *Sabtu, 20 September 2008* sampai dengan hari *Minggu, **21 September 2008* yang dilaksanakan secara serentak di beberapa kota besar di seluruh Indonesia, antara lain : *Jakarta** : * Pemutaran dan Diskusi Film *Peace One Day*, Open House (bersama Bapak Anand Krishna) dan Buka Puasa Bersama. Waktu : Sabtu, 20 September 2008. Pukul 13:00-18:00 WIB Tempat : Anand Ashram, Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta. Informasi : Imus (0813.89906800) Pesta Rakyat Olahraga Tertawa Waktu : Minggu, 21 September 2008. Pukul 05:45-07:00 WIB Tempat : Lapangan IKADA, Monas, Jakarta Pusat. Informasi : Sita (0816.1407380) * * * * *Denpasar – Bali :* Pesta Rakyat Olahraga Tertawa Waktu: Minggu, 21 September 2008. Pukul 07:00-08:00 WITA Tempat : Lapangan Renon, Denpasar – Bali. Informasi : Aryana (0817.9741165) *Surabaya** – Jawa Timur :* Aksi Damai Membagikan Stiker dan pesan Perdamaian Waktu: Minggu, 21 September 2008, Pk.08:00 – 10:00 WIB Tempat : Bandara Udara Juanda, Surabaya. Informasi : Yohanes (0813.32988869) *Jogjakarta – Jawa Tengah :* Pesta Rakyat Waktu : Minggu, 21 September 2008, Pk. 07:00 – 08:00 WIB Tempat : Lapangan Parkir Museum Ronggowarsito, Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1 Kali Banteng, Semarang. Informasi : Pranoto (0856.2696783) Pemutaran dan Diskusi Film *Peace One Day* dan Buka Puasa Bersama Waktu : Minggu, 21 Sept 2008, Pk. 15:30 – Pk. 18:00 WIB Tempat : Museum Ronggowarsito Lt. 1, Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1 Kali Banteng, Semarang. Informasi : Haryadi (0856.2650699) Bapak Anand Krishna, pendiri Yayasan Anand Ashram, meyakini bahwa Perdamaian Dunia hanya dapat tercipta jika dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat seperti keluarga. Maka pada *One Peace Day* tahun ini, beliau menyerukan kita semua untuk mulai menolak kekerasan dalam bentuk apapun dengan menerapkan beberapa hal praktis yang dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu *tidak bersuara keras kepada orang lain*,*tidak bertengkar *,* tidak menyakiti hati orang lain dimulai dari orang-orang terdekat*,*menyayangi diri sendiri * dan* meminta maaf pada orang yang pernah berselisih dengan kita*. Dengan menerapkan prinsip tanpa kekerasan mulai pada diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari maka akan terwujud Perdamaian Sejati bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara, dunia dan umat manusia dalam Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia (*One Earth, One Sky, One Humankind*) ** Jakarta, 19 September 2008