Dari rubrik “Politik”, Harian Sinar Harapan, Senin 24 November 2008 Victor Silaen Berjuang untuk Kebhinekaan JAKARTA - Mempertahankan nilai-nilai pluralisme masyarakat Indonesia adalah salah satu alasan Victor Silaen ikut bergumul dalam dunia politik praktis. Victor, yang juga seorang dosen dan ilmuwan politik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini merasa khawatir dengan masa depan nilai-nilai kebhinekaan yang semakin tergerus dengan semangat arogansi dari kelompok tertentu yang ingin melakukan penyeragaman nilai. Menurutnya, Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati yang harus senantiasa diperjuangkan. Saat ini, Victor tercatat sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jakarta dengan nomor urut 40. Dia enggan menjadi caleg Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab dengan menjadi caleg DPR maka dirinya harus terlebih dulu bergabung dan terikat dengan partai politik (parpol). Victor tidak menginginkan keterikatan politik. Menurutnya, hal itu bisa menjebak dirinya ke dalam benturan kepentingan, antara idealisme politik dengan kepentingan pragmatis partai politik. “Saya tidak ingin terikat dengan parpol, karena harus siap untuk berkompromi dengan parpol atau ketua parpol. Saya tidak ingin berkompromi dalam politik,” katanya. Keinginannya menjadi wakil rakyat untuk mewakili aspirasi masyarakat Jakarta adalah wujud keinginannya menjaga dan mempertahankan semangat pluralitas dalam masyarakat. Dia melihat Jakarta tidak luput dari ancaman politik penyeragaman. Kebhinekaan Jakarta, terang Victor, hanya dapat dipertahankan jika ada kemauan dari semua pihak, terutama pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tetap berpihak pada nilai-nilai kebhinekaan itu sendiri, tidak malah berpihak atau tunduk pada kepentingan sekelompok aliran agama atau suku tertentu. Oleh karena itu, jika berhasil terpilih, Victor berjanji akan serius mengawasi kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang pernah mengusung semboyan “Jakarta untuk Semua.” Bagi Victor, selama ini Gubernur dan Wakil Gubernur belum serius menjadikan Jakarta sebagai rumah bagi semua golongan. Dia merujuk Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum yang dinilainya sebagai produk hukum diskriminatif dan hanya mengakomodasi kepentingan golongan tertentu. (cr-5)