200 Tahun Anjer Panarukan (Kompilasi Final Artikel Kompas) Dari Jalan Raya Pos Ke Jalan Tol Trans-Jawa
Laporan Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panarukan menurut saya sangat baik untuk membaca kembali perjalanan bangsa ini. Apakah watak kolonial masih melekat dalam perekonomian negeri ini? Apakah penghisapan dan kesenjangan masih menjadi karakter perekonomian negeri ini? Apakah Jalan Pemodal-Penguasa Anjer-Panarukan yang dibangun dengan darah ribuan orang, adalah watak politik kekuasaan atau jalan yang terus dipelihara dan dibangun hingga hari ini? Bagaimana motif dan implikasi ekonomi politik dan ekologi politiknya? Sebuah bacaan penting untuk kaum muda, akademisi, aktifis sosial, hingga politisi dan masyarakat luas umumny untuk merefleksikan kembali 100 tahun kebangkitan nasional, 63 tahun proklamasi dan 10 tahun 'reformasi' salam andreas iswinarto untuk mengikuti 40 artikel berupa berita terkait soal ini silah klik http://ruangasadirumahkata.blogspot.com/2008/08/ekonomi-dan-ekologi-politik-jawa-dari_29.html Ekspedisi Daendels, Belajar dari Sejarah Sebuah Jalan Kamis, 14 Agustus 2008 | 06:22 WIB Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. -Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- ______________ 5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda. Tidak ringan misi yang diembannya di negeri jajahan ini. Raja Belanda Louis (Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte, mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal di Jawa menggantikan Albertus Wiese. Tugas utama Gubernur Jenderal Daendels adalah menyelamatkan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius jatuh pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris terlihat di perairan utara Laut Jawa, dekat Batavia. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun 1800, armada Inggris berhasil memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust. Belum lama, dua tahun lalu, tahun 1806, armada Inggris muncul di Gresik. Kegentingan politik mewarnai kedatangan Daendels hari itu. Gubernur Jenderal baru ini bergerak cepat. Ia sadar betul, kekuatan Perancis-Belanda di Jawa tidak akan mampu menghadapi armada Inggris. Ia pun merestrukturisasi kekuatan militernya. Orang-orang pribumi direkrutnya menjadi tentara. Ia membangun sejumlah rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia mendirikan Benteng Lodewijk dan membangun sebuah pabrik senjata. Di Semarang ia membangun pabrik meriam. Sementara, sekolah militer ia dirikan di Batavia. Namun, lebih dari semua itu, proyek utamanya demi mempertahankan Jawa adalah membangun jalan raya sepanjang lebih kurang 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa, menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Tujuannya satu agar mobilisasi perang dapat berjalan cepat. Hanya dengan jalur darat yang bagus mobilisasi pasukan untuk mempertahankan Jawa akan lebih mudah dilaksanakan. Inilah Jalan Raya Pos (Groote Postweg, The Great Post Road). *** Era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang hanya tiga tahun (1808-1811) merupakan salah satu titik kelam sejarah bangsa ini. Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengabadikan masa-masa pahit itu. Dengan getir ia menulis, ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”. Sejarah mencatat, lebih dari 12.000 jiwa tewas akibat kerja paksa membangun jalan ini. Namun siapa nyana, di balik hitamnya sejarah masa lalu, Daendels sesungguhnya meletakkan dasar bagi perkembangan tata ruang kota dan hubungan antarkota di Jawa sejak awal abad XIX hingga kini. Jalan raya itu kini menjadi urat nadi transportasi di Jawa. Pembangunan Jalan Raya Pos juga telah mengubah wajah perkotaan di Jawa. Kehidupan ekonomi di kota-kota yang dilewati jalur Jalan Raya Pos berkembang pesat. Satu kota mati, kota lain tumbuh. Begitu terus sepanjang waktu. Selama 200 tahun (1808-2008) jalan raya itu menjadi saksi bisu hidup dan matinya kota-kota di Pulau Jawa. Mengenang 200 tahun Jalan Raya Pos, Kompas akan melakukan ekspedisi, menyusuri kembali jalan itu dari Anyer hingga Panarukan. Perjalanan akan berlangsung dari tanggal 16 hingga 25 Agustus nanti. Rute yang akan ditempuh adalah Anyer-Serang-Tangerang-Jakarta-Depok-Bogor-Cipanas-Cianjur-Bandung-Cileunyi-Sumedang-Palimanan-Cirebon-Losari-Brebes-Tegal-Pekalongan-Batang-Semarang-Demak-Kudus-Pati-Rembang-Lasem-Tuban-Gresik-Surabaya-Waru-Sidoarjo-Pasuruan-Probolinggo-Panarukan. Napak tilas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan” ini ingin memotret perkembangan yang terjadi di sepanjang Jalan Raya Pos. Kompas juga ingin menggali pelajaran apa yang bisa dipetik dari Gubernur Jenderal Belanda dengan proyek jalan raya ini. Sejarah, sekelam apa pun bentuknya, selalu menyimpan pelajaran berharga. Di halaman ini Anda dapat mengikuti perjalanan tim ekspedisi Kompas. ______________________ "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,” -Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-