--- In zamanku@yahoogroups.com, Agung Setiawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Petanyaan paling gampang: Jika anda atau saya jadi pejabat dan diimingi 500 juta untuk satu korupsi mudah, apakah diterima? Jika yang jawab "ya" ada 7 dari 10 orang, maka ini sudah budaya.
System suatu negara menentukan mudah tidaknya praktek korupsi dilakukan. Penerapan system yg salah akan mengakibatkan korupsi menjadi sulit dibendung bahkan menjadi budaya. RI terbentuk dari masyarakat yang heterogen, sehingga penentuan system negara seharusnya bersifat desentralisasi, atau federasi. Setiap daerah yg homogen bebas menentukan systemnya sendiri sebatas urusan internal daerah itu sendiri. Setiap daerah tentunya sudah memiliki system masyarakat yang berumur ratusan atau ribu tahun. System yg sudah teruji sebagai alat tata tertib daerah tsb. Inilah yg akan menjadi dasar pembentukan system daerah. System yg demikian lebih mudah di laksanakan, karena memang merupakan akar budaya masyarakat setempat sehingga pengembangannyapun menjadi lebih mudah dilakukan. > > jangankan pejabat A sampai Z aja yg bisa terjadi suap menyuap ! > Bagaimana dengan para Pegawai Negri rendah, seperti Office Boy aka Pelayan Kantor, Sekretaris, Sopir, "Ajudan" dsbnya?. melalui sekretaris (tapi tidak semua kok!), atau office Boy dengan Rp.500.000 saja dengan gampang kita bisa mendapatkan copy surat keputusan Menteri, risalah rapat Kabinet, Jadwal perjalanan pegawai tinggi pemerintahan, Agenda pimpinan perusahaan BUMN, Memo-memo Intern lembaga pemerintahan, disposisi menteri ..... menteri? Disposisi Presiden saja bisa! > > > > Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Jawa Pos > Senin, 06 Oktober 2008 ] > > > Suap-menyuap di Negeri Ini > > Oleh: Kurniawan Muhammad * > > > PUSAT Studi Pengembangan Kawasan (PSPK) Jakarta pernah melakukan penelitian pada 2001 di tujuh kota. Yaitu, Jakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Medan, Semarang, dan Pontianak. Penelitian itu ingin mengungkap budaya korupsi dalam konteks wacana sehari-hari. > > Salah satu hasilnya, terungkap ada 40 peribahasa yang tumbuh subur di masyarakat, yang cenderung kompromistis terhadap langgengnya korupsi. Disebut cenderung kompromistis setelah terjadi distorsi dari makna yang sebenarnya peribahasa tersebut. > > Salah satu contoh peribahasa yang disebut dalam penelitian itu: jer basuki mawa bea. Peribahasa Jawa itu sebenarnya punya makna yang sangat positif, yakni jika ingin sukses, harus berani berkorban. > > Tapi, menurut penelitian itu, setelah terjadi distorsi makna, peribahasa tersebut disalahgunakan sebagai ''pemaklum'' untuk praktik-praktik penyuapan. Menyuap dianggap sebagai sebuah bentuk pengorbanan jika ingin urusannya lancar. > > *** > > Ketika mengikuti ramainya pemberitaan seputar kasus suap yang belakangan ini terjadi, saya teringat dengan hasil penelitian dari PSPK itu. Kita lihat saja kasus suap teranyar yang berhasil diungkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menimpa anggota KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) M. Iqbal. > > Pada 16 September lalu, dia ditangkap KPK setelah menerima uang Rp 500 juta dari Billy Sindoro, mantan Presdir PT First Media Tbk, penyedia jasa layanan broadband internet dan televisi kabel milik Grup Lippo. > > Menurut KPK, uang itu dikategorikan sebagai suap karena diterima Iqbal terkait keputusan KPPU yang menguntungkan jaringan perusahaan PT First Media Tbk. Hingga kini, penyidikan kasus tersebut sedang dilakukan. > > Sebelum mencuatnya kasus Iqbal, bau suap yang lain juga menyengat di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia. Adalah Agus Condro yang secara lantang ''menyanyi'' dan mengungkap dosanya pada masa lampau. Dia mengaku menerima uang Rp 500 juta setelah komisi tempatnya berkiprah (Komisi Keuangan DPR) saat itu meloloskan Miranda menjadi deputi gubernur senior Bank Indonesia. > > Agus mengatakan, uang yang diterimanya itu pasti ada kaitan dengan lolosnya Miranda. Hingga kini, KPK masih menyelidiki kebenaran ''nyanyian'' Agus. > > Melihat dua kasus suap tersebut setidaknya menyisakan dua catatan. Pertama, kasus suap yang mencuat itu selalu melibatkan oknum di lembaga atau instansi strategis. Pola yang terjadi, si oknum memanfaatkan kewenangan dan jabatan untuk membuka peluang bagi terjadinya ''transaksi''. > > Jika transaksi itu dibahasakan, kalimat yang diucapkan si oknum kira-kira begini: ''Aku punya jabatan dan kewenangan. Siapa saja yang ingin mendapatkan 'berkah' dari jabatan dan kewenanganku, maka berkorbanlah.'' Dari situlah bisa jadi lantas muncul ''habit'' suap-menyuap sebagai wujud dari pengorbanan yang sudah mengalami distorsi makna. > > Catatan kedua, si oknum yang disuap sering terkesan muncul sebagai pelaku tunggal. Padahal, dia berkiprah di sebuah instansi atau lembaga yang dibentuk dalam sebuah sistem sehingga pasti berinteraksi dengan beberapa orang. > > Sebut saja dalam kasus suap anggota KPPU M. Iqbal. Mari kita uji dengan beberapa pertanyaan berikut ini: Mungkinkah Iqbal dalam kasus tersebut bermain sendiri? Mungkinkah ada oknum lain di KPPU yang ikut bermain bersama Iqbal? Jika Iqbal memang bermain sendiri, cukup ''sakti'' kah dia untuk bisa mengatur keputusan KPPU sehingga menguntungkan pihak yang menyuap? > > Saya berharap, KPK merunut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sehingga bisa menuntaskan penyidikan kasus Iqbal. > > Contoh lain adalah dugaan kasus suap di balik terpilihnya Miranda Goeltom. Hingga kini, oknum anggota DPR yang menerima suap terkesan hanya si Agus Condro. Betapapun Agus Condro berteriak bahwa tidak hanya dirinya yang menerima suap (dia menyebut beberapa nama yang satu komisi dengannya, seperti Tjahjo Kumolo, Dudhie Makmun Murod, dan Emir Moeis). Tapi, hingga kini, baru Agus Condro yang secara jelas menerima uang tersebut. Itu pun karena dia mengaku. Sementara orang-orang yang disebut Agus ramai-ramai membantah. > > Untuk kasus Agus Condro itu, ada yang agak aneh. KPK terkesan lambat dalam merespons ''nyanyian'' Agus. Lembaga superbodi itu malah terkesan mencurigai pengakuan Agus. Padahal, sejumlah simpul peristiwa yang terungkap bisa menjadi benang merah antara pemberian uang Rp 500 juta kepada anggota komisi keuangan dan terpilihnya Miranda. > > Misalnya, ada tengara, majunya Miranda disponsori dua konglomerat pemilik bank. Atas nama kepentingan, mereka sangat menginginkan Miranda terpilih. Diduga, dari dua konglomerat itulah uang tersebut digelontorkan kepada anggota komisi keuangan (baca Tempo Edisi 1-7 September 2008). > > Tidakkah simpul peristiwa itu cukup logis untuk ditelusuri lebih lanjut oleh KPK dalam mengembangkan kasus Agus Condro? Sudahkah itu dilakukan KPK? Kita tunggu saja. > > Mengusut kasus suap memang tidak mudah. Butuh kejelian dan ketelatenan untuk mengorek lebih lanjut fakta di balik peristiwa. Karena suap-menyuap di negeri ini sudah ''membudaya'', KPK juga harus lebih jeli memelototi apa pun keputusan atau produk regulasi yang dihasilkan institusi atau lembaga strategis (misalnya, lembaga peradilan, kejaksaan, dan DPR). Jangan-jangan ada suap? (*) > > *. Kurniawan Muhammad , wartawan Jawa Pos >