Atribut Partai Politik
Insiden Bendera Partai Aceh

Kurang pekerjaan atau ada motif lain? Au, ah! Yang jelas, tindakan Komandan 
Rayon Militer (Danramil) satu ini terbilang nyeleneh: melakukan penertiban 
atribut partai politik (parpol). Hal itu lazimnya dilakukan panitia pengawas 
pemilihan umum dan petugas satuan polisi pamong praja. Apa boleh buat, ia harus 
menanggung risiko dicopot dari jabatannya.

Danramil apes itu, Letnan Dua Infanteri Erwin Y.S., bertugas di Koramil 
17/Simpang Keuramat, Aceh Utara. Senin malam pekan lalu, ia memerintahkan anak 
buahnya mencopoti ratusan bendera dan atribut Partai Aceh di pusat kota 
kecamatan. Sejumlah kader partai itu mencoba memprotes, tapi tak berdaya 
menghadapi lima prajurit bersenjata dan bersikap garang tersebut.

Ketua Partai Aceh Simpang Keuramat, M. Dahlan Ishak alias Maklan, yang ikut 
memprotes, malah mendapat ancaman menakutkan. "Saya diancam akan ditembak," 
tutur Maklan. Ia pun tak berkutik. Dalam tempo singkat, segala bendera dan 
umbul-umbul partai yang mayoritas anggotanya mantan anggota GAM (Gerakan Aceh 
Merdeka) itu tuntas dicopoti.

Maklan menuturkan pula, kelima prajurit tersebut, ditambah seorang prajurit 
yang bergabung belakangan, meneruskan aksinya di kawasan dekat pasar. Maklan 
segera ke lokasi dan mengambil gambar menggunakan telepon selulernya. "Ini bisa 
menjadi bukti bahwa bendera itu TNI yang turunkan," kata Maklan dalam 
keterangan persnya.

Tak ada yang salah pada atribut Partai Aceh itu. Lokasi pemasangannya sudah 
benar, tidak menyalahi aturan. Satu-satunya "kesalahan"-nya, pada hari Senin 
itu ada laporan hilangnya bendera Partai Demokrat dan Partai Golkar, 
masing-masing 20 dan 10 lembar. Belum jelas, siapa yang bikin ulah.

Nah, menurut Komandan Kodim 0103/Aceh Utara, Letnan Kolonel Infanteri Yusep 
Sudradjat, didampingi Pasi Intel Letnan Satu Aris, ada kesepakatan semua elemen 
masyarakat Simpang Keuramat, bila ada satu bendera parpol hilang di lokasi 
pemasangan, berarti bendera parpol lainnya juga harus dibersihkan. Agak lucu 
sih, sebetulnya.

Aris menjelaskan, pihak musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) telah 
menyelipkan komitmen itu dalam sosialiasi pemilu, 17-25 Februari lalu, ke 
seluruh desa. Secara umum, materi sosialisasi menyangkut demokrasi berpolitik, 
jangan ada teror, intimidasi, perusakan atau penghilangan alat peraga 
masing-masing parpol.

"Namun, bila salah satu bendera partai hilang, semua komponen masyarakat 
berjanji dan konsekuen untuk menertibkan atau membersihkan seluruh bendera 
parpol di wilayah tersebut," Aris menerangkan. Maka, pada malam itu juga, 
menyusul laporan hilangnya bendera Partai Demokrat dan Partai Golkar, 
dilakukanlah penertiban.

Menurut Yusep Sudradjat, pada malam itu muspika memanggil seluruh ketua parpol 
beserta ketua PPK (panitia pemilihan kecamatan) untuk membahas penertiban 
dimaksud. "Seluruh ketua parpol di Simpang Keuramat hadir, kecuali dari Partai 
Aceh," ujar Yusep. Ia menyesalkan Danramil Erwin yang memerintahkan anak 
buahnya melakukan penertiban tanpa berkoordinasi dengan unsur muspika lainnya.

Berita tentang pencopotan atribut parpol oleh anggota TNI itu menjadi santapan 
media massa. Masyarakat menuding TNI arogan dan tak netral. Yusep Sudradjat 
segera bertindak tegas. Dua hari berselang, Rabu pekan lalu, ia menggelar 
pengadilan kilat di aula Makodim Aceh Utara. Terdakwanya adalah Erwin dan enam 
anak buahnya.

Erwin dinyatakan terbukti bersalah mengeluarkan perintah melakukan penertiban 
bendera partai di beberapa lokasi di Kecamatan Simpang Keuramat tanpa 
berkoordinasi dengan unsur muspika lainnya. Erwin dan anak buahnya mendapat 
hukuman teguran keras dan dimutasikan ke Makodim Aceh Utara. Erwin tak memegang 
jabatan. Yusep mengatakan, penjatuhan sanksi termasuk mencopot Erwin dari 
jabatannya itu adalah bukti bahwa TNI netral menghadapi Pemilu 2009.

Kepada wartawan, Erwin membantah disebut melanggar hukum. Landasannya, ya itu 
tadi, kesepakatan elemen masyarakat menyangkut penertiban bendera parpol.. 
Anehnya, Camat Simpang Keuramat, Ilyas, mengaku sama sekali tidak mengerti 
tentang kesepakatan dimaksud. "Saya tidak tahu kesepakatan itu," katanya.

Markas Besar TNI dalam siaran persnya menyatakan, meski sudah ada kesepakatan 
(antara elemen masyarakat, muspika, dan PPK Simpang Keuramat), penurunan 
bendera atau atribut parpol oleh dan atas inisiatif Danramil 17/Simpang 
Keuramat itu tetap tidak dibenarkan.

Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Aceh Utara, Syamsul Bahri, sepakat dengan 
sikap Mabes TNI. "TNI tidak berhak menurunkan bendera parpol karena menyalahi 
aturan pemilu. Satuan polisi pamong praja yang berwenang (menurunkan)," kata 
Syamsul. Mengenai kesepakatan dimaksud, Syamsul menyatakan tidak tahu. "Itu 
tidak ada aturan dalam Undang-Undang Pemilu," ia menegaskan.

Pembersihan atribut parpol di beberapa wilayah Simpang Keuramat itu --kebetulan 
atau tidak, atribut Partai Aceh yang paling banyak dicopot-- sempat menimbulkan 
kesan ada sentimen terhadap Partai Aceh. Maklum, mayoritas anggota partai ini 
bekas anggota GAM, walau sebetulnya tak menjadi masalah lagi karena mereka 
sudah bertobat dan kembali menjadi warga NKRI.

Sebelum kasus Simpang Keuramat, Partai Aceh juga kerap menghadapi aksi teror 
penculikan dan pembunuhan terhadap anggotanya serta beberapa kali mengalami 
pencopotan bendera partai oleh anggota TNI. Menurut juru bicara Partai Aceh 
untuk wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe, Dedy Safrizal, setidaknya ada tiga 
kasus pencopotan bendera Partai Aceh.

Yang tak kalah menghebohkan terjadi di Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten 
Pidie, Aceh Utara, 21 Desember silam. "Kejadian penurunan bendera dan atribut 
Partai Aceh terjadi sekitar pukul 11.00 WIB, yang dipimpin langsung oleh 
Komandan Koramil Geulumpang Tiga, Lettu Ridwan," ujar juru bicara Partai Aceh, 
Teungku Adnan Beuransyah, kepada The Globe Journal.

Menyimak kecenderungan aksi penurunan atribut Partai Aceh ini, Dedy Safrizal 
mengatakan bahwa pihaknya pesimistis terhadap TNI, khususnya yang bertugas di 
Aceh Utara. Namun Dandim Aceh Utara, Yusep Sudradjat, menegaskan bahwa pihaknya 
tetap di garis netral. "Kami tidak pernah membenci Partai Aceh atau partai 
lokal lainnya. Silakan saja berdemokrasi yang bagus," katanya.

Sementara itu, juru bicara Pusat Penguatan Perdamaian Aceh, Dolly, mengharapkan 
semua pihak tetap sabar dan berkomitmen menjaga perdamaian dengan tidak 
menciptakan konflik-konflik baru di Aceh. "Masyarakat (Aceh) sekarang sudah 
sangat menikmati kondisi Aceh yang mulai aman dan kondusif," ujarnya.

Hal senada disampaikan Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM. "Sambut pesta 
demokrasi 2009 dengan kedamaian, jangan terpancing oleh isu yang membangkitkan 
permusuhan," kata Muzakir Manaf.

Taufik Alwie, dan Ibrahim Passe (Lhokseumawe)
[Nasional, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 12 Maret 2009] 
 
http://gatra.com/artikel.php?id=124108


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke