*Eileen Rachman & Edward Tanujaya*
*EXPERD*
*Character Building Training*

*Dimuat di Kompas, 28 Juni 2014*

Di masa kampanye seperti ini, kita seolah dihujani janji oleh calon
pemimpin kepada rakyat. Dalam masa jabatan 5 tahun, tidak sedikit rencana
dan “mimpi” yang hendak diwujudkan oleh para pemimpin tersebut.
Pertanyaannya, cukupkah waktu lima tahun untuk mewujudkan apa yang
disampaikan itu? Bukankah dari pengalaman yang ada kita menyadari bahwa
lima tahun adalah masa yang super singkat? Di bidang pertahanan, misalnya,
disampaikan rencana untuk memperkuat peralatan perang. Padahal, kita sadar
bahwa proses pemilihan produk, negosiasi, produksi, pengapalan dan
pelatihan teknisinya paling tidak sudah memakan waktu lima tahun. Ini baru
membeli benda mati. Belum lagi program untuk mencerdaskan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, mencetak guru yang handal, ataupun melatih tenaga
kerja asing agar tidak dibodohi atau dilecehkan di Negara lain. Meskipun
dari proses pembenahannya kita bisa meramalkan keberhasilannya, namun
bukankah kita pun bisa mengukur bahwa cukup sulit untuk bisa mendapatkan
hasil gemilang dalam tempo sesingkat itu? Siapkah kita sebagai pemimpin
tim, organisasi, apalagi pemimpin bangsa, bekerja keras dengan maksimal,
bila kita tahu tidak akan menerima pujian dalam proses pembenahan, apalagi
melihat hasil gemilang pada masa aktif jabatan kita?

Mari kita lihat pemimpin bangsa yang melegenda, yang belakangan ini sering
kita sebut-sebut kembali, seperti Bung Karno, Panglima Besar Sudirman,
ataupun Jenderal Urip Sumoharjo. Prinsip, pemikiran, apa yang mereka
perjuangkan terus diingat, bahkan tetap relevan dengan kebutuhan kita di
masa sekarang. Inilah sebetulnya tanda kepemimpinan yang kuat, yaitu *legacy
*atau “warisan” yang tidak lekang di makan jaman. Beberapa organisasi, juga
mengenal nama-nama pemimpin yang melegenda. Salah satunya adalah Agus Marto
di Bank Mandiri. Sebelum meninggalkan Bank Mandiri, pada tahun 2010, beliau
mencanangkan bank Mandiri agar menjadi *The Service Legend*. Mimpi ini
akhirnya terwujud dengan berhasilnya Mandiri meraih kejuaraan servis sampai
7 kali berturut-turut, ketika beliau sudah tidak menjadi CEO lagi. “*Legacy*”
yang dicanangkannya sama sekali tidak dinikmatinya, tetapi tetap terukir
dalam benak para suksesornya dan dijalankan sepenuh hati. Bahkan banyak
sekali kebiasaan-kebiasaan baik, yang masih diteruskan oleh karyawan
Mandiri, yang lama maupun yang baru.

Kita lihat bahwa “*legacy*” bisa berbentuk pemikiran, prinsip, sistem,
sikap atau apapun, yang bisa membimbing jalannya organisasi tanpa kehadiran
pemimpinnya. Bila kita sebagai pemimpin atau calon pemimpin masih sibuk
dengan “*here and now*” saja, daripada memikirkan masa depan, dengan segera
kita akan dilupakan orang begitu kita tidak lagi menjabat. Itu sebabnya, di
tengah kesibukan kita mengejar target kerja jangka pendek, kita memang
tidak boleh luput memikirkan apa yang akan kita wariskan kepada penerus
kita. Pikirkanlah, bagaimana kita ingin dikenang ketika kita tidak lagi
aktif menjabat?

*Kesadaran Diri untuk “Menemukan” Legacy*
Dalam latihan kepemimpinan, hampir selalu para pemimpin atau calon pemimpin
diajak untuk mengenali diri mereka secara mendalam. Mengapa? Bukan hanya
karena pengetahuan mengenai diri sendiri akan membantu individu lebih
efektif untuk menggerakkan timnya, namun pemimpin yang mengenal dirinya
dengan jernih akan bisa menemukan esensi maupun rumus rahasia kehidupan dan
pekerjaan dengan jelas. Saat pemimpin mengetahui dengan pasti demi apa dia
bekerja atau memimpin, apa yang ia yakini dari lembaga yang ia bela, saat
itulah ia bisa menentukan rumus rahasia, tujuan dari “perjuangannya”,
standar kinerja dan obsesinya yang akan bisa terbaca dengan jelas oleh
seluruh anggota timnya. ‘*Legacy*’ juga seringkali ditemukan pada saat-saat
seorang pemimpin berada bersama timnya, membuat keputusan-keputusan berat,
bertindak, dan melakukan kesalahan dan belajar dari situ. Di sisi lain,
pemimpin yang tidak berhasil, biasanya tidak sempat melakukan refleksi diri
seperti di atas, melainkan terlalu berjuang demi nama baik pribadi,
keterkenalan, dan respek pada masa aktifnya. Pemimpin semacam ini tidak
akan sempat membentuk tradisi, menguatkan kultur lembaga, membangun manusia
dan ‘*brand*’ organisasi  secara kuat.

Walter Isaacson, penulis biografi Steve Jobs, mengatakan bahwa sebelum
kembali ke Apple untuk kedua kalinya, Steve selalu berada dalam upaya
pencarian dirinya.  Jungkir balik dalam berkarirnya memang tidak biasa. Ia
dipecat, didiskreditkan, kemudian membangun organisasi lain. Meski
demikian, ia terus memiliki obsesi untuk berbuat sesuatu untuk Apple.
Temuannya  yang sering diistilahkan sekarang: *“connecting the dots”*,
didapatkannya dan dipidatokannya tidak lama sebelum kematiannya. Cara
melihat ke depan dan mengkaitkannya dengan pengalamannya, seolah menjadi
rumus kehidupan, karir dan inovasi pengikutnya. Apa yang ditinggalkannya?
Jobs meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang bisa dijadikan haluan  ketika
menemukan ide dan berusaha mencapai sasaran anak buahnya. Inilah yang
dijadikan patokan oleh Tim Cook dalam meneruskan bisnis Apple.

* Konsistensi Kata dan Tindakan *
Kita bisa melihat bahwa pemimpin yang bisa dijadikan panutan dan terus
dikenang adalah mereka yang mengajak pengikutnya untuk waspada terhadap
kesempatan di depan mata dan bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing.
Pemimpin yang baik juga memiliki keinginan kuat untuk menyebarluaskan
“temuan” dan “rahasia” yang diolah atas dasar pengalaman dan pemahaman
mendalam, dengan dasar kebaikan bagi organisasi dan orang disekitarnya,
bukan kepentingan dirinya.

*Legacy *tidak bisa hanya disiapkan pada akhir masa jabatan kita saja
karena apa yang ingin kita wariskan hanya bisa diperkuat oleh tindakan yang
konsisten dengan kata-katanya:“*Walk the talk*”. Ignasius Jonan, Presdir PT
KAI, berani membuat keputusan-keputusan tidak populer, demi menjaga standar
keselamatan penumpang. Tidak hanya satu kali ia menerangkan kepada
bawahannya mengapa ia mengambil keputusan ini, namun berkali-kali, bahkan
tidak henti-hentinya. Disadari ataupun tidak, inilah adalah bentuk
pengajaran dan upaya mewariskan sikap yang sama, bila ia sudah tidak di
sana lagi. Hal ini hanya bisa terwariskan, bila pemimpin itu pada saat
aktifnya memang konsisten menampilkan perilaku yang signifikan, unik, dan
khas. Barulah ia betul betul melegenda.








*EXPERD CONSULTANT Adding value to business results Kemang 89 Building, 3rd
- 4th Floor Jl. Kemang Raya No. 89, Jakarta 12730 Telp. 021-718 0805 Fax.
021-718 3101 *

*http://www.experd.com <http://www.experd.com/>*

*http://experdfresh.com <http://www.experd.com/>*











-- 
*".... I am the KING to my own UNIVERSE that Rule my MIND, BODY and SOUL
!!! ...." *

*- Aga Madjid -*

-- 
-- 
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
add my twitter @aga_madjid
thanks for joinning this group.

--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"aga-madjid" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke