Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html

DEMO MENGGILA,SBY MASA BODOH

BBM sudah dinaikkan pada 24 Mei 2008 oleh pemerintahan SBY. Apa 
boleh buat. Meski "ocehan" pemerintah tentang menyelamatkan APBN 
cukup membingungkan, namun rakyat terpaksa menerimanya. Namun 
sayang, apa yang ditunggu rakyat dari Pemerintah SBY tak kunjung 
muncul. Apa yang ditunggu rakyat?
 
Sejak beberapa hari terakhir ini di beberapa stasiun TV (mungkin 
semua?) menayangkan sebuah program komunikasi yang dibuat oleh "Save 
Our Nation" mengenai "mengapa harga BBM dinaikan". Kampanye itu 
dibuka dengan munculnya Sri Mulyani, sang menteri keuangan negeri 
ini. Untuk kapasitasnya sebagai seorang akademisi dan menteri dari 
sebuah negeri morat-marit, sungguh Sri Mulyani ini amat 
mengecewakan, karena mau menjadi bagian dari sebuah program 
komunikasi dari pemerintah SBY yang terlambat dan nampak ragu-ragu 
arahnya, sehingga hasilnya hanya menambah luka rakyat. Mengapa 
begitu?
 
Sri Mulyani, Marie Pangestu, Andi Malarangeng, Aburizal Bakrie dalam 
program komunikasi itu mengatakan hal-hal yang lebih tepat 
digolongkan atau diklasifikasikan sebagai "curhat". Bukan sebuah 
wejangan seorang pemimpin kepada rakyatnya yang sedang gundah, 
panik, bingung, putus harapan, dan merasa dianiaya. Rakyat tentu 
berharap wejangan seorang pemimpin akan kira-kira seperti 
ini: "Tunggu dalam waktu yang tidak lama lagi, kami akan segera 
mengeluarkan pengumuman mengenai rincian program-program kami untuk 
membantu rakyat agar rakyat bisa melalui dengan selamat kebijakan 
pahit yang telah kami putuskan." Tapi apa yang diberikan dalam 
program komunikasi itu? Hanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang 
menonjol, selebihnya hanya kalimat-kalimat normatif. Kosong. Tak ada 
janji yang pasti untuk membantu rakyat. 

Apakah negeri ini harus menaikkan harga BBM? Itu memang debatable. 
Apakah kenaikan harga BBM menimbulkan dampak? Itu pasti. Namun 
demikian, ternyata cuma BLT yang bisa dimuntahkan pemerintahan SBY 
setelah 4 tahun diberi kesempatan mengelola negeri ini. Padahal 
kenaikan harga BBM sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, 
sehingga seharusnya sudah ada strategi jitu untuk meredam gonjang-
ganjingnya dengan misalnya memberdayakan rakyat, bukan dengan hanya 
BLT. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ini sudah muncul dampak 
buruk dari BLT sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. 
Ternyata meski kenaikkan BBM sudah diprediksi sebelumnya, ternyata 
pemerintah SBY masih juga tidak siap dengan pelaksanaan BLT.

Sebenarnya program komunikasi ini adalah kesempatan bagus untuk 
menunjukkan, bahwa pemerintah SBY sungguh-sungguh membela rakyat, 
bukan cuma tunduk kepada kepentingan asing, menambah hutang dan 
menjual ratusan trilyun rupiah harta kekayaan negeri ini serta tidak 
mampu mengejar ratusan trilyunan rupiah yang dibawa kabur 
konglomerat hitam. 

Sri Mulyani dan yang lain-lain di dalam program komunikasi itu, 
meski bergelar Doctor sebagaimana orang-orang di sekitar SBY, memang 
hanya seorang menteri keuangan yang mungkin hanya mampu memenuhi 
selera ringan SBY dalam memasak resep pengelolaan negeri ini. Malah 
kebijakan menaikkan BBM telah membuat menteri-menteri lainnya 
menyeringai lebar karena seolah-olah mereka tidak ada hubungannya 
dengan kenaikkan BBM ini. Lihat misalnya menteri Energi dan Sumber 
Daya Mineral yang membuat minyak Indonesia menguap entah kemana.. 
Juga menteri pekerjaan umum yang tidak pernah mampu menyediakan 
infrastruktur jalan yang baik. Atau menteri perhubungan yang malah 
menyuburkan pungli di jalan-jalan.

Mereka memang bukan ratu adil seperti yang ditulis oleh Joyoboyo 
yang akan membawa rakyat keluar dari kubangan sepanjang puluhan 
tahun berdirinya republik ini. Bahkan nampaknya semangat kebangkitan 
nasional yang pertama kali diikrarkan 100 tahun lalu masih terus 
hanya menjadi omong-kosong belaka, meski republik telah dibangun di 
negeri ini, meski Soeharto telah digulingkan, meski reformasi telah 
digelar, meski 2 kali pemilu yang katanya "demokratis" telah 
dilemparkan ke rakyat.

Rakyat menunggu janji yang lebih dari sekedar BLT, misalnya 
menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bukan hanya sekedar 
mengundang investor dari luarnegeri untuk membangun pabrik. Tapi 
juga menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru atau peluang-peluang 
usaha baru. Rakyat sendiri sudah sejak lama menciptakan peluang-
peluangnya sendiri, misalnya dengan menjadi pengusaha kaki lima. 
Sayang upaya mandiri mereka ini dianggap sebagai pekerjaan kriminal. 
Mereka dikejar, diburu, ditumpas sebagaimana musuh berbahaya bagi 
negara. Jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki lima, tetapi 
mengapa mereka tidak pernah diberi solusi untuk mendapat kesempatan 
berusaha atau berpenghasilan? 
 
Sekali lagi program komunikasi ini terlambat. Seharusnya itu dibuat 
sejak gonjang-ganjing kenaikan BBM pertama kali dilemparkan beberapa 
minggu lalu. Kini demo-demo anti kenaikan BBM sudah menjadi 
menggila, amat emosional, kehilangan akal sehat dan menyedihkan di 
mana-mana 
(http://foto.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/2
6/time/172004/idnews/945352/idkanal/157/id/6). Para aparat keamanan 
yang juga terkena dampak dari kenaikan BBM ini harus dijadikan garda 
rapuh yang menyedihkan oleh pemerintahan SBY. Padahal para aparat 
keamanan ini juga memiliki anak, adik, keponakan, saudara, tetangga, 
teman yang menjadi mahasiswa pendemo. Sungguh sebuah situasi 
kebangsaan yang sebenarnya amat memilukan kita sebagai bangsa yang 
terus-menerus harus berkubang (bukan menggeliat bangun atau bangkit) 
di dalam soal-soal yang sialnya bukan soal-soal yang digdaya atau 
soal-soal yang bermartabat, seperti bagaimana ikut menyelamatkan 
planet Bumi ini bagi anak cucu di masa depan. Bukan soal-soal 
menciptakan perdamaian. Bukan soal-soal membantu korban bencana. 
Bukan juga soal-soal bagaimana menciptakan hidup yang lebih mulia 
dengan teknologi, misalnya. Semua persoalan bau ketek ini sekali 
lagi (atau lagi-lagi) dilemparkan oleh pemenang pemilu yang 
diselenggarakan dengan biaya mahal dari keringat dan darah rakyat. 

Bangsa ini atau negeri ini menjadi rusak bukan karena bangsa ini 
bangsa yang disebut indon sebagaimana disebut beberapa orang 
Malaysia untuk merendahkan kita. Juga bukan karena kita memang 
bangsa kere atau bangsa budak, tetapi karena kita secara sial telah 
memilih manusia-manusia tempe (karena kedelainya diimport dari Cina 
atau Amerika). Kita telah memilih para pemimpin amoral karena mereka 
tidak mau bekerja keras sampai titik darah penghabisan untuk 
mengelola negeri ini. 

Jojo Rahardjo
Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html


Kirim email ke