Buat oknum pejabat yang bergaya hidup mewah di tengah keterpurukan
masyarakat, Anda punya pilihan, menyerahkan harta yang Anda peroleh
secara tidak sah kepada yang berhak atau bikin malu keluarga Anda
seumur hidup tatkala baju tahanan koruptor itu Anda kenakan. Selamat
berpikir, bila akal itu masih ada.

Salam,
Andri


Source: http://www.gatra.com/artikel.php?id=122148

---article begins---

Penggelapan Pajak
Gajinya Pas-pasan, Asetnya Milyaran

Pegawai negeri yang satu ini punya kekayaaan puluhan milyar rupiah.
Dialah Edy Suhaedy, pegawai negeri sipil golongan III yang menjabat
sebagai kepala seksi di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) Jakarta Utara. Gajinya tidak lebih dari Rp 4 juta sebulan,
tapi punya rumah mewah di kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan.

Ia juga memiliki mobil mewah Toyota Harrier, punya peternakan ayam di
Bogor, dan memiliki showroom jual-beli mobil bekas di Jalan Dermaga,
Duren Sawit, Jakarta Timur. Belakangan ketahuan, Edy melakukan
kejahatan. Ia ditangkap polisi pada 31 Desember lalu.

Edy diduga menggelapkan dana pajak penghasilan (PPh) tunjangan
insentif dan kesejahteran guru. Jumlahnya mencapai Rp 23 milyar.
Karena itu, polisi menyita aset milik Edy senilai Rp 25 milyar. "Aset
milik tersangka itu diduga dari hasil kejahatan," kata Direktur
Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raja Eizman.

Selain meringkus Edy, polisi juga menciduk Purnomo, kepala seksi
olahraga di kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Dia diduga membantu
melakukan kejahatan. "Karena itu, dia kami tangkap," kata Kepala
Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya, AKBP Aris Munandar.

Kejahatan Edy dan Purnomo tercium ketika petugas dari Kantor
Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta melakukan
pemeriksaan. Pada saat itu, muncul kecurigaan kuat ada kecurangan
dalam pembayaran PPh tunjangan insentif dan kesejahteraan guru di
lingkungan Suku Dinas Pendidikan Dasar (Sudin Dikdas) serta Suku Dinas
Pendidikan Menengah dan Tinggi (Sudin Dikmenti) Jakarta Selatan.

Untuk memastikan kecurigaan itu, kata Sekretaris Wali Kota Jakarta
Selatan, Mangara Pardede, petugas Kantor Perwakilan BPK Jakarta
melakukan konfirmasi ke Kantor Pelayanan Pajak Kebayoran, Jakarta
Selatan. Hasilnya sungguh mencengangkan. Data yang dimiliki kantor
pajak menunjukkan, ternyata Sudin Dikdas dan Sudin Dikmenti Jakarta
Selatan belum menyetor uang pembayaran pajak ke kas negara sejak
Januari hingga Juni 2008.

Padahal, sebelumnya, petugas Kantor Perwakilan BPK Jakarta disodori
bukti surat setoran pajak (SSP) dari bank oleh Bendahara Sudin Dikdas,
Pujiono, dan Bendahara Sudin Dikmenti, Herlan. Selidik punya selidik,
rupanya bukti SSP dari bank itu aspal alias asli tapi palsu. "Orang
awam akan sulit membedakan mana SSP yang asli dan mana yang palsu.
Hanya orang bank yang tahu bedanya," kata Mangara.

Polisi mulai melakukan penyelidikan setelah Pujiono dan Herlan melapor
ke Polda Metro Jaya, Desember 2008. Dua bendahara ini mengaku
diperdaya Purnomo. Mereka sudah membayar uang setoran pajak kepada
Purnomo sebesar Rp 23 milyar. Tapi ternyata bukti SSP yang diberikan
Purnomo palsu.

Ketika diperiksa polisi, Purnomo "berkicau". Uang pajak yang ia terima
dari Pujiono dan Herlan diserahkan kepada Edy. Lalu Edy memberikan SSP
aspal itu, yang belakangan diketahui dibuat orang suruhan Edy, yakni
AS dan PA. "Pada saat ini, polisi masih mengejar AS dan PA yang
buron," kata Aris Munandar.

Ia menyatakan, hingga kini polisi masih memperdalam kasus penggelapan
pajak yang merugikan uang negara itu. Bukti-bukti terus dikumpulkan.
Saksi-saksi diperiksa. Mereka, antara lain, para pejabat di lingkungan
kantor Wali Kota Jakarta Selatan. "Tidak tertutup kemungkinan ada
sanksi yang akan ditingkatkan statusnya menjadi tersangka," ujar Aris
Munandar.

Menurut pengamat pajak, Hadi Buana, modus yang digunakan pelaku
tergolong sangat tradisional. "Penggelapan pajak dengan cara
memalsukan dokumen bukti pembayaran setoran pajak bukan hal yang baru,
bahkan sudah kuno," kata Hadi. Kendati kuno, modus ini bisa dibilang
cukup berhasil. Terbukti, tunggakan pajak berlangsung sejak Januari
2008, tapi baru terendus petugas pajak pada penghujung 2008.

Hal itu terjadi karena pelaku memanfaatkan longgarnya pengawasan
petugas pajak terhadap instansi pemerintah. Selama ini, dengan alasan
minimnya jumlah petugas pajak, laporan pajak di kantor-kantor pelat
merah kerap luput dari pengawasan. "Mereka lebih fokus pada pengawasan
laporan pajak di instansi swasta," tutur Hadi. Jadi, tidak
mengherankan kalau ditemukan kasus penggelapan pajak di instansi
pemerintah.

Sujud Dwi Pratisto, Deni Muliya Barus, dan Syamsul Hidayat
[Laporan Utama, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 15 Januari 2009]

---article ends---

Kirim email ke