Wah masalah yang disinggung rumit.
Saya setuju bahwa sektor gelap kalau dilarang justru menguntungkan pihak
ketiga dan menghambat pertumbuhan ekonomi kita sendiri.
Contoh adalah Singapura yang tadinya adalah pasar selundupan karet
rakyat.
Tetapi kegiatan2 yang merusak sumber daya seperti pembabata
--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Waktu krismon dulu saya rasa justru sektor gelap yang mengambil peran
> sebagai bumper.
> Bagian tertentu sektor ini banyak memberi pekerjaan dan memasok barang
> dan jaza dengan murah.
Memang. Standar hidup yang
Pak Hok An,
Kalau mau dilihat begitu sih kelihatannya agak benar, karena dari
perjalanan saya kedaerah-daerah seperti Sinabang, Meulaboh, Ranai-
Natuna, Balikpapan, Tenggarong, Menado, Ternate harga kebutuhan makan
mirip-mirip bahkan sesekali terasa lebih mahal dari Jakarta.
Kekecualian mungkin
Waktu krismon dulu saya rasa justru sektor gelap yang mengambil peran
sebagai bumper.
Bagian tertentu sektor ini banyak memberi pekerjaan dan memasok barang
dan jaza dengan murah.
Sebab itu justu salah kalau mau dibabat habis begitu saja.
Masing2 subsektor harus dilihat sendiri2 dan dinilai produk
Bung Rachmad,
Memang sektor gelap banyak macamnya, sebab itu kalau BPS mau memantau
mungkin bisa tahap pertahap yang masuk dalam taksiran.
Saya juga tidak berani menggunakan angka 200%.
Tetapi perlu diingat pasar nasional yang gelap sangat besar, tidak perlu
ada hubungan dengan ekspor.
Banyak seka
--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Disektor tertentu angka 200% keliatannya merupakan atau sedikitnya
> pernah menjadi kenyataan lapangan.
> Misalnya sektor pembalakan hutan dan pemasokan kayu untuk pabrik2 pulp &
> paper, perikanan laut dan impor
Rasanya pasar gelap ini ada banyak katagori.
1. Melalui jalur resmi tapi tidak tercatat sepenuhnya dengan proses
sogokan. Seperti kasus KPK di Bea Cukai baru-baru ini.
2.Sama sekali tidak terdaftar seperti pembalakkan liar, pencurian
ikan, penyelundupan pasir ke Singapore etc.
3. Anak perusahaan
Setahu saya angka yang biasa dipakai sekarang 50%. Angka 200% itu luar
biasa. Dengan demikian negara kita punya saudara gelap yang dua kali
lebih besar.
Tahun 1960 kesadaran bernegara masih rendah. Pengusahapun sudah tenang,
merasa menjalankan kewajibannya secara penuh kalau sudah bayar pajak2
desa
Bung Rachmad,
Saya setuju periode Belanda dibagi dua.
Sesungguhnya menarik sekali adanya politik etis pada periode kedua itu.
Orang Belanda ternyata bisa tahu malu dan sedikitnya mau bayar semacam
ganti rugi.
Pemberantasan korupsi dalam periode dua juga cukup berhasil.
Saya juga setuju introduks
--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Sektor gelap besarnya bisa saja tanding2 dengan yang terang.
> Taksiran2 yang ada sering2 dramatis.
> Ditahun 1960 orang2 tua yang saya kenal menaksir sektor gelap kita 200%
> dari yang terang.
Sebenarnya berapa t
Pak Hok An,
Rasanya ada dua periode yang sangat berbeda pada saat dijajah
Belanda. Periode pertama adalah wilayah Nusantara dikuasai VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC adalah usaha dagang
Belanda, jadi pengelolaan Nusantara akan sama persis dengan
pengelolaan sebuah perusahaan. VOC
Bung Rahmad, Bung Poltak,
Setahu saya sektor gelap sudah dibahas waktu jaman kolonial dalam
dualisme ekonomi yang ditulis oleh Boeke.
Kita justru menganggap sektor ini tidak ada.
Jaman dulu kepala saja kena pajak. Di Jawa sampai ada gerakan samin
untuk menolak pajak.
Tanam karet setahu saya juga
Bung Poltak ysh,
Saya pikir Indonesia gagal menjalankan amanat UUD 45 dan juga Dasar
Negara Pancasila yang bercorak sosial. Indonesia gagal menerapkan
Ekonomi Pasar Sosial ala jalan tengah yang banyak berkembang di
dataran Eropa. Ekomoni Pasar Sosial membutuhkan data Primer, Sekunder
dan Ters
13 matches
Mail list logo