Sumber:

http://putuwijaya.wordpress.com/2007/12/01/aids/

"Momok yang pernah paling ditakuti adalah AIDS," kata Ami memberikan 
ceramah, di depan sejumlah ibu kampung. "Keadaan kehilangan kekebalan 
pada manusia itu sampai sekarang belum ada obatnya. 

Disepakati dunia sebagai pembunuh kejam akibat percaulan seks bebas. 
Akibat berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual yang 
tidak wajar, khususnya di kalangan kaum homo. Penularannya yang lewat 
hubungan kelamin dan darah itu, kemudian merebak ke seluruh aktivitas 
manusia. 

Tranfusi darah, jarum suntik dan kemudian di klinik gigi antara lain, 
menggerus manusia yang tidak pernah melakukan kontak jasmani aneh-
aneh. Bayi yang tak berdosa pun tak urung langsung terlahir mengidap 
AIDS."

"Tapi sesuai dengan pepatah, alah bisa karena biasa,"lanjut Ami 
menyambung ceramahnya, "karena terlalu sering didengung-dengungkan, 
telinga kita sendiri menjadi tebal dan tuli. Bahaya itu semakin lama 
semakin akrab dan akhirnya sekarang sudah tidak menakutkan lagi. 

Dulu siapa yang mengidap AIDS, akan dikucilkan bahkan ditembaki kalau 
mau berhubungan dengan masyarakat. Sekarang malah diundang 
berceramah, agar masyarakat sadar bahwa orangnya tidak berbahaya, 
kecuali berhubungan badan atau darah kita kecipratan darahnya. Yang 
paling ditakuti sekarang sudah ganti dengan wajah baru. Ibu-ibu tahu 
apa itu?"

Para ibu yang mendengarkan ceramah tidak menjawab. Ami curiga 
sebagian besar nampaknya tidak mendengarkan apa yang sudah ia 
provokasikan. Mereka sibuk memikirkan bagaimana mencicil pel 
penghambat ketuaan yang ditawarkan oleh seorang ibu yang gencar 
menawarkan produk multi level.

"Sekarang yang paling berbahaya, yang nomor satu ditakuti, yang 
paling mengancam kita, bukan lagi HIV, bukan lagi AIDS, bukan lagi 
kehilangan kekebalan tubuh tetapi kehilangan kedudukan. Semua orang 
Indonesia sekarang takut kehilangan kursi. 

Kehilangan jabatan bukan hanya berarti kehilangan kehormatan dan 
kekuasaan, juga kehilangan kesejahteraan. Kedudukan sekarang sudah 
identik dengan uang. Tanpa kedudukan, orang akan bangkrut dan mati. 

Karena itu mereka yang sedang menjabat dengan berbagai cara berusaha 
untuk mempertahankan kursinya. Bila perlu dengan cara melawan hukum. 
Moral kita sudah jatuh. 

Itulah penyakit yang lebih membunuh dari kehilangan kekebalan, karena 
bukan hanya satu orang akan mati akibat tidak kebal, tetapi tetapi 
seluruh bangsa, 220 juta manusia akan lenyap karena tidak punya rasa 
yang bersih lagi. Terimakasih!"

Ibu-ibu bertepuk tangan gembira dan gegap gempita. Seakan-akan 
mendapat siraman kesejukan setelah lelah dihajar muntahan kata-kata 
Ami yang hampir satu jam itu. 

Semuanya mengucapkan selamat. Mereka memuji-muji kepasihan Ami dalam 
berbicara, juga karena dadanan dan rambutnya yang menarik. Tapi 
setelah itu mereka merubung ibu yang membawa pel penghambat ketuaan 
itu.

Dengan loyo Ami pulang ke rumah.

"Kenapa keok seperti itu?" tanya Amat menyambut. "Apa ceramahmu 
gagal, Ami?"

" Dari awal saya tahu akan gagal. Tetapi yang paling menyakitkan 
adalah karena tidak seorang pun yang memprotes ketika Ami bilang 
bahwa AIDS itu tidak berbahaya lagi."

Amat terkejut.

"Kamu bilang begitu?"

"Ya."

Mata Amat semakin membelalak.

"Kenapa? Apa kamu kesleo? Kalau ucapan salah kan bisa diralat waktu 
itu juga?"

"Bukan kesleo! Ami mengucapkan secara sadar bahkan berapi-api!"

Amat bengong.

"Aduh. Kenapa jadi bisa begitu?"

"Karena nyatanya memang begitu! HIV, AIDS memang nomor satu sebagai 
pembunuh manusia. Tetapi kemerosotan akhlak yang menyebabkan seluruh 
bangsa kita kehilangan karakter, tidak punya harga diri, tidak punya 
rasa malu, tidak peduli kepada kemanusiaan, seenaknya saja melakukan 
pelanggaran hukum demi keuntungan diri dan golongannya, adalah 
pembunuh yang akan menghancurkan 220 juta manusia sekaligus. Itu 
lebih berbahaya seribu kali daripada AIDS!"

Amat terhenyak.

"Maksudmu bangsa kita sudah kehilangan harga diri?"

"Bukan hanya itu, tetapi kehilangan otak, karena semuanya ingin hidup 
enak! Itu sudah melumpuhkan kita seribu kali lebih cepat dati AIDS!"

Amat memandang tajam Ami.

"Ami!"

"Dan mereka semuanya percaya lalu bertepuk tangan memuji-muji!"

"O ya?"

"Ya! Malah ada yang menyindir, dasar anak Pak Amat! Apa nggak sakit!"

Muka Amat bersemu merah.

"Mereka bilang begitu?"

"Ya. Ami kan jadi malu!"

Amat mengangguk-ngangguk. Seperti membayangkan bagaimana para ibu 
kampung itu menyalami anaknya.

"Wah, itu sangat dalam Ami!"

"Apa?"

"Bagaimana mereka tidak akan memujimu, kalau dalam usia semuda kamu, 
yang belum menikah, cantik lagi, kamu kok menyadari penyakit apa yang 
sedang mengancam keselamatan kita sebagai bangsa! Kamu hebat. Bapak 
bangga kamu sudah mengatakan itu! Selamat!"

Amat langsung menepuk-nepuk pundak Ami. Lalu bergegas keluar, hendak 
menemui para ibu yang mengikuti ceramah, untuk mendengar sendiri 
secara langsung, pujian mereka kepada Ami.

Ami kebingungan. Ia memandangi Amat seperti melihat hantu.

"Kenapa Ami. Bapakmu ngomong apa?" tanya Bu Amat menghampiri.

Ami menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa? Kamu sakit?"

"Ya. Ternyata benar. Semua orang sekarang sudah mengkaitkan segala-
galanya dengan politik. Bukan hanya ibu-ibu itu saja, Bapak juga sama 
saja. Masak Bapak senang sekali waktu saya katakan bahwa AIDS dan HIV 
tidak lebih berbahaya dari krisis moralitas yang sedang menimpa 
bangsa kita sekarang. 

AIDS sudah dianggap enteng, yang paling penting sekarang bagaimana 
mencari kedudukan, karena itu berarti duit! Bagaimana kita akan 
memberantas AIDS yang semakin merebak bahkan di Bali ini, kalau 
pikiran kita sudah dikacaukan oleh politik terus?"

Bu Amat tersenyum.

"Kalau begitu, benar juag komentar ibu-ibu itu, isi ceramahmu bagus 
sekali."

"Apa?"

"Mereka umumnya menangkap apa yang ingin kamu katakan, bukan yang 
kamu katakan Ami. Hanya saja karena orang sederhana, mereka tak mampu 
mengucapkannya, atau memberi komentar seperti yang kamu inginkan, ya 
paling banter mereka hanya bilang kamu cantik."



Kirim email ke