terbit buku baru tentang "Lumpur Lapindo" :

Judul: KERUGIAN BANGSA Akibat Lumpur di Sidoarjo.
Penulis : Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Editor : Jainul A. Dalimunthe
Penerbit: Visibuku Info Indonesia
Terbitan: 29 Mei, 2008 (dua tahun semburan lumpur)
Ukuran buku: 15 x 23 cm
Tebal : 450 halaman
ISBN 978-602-9103-16 9
Harga: 74.500,00
Tersedia di : Toko Buku Gramedia terdekat
Abstrak:
Sementara ini masyarakat menganggap bahwa permasalahan Semburan lumpur sebagai 
masalah bisnis murni yang berkaitan dengan geologi, khususnya perminyakan. 
Penilai tersebut benar adanya. Namun ternyata, lewat pengamatan terhadap 
AKIBAT-nya selama setahun penuh, masalah teknik (geologi maupun bisnis murni) 
hanyalah 20% dari permasalahan. Begitu kalau dilihat dengan kacamata Pembukaan 
UUD. 
Yang 80% selebihnya ditimbulkan oleh manusia. Untuk menyelesaikan soal ini 
persepsi manusia Indonesia terhadap segala hal harus dibenahi. Baik persepsi 
terhadap negara, terhadap ilmu pengetahuan, terhadap manusia lainnya, terhadap 
alam semesta dan Tuhan. Amat khusus, persepsi terhadap arti “kerugian”. Aneh, 
mungkinkah karena saking kayanya, bangsa ini tak pernah merasa rugi, “untung 
terus”? Rekayasa Belandakah “agar bisa mengeruk kekayaan Indonesia sampai puas, 
yang inlander dibuat tidak merasa rugi sedangkan para ambtenaar dibuat selalu 
merasa untung”. Bangsa ini kini menuai badai, negri hancur pun tidak ada yang 
rugi. Itulah intisari dari buku, yang ingin mencerahkan warga bangsa mulai dari 
“merasa rugi”. Rugi dalam value maupun price. Dalam konteks itu, perdebatan 
para ilmuwan selama ini tidak bermanfaat. Posisi ilmuwan dalam konteks 
keseluruhan permasalahan, inilah yang didiskusikan dalam buku ini. 
Yang dimaksud manusia di sini adalah korban, non-korban, serta interaksinya 
sebagai satu bangsa dalam konteks universal. Perpres 14/2007 yang dikeluarkan 
untuk menangani bencana ini memvisualisasikan betapa bangsa ini kering akan 
persepsi, hidup hanya untuk hari ini, paling panjang untuk satu periode pemilu. 
Kemudian benang merah mengalirnya pemikiran adalah sebagai berikut :
1. Keadaan Awal tentang keadaan umum Sidoarjo sebagai kota industri padat 
penduduk, juga merupakan akses tunggal Surabaya ke/dari Jawa Timur bagian Timur 
– Selatan. Di wilayah yang kaya raya inilah bencana itu terjadi, termasuk “kaya 
masalah sosial” sebagai penyangga kota metropolitan Surabaya. Bab I.
2. Korban berjatuhan. Dari aspek kewilayahan, terlihatlah terdapat tujuh 
keluarga besar korban yang dibuat “menderita” oleh bencana. Yaitu, Korban 
Kemanusiaan, Korban Kelembagaan Masyarakat, Korban Kondisi Ekonomi, Korban Tata 
Kepemerintahan, Korban Perencanaan Pembangunan, Korban Tata-hukum Nasional, 
serta last but not least Korban Ketata-negaraan dan Kepemimpinan Nasional. Bab 
III.
3. Proses Kebijakan I menyampaikan apa yang terjadi sebelum proses eksplorasi 
terjadi. Dalam proses ini terlihat bahwa UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 
hanyalah “peluang bisnis”. Pemerintah kurang memperhatikan aspek resiko, 
terlalu fokus akan untung. Sedangkan Badan Usaha (Lapindo), terlalu gegabah dan 
tidak peduli pasal 6 yang mengatakan “seluruh resiko ditanggung oleh Badan 
Usaha”. Orang lupa bahwa ini “bisnis negara” (pasal 33 UUD), bukan bisnis 
murni, di bab VI. 
4. Proses terjadinya kecelakaan di bab VI, menguraikan apa yang terjadi di 
dalam bumi dan di atas permukaan tanah. Dilaporkan apa yang sedang dilakukan 
oleh BPLS serta menggambarkan dampak-dampak dari penanganan tersebut. Ilmuwan 
terbelah ketika meributkan soal “penyebab semburan” yang tidak akan 
menyelesaikan. Karena SBY-JK belum tahu hakikat permasalahannya. Bahkan pemilik 
masalahnya pun tak jelas, semua pihak ingin saling salah-menyalahkan. Ilmuwan 
pun ikut-ikutan. Menunjukkan bahwa tak ada yang merasa rugi, memang bangsa tak 
punya “kepentingan nasional”. Sementara kepentingan-kepentingan liar dibiarkan 
berkembang, bahkan mendapatkan peluang-peluang berpredikat “manusiawi”. 
5. Korban Kemanusiaan. Buku ini memperkenalkan istilah HAM-Indonesia yang lebih 
mendasar substansinya daripada sekedar HAM-PBB. Yaitu hak merdeka, hak bersatu, 
hak berdaulat dan hak berpancasila. Hal tersebut berada di alinea 2 Pembukaan 
UUD, dengan maksud sebagai upaya “membebaskan bangsa dari sikap mental 
keterjajahan yang akut”. Keempat hak tersebut diabaikan dalam penanganan 
lumpur, terlihat dari nasib pengungsi di Pasar Baru Porong” yang berusaha 
mempertahankan keempat hak tersebut justru teraniaya lantaran cuma 7% dari 
keseluruhan korban. Mereka adalah korban yang menolak uang kontrak rumah (@Rp 
5,5 juta), karena takut tidak guyub lagi apabila tinggal di rumah-rumah 
kontrakan yang tersebar. Sudah 18 bulan mereka, senasib sepenanggungan 
menghadapi penderitaan plus intimidasi.  
6. Proses Kebijakan II, sebegitu ledakan terjadi dan menyemburkan lumpur panas, 
Tim Investigasi segera dibentuk Pemerintah, yang dilanjutkan dengan Keppres 
13/2006. Ini menunjukkan betapa Pemerintah menjadi pemilik masalah, dan sigap 
bertindak. Namun kemudian merubahnya dengan Perpres 14/2007, seolah membuang 
masalah. BPLS hanya ditugasi penanganan lumpur, masalah sosial-korban dan 
pemindahan infrastruktur. Masalah di dalam bumi diambangkan, soal sosial 
dibatasi hanya untuk mengurus jual-beli lahan. Peluang berkembangnya 
kepentingan liar menjadi marak. Tiada cendikiawan di sini, apalagi negarawan. 
7. Akumulasi akibat adalah kerugian-kerugian dilihat dari Pembukaan UUD. 
Kerugian “price-system” hanya di bawah 50 trilyun rupiah (Bappenas dan BPK), 
tetapi dari sisi “value-system” sangat luar biasa. Kerugian value kalau 
dirupiahkan, besarnya akan tergantung pada bangsa ini menghargai “nilai luhur 
bangsa” yang wajib dihormati dan menjadi pedoman manajemen nasional. 
8. Diagram. Pendekatan buku ini berangkat dari teori “Dasar Etika” dan teori 
politik Valuational dari Thomas P.Jenkin tentang tujuan negara, bahwa 
pembentukan suatu negara mempunyai nilai tertentu sebagai tujuan. Dan 
kompleksnya permasalahan dituntut untuk mengedepankan comprehensiveness. Untuk 
memudahkan pembaca, di sini disajikan lima diagram menyederhanakan 
comprehensiveness tersebut :
a. Visualisasi Semburan Lumpur dalam konteks Negara Hukum NKRI (terlampir) ;
b. Alur Berpikir Cendikiawan, sebuah saran ;
c. Interaksi Antar Komponen Masyarakat, yang Tidak Terstruktur ;
d. Matriks Kerugian (price-system, value-system ; price and value system) 
terhadap tujuh keluarga besar korban. 
e. “Roch-(nya) Bangsa Indonesia” (dari alinea 1, 2 dan 3 Pembukaan UUD) ;
Robama, 11 Mei 2008.



      

Reply via email to