(Memperingati 40 Hari Wafat Sang Burung Merak)

Rendra dan Kita
Oleh: Yudhistira ANM Massardi
Aku mendengar suara/ jerit hewan yang terluka.//Ada orang memanah rembulan/ Ada 
anak burung terjatuh dari sarangnya.//Orang-orang harus dibangunkan./ Kesaksian 
harus diberikan.//Agar kehidupan bisa terjaga.
                                                                      -- (Kredo 
pamplet Rendra, 1974)
KATA-kata, memang, terasa tak cukup mampu melukiskan kebesaran seorang Rendra. 
Tetapi, ada beberapa hal yang tetap harus dikatakan, kesaksian harus diberikan, 
agar bangsa kita bisa ”cinta belajar dan belajar cinta, ikhlas belajar dan 
belajar ikhlas, banyak belajar dan belajar banyak.” Sebab, itulah yang akan 
membawa kita menjadi bangsa yang pandai bersyukur. Agar kehidupan bisa terjaga. 
 Setelah itu, barulah kita bisa belajar untuk menjadi bangsa yang besar.
Yang pertama kali harus dikatakan dengan tegas: bahwa Rendra adalah seniman 
Indonesia modern yang terbesar dan terpenting. Karena, ia memiliki seluruh 
elemen yang diperlukan untuk itu: karya dan kharisma, keberanian dan 
konsistensi, cinta dan pesona, kreatifitas dan kontroversi, orisinalitas dan 
popularitas. Karya-karyanya -- puisi, drama, esei dan orasi budayanya –- terasa 
orisinal, dalam, indah, ”merangsang” dan monumental. Adapun kritik-kritik dan 
gugatannya – ke berbagai arah, baik terhadap kehidupan seni, budaya, dan 
politik pemerintahan – termasuk  yang dipekikkannya di jalanan, tidak hanya 
memberi warna, melainkan juga turut  menentukan jalannya sejarah bangsa ini.
Rendra tidak hanya  mampu membuat dan menunjukkan betapa sastra dan drama 
memiliki tenaga dan pengaruh yang demikian kuat, tidak hanya pada kehidupan 
sosial, melainkan juga terhadap jalannya kekuasaan.  Dengan pilihan kata, 
irama, aksentuasi vokal dan gerak seluruh anggota tubuh dan mimiknya, Rendra 
telah berhasil memberikan pukau yang menimbulkan pencerahan, memberikan 
inspirasi, menggerakkan spirit ke arah perubahan yang lebih baik dan lebih 
adil, membangun harapan, sekaligus menggetarkan otot kekuasaan Orde Baru yang 
menindas. 
Harus juga dikatakan, adalah Rendra – dengan pembacaan puisinya yang memukau di 
mana-mana – yang telah membuat seluruh elemen bangsa, termasuk para penguasa 
dan pengusaha yang selalu menjadi sasaran kritiknya, gemar pula berpuisi.
Secara hiperbolis, saya berandai-andai dan bertanya: Jika Rendra tak pernah 
hadir di tengah-tengah kita, apa yang akan terjadi dan tidak akan terjadi pada 
bangsa ini? Secara lebih khusus, apa yang akan terjadi dan tidak akan terjadi 
pada dunia puisi dan teater Indonesia? Bahkan, apa yang akan terjadi dan tidak 
akan terjadi pada dunia politik di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto? 
Bagaimana pula dengan kehidupan kesenian di Taman Ismail Marzuki, di 
kampus-kampus, dan juga – meski agak sedikit andilnya -- di dunia film dan 
musik?
Lebih dari itu, apa pula yang akan terjadi pada wajah pemberitaan di media 
massa cetak dan elektronik, mengingat apa pun yang dilakukan Rendra sejak awal 
1970-an – mulai dari teater mini kata, perkemahan kaum urakan, poligami, pindah 
agama, sajak-sajak eksperimental hingga pamflet-pamlet dan 
repertoar-repertoarnya yang sangat kreatif, inovatif, dan provokatif -- begitu 
”layak berita” dan ”layak siar”? 
Bahkan, dalam ungkapan yang lebih ekstrem, tanpa kehadiran Rendra: kekuasaan 
rezim Orde Baru mungkin tidak akan (tampak) sedemikian absolut dan sekaligus 
sedemikian keroposnya. Dan Reformasi mungkin tidak akan pernah terjadi!
Tetapi, seberapa besarkah penghormatan yang diberikan oleh seluruh elemen 
bangsa dan pemerintah kepada sang Rendra yang telah mempersembahkan hidupnya 
bagi kebangkitan akal-budi, daya cipta, daya hidup, daulat rakyat/demokrasi, 
dan hak-hak asasi manusia? 
Jika Emha Ainun Nadjib sempat bertanya-tanya, apakah akan ada juga siaran 
langsung dan tayangan berhari-hari atas kematian Rendra seperti yang telah 
diberikan semua media massa kepada Mbah Surip – yang dimakamkan bersebelahan, 
di halaman rumah Rendra? Saya pun bertanya, kenapa Presiden SBY tak memberikan 
konferensi pers khusus untuk mengantar kepergian seorang Rendra, sebagaimana 
yang dilakukannya untuk Mbah Surip? Apakah beliau lebih ”mengenal” Mbah Surip 
ketimbang Rendra?
Memang, ke tengah kerumunan para pelayat di kediaman Rendra di pelosok Depok 
yang jalannya penuh lubang menganga itu, hadir beberapa menteri termasuk (calon 
wapres) Boediono. Jika kehadiran mereka itu harus diartikan sebagai ”wakil 
pemerintah,” itu patut dihargai. Namun, menyaksikan langsung situasi pelayatan 
yang padat-panas-sesak itu di rumah duka – termasuk di masjid tempat jenazah 
almarhum disolatkan yang tak mampu menampung para jemaah Jumatan yang mendadak 
membludak sampai ada yang tak bisa rukuk apalagi sujud-- saya merasa prihatin. 
Sambil teringat momen serupa yang diberikan kepada Michael Jackson di Amerika, 
saya jadi bertanya-tanya: Mengapa negara tidak peka dan tidak secara 
antisipatif segera mendekati pihak keluarga dan ”mengambilalih” acara 
persemayaman jenazah Rendra, agar tidak hanya negara, tetapi juga seluruh 
lapisan masyarakat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Rendra, 
mendapat kesempatan dan keleluasaan? Rendra dan keluarganya barangkali tidak 
mengharapkan hal itu. Tetapi, Rendra, sejak dulu, sudah bukan milik hanya 
keluarganya saja, melainkan sudah menjadi milik dan aset bangsa yang tak 
ternilai harganya. Sehingga, amatlah layak jika bangsa dan negara memberikan 
”penghormatan yang layak” kepadanya. Sebagai teman dan penganggumnya, kemarin 
itu saya merasa bahwa sungguh tidak patut bangsa ini membiarkan momen yang tak 
akan berulang itu dengan cara seperti itu, untuk seorang Rendra! 
Bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang besar, apabila tidak bisa memberikan 
penghormatan yang layak bagi salah seorang putra terbaiknya?
Tetapi, harus juga dikatakan, kita belum terlambat untuk ”cinta belajar dan 
belajar cinta” kepada tokoh-tokoh besar kita di masa lalu maupun yang akan 
datang. Cinta kepada mereka hendaknya ditegakkan dan diabadikan, agar seluruh 
anak bangsa bisa menjadikannya sebagai cermin atau barometer: sejauh mana anak 
bangsa ini mampu mencapai tingkat keunggulan kualitas kemanusiaannya. Hanya 
dengan itu kita akan mampu meningkatkan nilai baiknya, dan meninggalkan nilai 
buruknya. Tanpa penanda semacam itu, kita akan selalu menjadi bangsa yang lupa 
dan alpa, dan harus terus memulai dari nol lagi dan nol lagi, sehingga proses 
estafet menuju ”pemecahan rekor baru” tidak akan pernah terjadi.
Hal terakhir yang ingin saya katakan adalah: alangkah indahnya jika pemerintah 
atau para pengusaha swasta atau para baron media, atau para warga negara, 
segera menghimpun sebuah ”dana abadi” untuk digunakan sebagai modal bagi 
pemberian  penghargaan tertinggi untuk pencapaian ekselen di bidang 
kemanusiaan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan – dengan nominal hadiah paling 
besar dan penyelenggaraan paling prestisius – dan memberinya nama: ”Hadiah 
Rendra.”
Dengan begitu, kita bisa membuktikan bahwa sebagai bangsa kita menghormati 
tidak hanya akal budi dan intelektualitas, melainkan juga mengedepankan 
kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Ukuran mengenai nilai-nilai utama 
dan keunggulan pun menjadi jelas. Akan menjadi terang pula: ke arah mana kita 
musti bercermin. 
Kekasihku// Bunga gugur/ di atas tempatmu terkubur/ gugurlah segala hal ihwal 
antara kita...// Kekasihku// Gugur, ya, gugur/ semua gugur/ hidup, asmara, 
embun di bunga/ yang kita ambil cuma yang berguna (Rendra, Bunga Gugur). []
*Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan, pengelola lembaga pendidikan dasar 
gratis untuk kaum dhuafa di Bekasi.



      

Kirim email ke