Sesudah Rasa Sakit dan Tangis Itu…

Oleh: Yudhistira ANM Massardi


Sebagai bangsa yang religius dan lemah-lembut, menghadapi bencana yang 
susul-menyusul akhir-akhir ini, sebagian besar dari kita terus merunduk dalam 
tangis dan doa. Sebagai manusia, kita sungguh-sungguh menyadari 
ketidakberdayaan kita di hadapan kuasa alam dan kuasa Tuhan Sang Maha Pencipta. 
Kita pun memohon agar Tuhan memenuhi janjiNya bahwa hanya akan memberikan ujian 
sesuai dengan kemampuan umat menanggungnya. Juga meminta petunjuk ke arah 
kemudahan yang disediakan dalam setiap kesulitan yang terjadi atas izinNya.

Kesakitan Luarbiasa
Sebagai sebuah bangsa, kita juga sudah lama merasakan kesakitan luar biasa, 
sejak menjadi bangsa terjajah ratusan tahun silam. Rasa sakit itu masih terus 
dialami oleh mayoritas bangsa ini, meskipun secara politik sudah merdeka. Dan 
rasa sakit itu masih terus ada meskipun rakyat sudah rela sekaligus terpaksa 
mau memberikan mandat kuasa kepada beberapa ratus orang yang berjanji akan 
mewakili aspirasi dan memperjuangkan segenap kepentingannya.

Hingga hari-hari ini, sebagai sebuah nasion, kita masih terus merasa sakit dan 
menangis… Padahal, kita merasa sudah berusaha, dengan segala kemampuan, untuk 
mengubah nasib sendiri. Tetapi, ternyata belum berhasil juga.

Jadi, apa yang salah? Melalui studi yang panjang dan di bermacam bidang 
kehidupan, kita sesungguhnya sudah menemukan banyak kesalahan. Lalu, apakah 
kita sudah belajar dari kesalahan-kesalahan itu? Bangsa yang besar dalam 
jumlah, kaya dengan sumber daya alam, manusia, dan budaya ini, ternyata telah 
melakukan kesalahan paling besar, yakni: tidak pernah mau belajar dari 
kesalahan.

Kearifan Lokal
Hal yang jauh lebih menyedihkan adalah, bahkan kita pun tidak mau belajar dari 
“kebenaran”! Baik itu kebenaran yang disampaikan oleh kitab-kitab suci agama, 
ilmu pengetahuan, maupun kebenaran yang sudah ditunjukkan oleh para nenek 
moyang dalam kearifan-kearifan lokal di seluruh pelosok negeri.

Sebagai contoh, coba perhatikan sejumlah hal yang berlangsung dalam kehidupan 
di sekitar kita. Atas nama kemajuan zaman, pembangunan, atau modernisme, kita 
telah beramai-ramai meninggalkan konsep arsitektur rumah panggung di Jawa 
Barat, rumah gadang di Sumatera Barat, juga arsitektur rumah-rumah tradisional  
Dayak, Batak, Bugis, Jawa, Bali dan sebagainya. Padahal, terbukti, 
bangunan-bangunan mereka – dengan dinding bilik atau papan, dengan atap sirap, 
rumbia atau ijuk – yang ringan, kaya ventilasi udara, tahan terhadap gempa, dan 
bisa mengakomodasi banjir. Kita telah tergoda untuk bermegah-megah dengan semen 
dan beton, dan bermanja dengan AC yang freonnya melubangi ozon.

Kita pun sudah meninggalkan sungai-sungai sebagai sarana transportasi, sehingga 
sungai-sungai terlantar dan tercemar, dan seiring dengan keserakahan tanpa 
batas dalam pembabatan hutan, mengakibatkan bencana banjir dan longsor di 
mana-mana. Padahal -- seakan mengikuti model pembangunan Kerajaan Majapahit di 
Trowulan -- pada abad ke-17, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten pun memberikan 
contoh spektakuler ketika ia membangun jaringan sungai multifungsi: sebagai 
sarana transportasi, irigasi, sekaligus sebagai benteng pertahanan. Kini kita 
justeru terjebak oleh jalan raya darat yang menelan lahan produktif dan 
menutupnya dengan aspal dan semen, dan tercengkeram oleh industri mobil yang 
menghabiskan energi dan mengotori udara dengan karbon monoksida yang mematikan, 
dan kita para pengendaranya menyia-nyiakan sebagian dari hidup yang singkat ini 
dalam kemacetan luarbiasa.

Kita pun sudah membenamkan kehidupan anak-anak kita ke dalam kubangan penyakit 
sosial yang memerosotkan kualitas kemanusiaan. Lapangan-lapangan bermain di 
kota-kota dan desa-desa telah dirampas oleh kepentingan lain, sehingga 
anak-anak tercerabut dari aneka permainan tradisional yang justeru menurut 
penelitian psikologi pendidikan modern,  sangat penting sebagai sarana 
pembangun kecerdasan jamak. Dan kini anak-anak kita menjadi “makhluk kamar” 
yang terbelenggu oleh televisi, video games dan komputer: menjadi makhluk 
asosial dengan akumulasi energi yang destruktif terhadap diri sendiri maupun 
lingkungannya. Lapangan bermain mereka pindah ke mal-mal, dan di sana mereka 
menjadi pemuja konsumerisme dan hedonisme yang memicu aneka penyakit, sekaligus 
memperlebar jurang pemisah mereka dengan mayoritas kaum miskin di luarnya.  

Dalam hal yang lebih “sepele,” kita pun sudah meninggalkan penggunaan daun 
pisang, daun jati, daun waru, dan daun kelapa sebagai alat pembungkus – yang 
ikut memberi rasa dan citarasa pada penganan tradisional -- dan menggantinya 
dengan kertas dan plastik yang kini menjadi sumber bencana bagi lingkungan 
hidup kita. Dan masih banyak lagi.

Paradigma Filosofis-Eksistensial
Lebih dari itu, tampaknya kita harus segera mereformulasi atau mengubah 
paradigma filosofis-eksistensial kita sebagai sebuah bangsa. Kita harus 
berhenti bermimpi atau berilusi bahwa kita hidup di sebuah negara yang 
gemah-ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Sebab, sebagaimana sudah 
terbukti berulangkali, dari Sabang sampai Merauke, kita senyatanya hidup di 
tanah genting yang rawan bencana. Kita hidup di kaki gunung-gunung berapi yang 
aktif dan setiap saat bisa meletus. Kita hidup di tengah-tengah laut yang 
setiap saat bisa mengirimkan topan dan tsunami. Alih-alih mengantisipasi 
“kiamat 2012,” untuk mengatasi banjir langganan saja, pemerintah di Jakarta 
tidak kunjung mampu melakukannya.

Kita harus segera, bersama-sama, secara budaya – artinya secara 
sosial-politik-ekonomi-militer— mengubah paradigma eksistensial kita bahwa kita 
sesungguhnya hidup di “Tanah Genting.” Dengan begitu, maka parlemen dan 
pemerintahan yang baru harus segera melakukan reorientasi pembangunan bangsa 
ini. Menjadikan bangsa kita sebagai nasion yang sadar-siap-tanggap-bencana. 
Seperti bangsa Jepang yang siap-tanggap gempa setiap hari. Untuk itu, lini 
terdepan yang harus langsung bergerak adalah Departemen Pendidikan Nasional.

Dengan begitu, kita bisa berharap bahwa isak tangis dan rasa sakit yang 
diderita mayoritas bangsa ini selama ini, akhirnya bermuara juga pada 
pencerahan dan harapan. Sehingga, kita bisa lahir sebagai sebuah bangsa baru. 
Bangsa yang tidak lagi selalu tersungkur di bawah keniscayaan alam sambil 
sekaligus terus disakiti oleh para pengelola pemerintahannya yang bebal dan 
telengas.[]

* Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan dan pengelola lembaga pendidikan 
dasar beasiswa insan kamil di Bekasi.  
       

     



      

Kirim email ke