TEATER DINASTI mempersembahkan:
Pentas Kebahagiaan Keluarga Teater Dinasti 'TIKUNGAN IBLIS"

Pada Hari Sabtu, 23 Agustus 2008, Pukul 20.00 WIB 
Di Gedung Conser Hall - Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta

HTM:
Rp. 25.000,- untuk FESTIVAL (lesehan)
Rp. 50.000,- untuk VIP (kursi)

TIKET BOX:
PROGRESS – 0274-618810
TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA - 085228014565
KANTOR PROMOSI KR –0274-895257

PARA PEMAIN:
Tertib Fadjar Suharno, Bambang Susiawan, Joko Kamto, Novi Budianto, 
Seteng, Untung Basuki, Cithut Puspawilaga, Eko Winardi, Jemek 
Supardi, Toro, Islamiyanto, Novia Kolopaking,  

PARA PEMUSIK:
Joko, Jijit, Godor Widodo, Yoyok, Bayu, Sugiyanto, Hari Murti, Joko 
Kusnun, Mas Is, Bobiet, Novi

TIM SUTRADARA:
Fajar Suharno, Jujuk Prabowo

TIM PRODUKSI :
Pimpinan Produksi : Ahmad Syakurun Muzakki Manajer Produksi: Eko 
Nuryono Bendahara : Muh Zaenuri Seksi Publikasi : Helmi Mustofa, M. 
Sholahuddin Seksi Transportasi : Agus Santoso  Seksi Perlengkapan : 
Godor Widodo Seksi Keamanan : Rahmat Mulyono Seksi Latihan : Jujuk 
Prabowo

TEATER DINASTI (singkatan dari dana informasi nasional teruna 
Indonesia) berdiri tahun 1977. para 'bidan' teater ini adalah: Fajar 
Suharno, Tertib Suratmo dan Gadjah Abiyoso (ketiganya eks Bengkel 
Teater Rendra). Banyak teaterawan yang bergabung dalam teater ini, 
antara lain pelaku teater dari Teater Dipo, kampung Dipowinatan 
Yogyakarta. Tercatat nama-nama seperti Novi Budianto, Joko Kamto, 
Godor Widodo, Jemek Supardi, Cuthut Puspowilogo, Neneng Suryaningsih, 
Jujuk Prabowo, Tuti Bodis dan linnya. Dalam perkembangannya bergabung 
pula Simon Hate, Arifin Brandan, Joko Kusnun, Bambang Susiawan, Agus 
Istianto, Bambang Isti Nugroho, Angger Jati Wijaya, Iwung, Tarech 
Rasyid, Butet Kartaradjasa, Rullyani, Cecilia Haryanti, Sabrang Mowo 
Damar Panuluh (kini dikenal sebagai Noe-Letto dan lainnya).
Teater Dinasti memiliki peran sangat penting dalam konteks 
pertumbuhan dunia teater di Yogyakarta. Teater yang lahir pada tahun 
1977 ini memiliki beberapa karakter khas dan unik. Pertama, kelompok 
ini lebih memilih teater sebagai medium daripada teater an sich. Pada 
tahun 1970-an, Emha mengintrodusir dua istilah itu: teater medium 
merupakan aktivitas budaya yang meletakkan teater sebagai media 
pengolahan kepribadian manuisa; sedangkan teater an sich adalah 
aktivitas teater yang lebih berorientasi kepada estetisme dan masalah 
teknis.

TIKUNGAN IBLIS mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal 
penciptaan Adam hingga masa di mana manusia telah berkembang biak 
dan  membangun peradaban. Iblis –yang sejak awal manusia diciptakan 
sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi– 
akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya 
berkisar dari tiga kata kunci yaitu rakus, merusak bumi dan saling 
berbunuh-bunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar 
wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari 
insting daripada hati nurani dan akal sehat. Mereka "selalu gagal" 
untuk menjadi semacam insan kamil, karena ketidakmampuannya memilih 
hal-hal yang bernilai dalam kehidupan.
Kekurang mampuan untuk mngangkat dari kondisinya sebagai makhluk 
tapel itu juga yang membuat sebuah bangsa selalu mengalami 
kemerosotan martabat. Padahal, bangsa itu semua adlah memiliki gen 
unggul sebagai "Burung garuda" sejati yang memiliki kemampuan untuk 
terbang, menerkam dan berjuang. Namun, kaarena Garuda itu kemudian 
dikurung oleh kekuatan yang menindas, maka burung itu tidak lagi 
memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu 
dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau 
menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan 
menerkam. Mereka hanya bisa nothol (mematuk makanan) dan tidur. 
Mereka akhirnya benar-benar menjadi Garuda kelas tapel. Bukan lagi 
Garuda sejati.

Confirmasi Tiket Godor Widodo 085643189218

Kirim email ke