JURNAL SAIRARA:
   
   
   
  HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI
   
  -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuncak di 
Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008.
   
   
  1.
   
   
  Siang. Tanggal  09 April 2008,  telpon tetap di meja tulisku  berdering. Dari 
ujung yang jauh, Soejoso, penanggungjawab pertama Koperasi Restoran Indonesia 
di Paris memberitahukan bahwa Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak, yang 
sedang berada di Paris atas undangan Lembaga Persahabatan Perancis Indonesia 
"Pasar Malam " pada 10 April, berharap untuk bisa mempunyai kesempatan bertemu 
dengan teman-teman "klayaban" serta teman-teman lain di sekitar Koperasi 
Restoran Indonesia. Merasa permintaan bertemu dari dua penulis terkemuka 
Indonesia begini sebagai suatu penghormatan, dan kecuali  itu Goenawan Mohamad, 
memang syohib lama,  tapi sangat jarang berjumpa,  maka  kepada Soejoso 
langsung kujawab: 
   
   
  "Baiklah, Bung, saya pasti datang".  
   
   
  Agar bisa berjumpa lebih awal,  maka aku pun menyempatkan diri untuk datang 
pada tanggal 09 April di acara yang diselenggarakan oleh "Pasar Malam" khusus 
untuk Goenawan dan Laksmi. Acara sastra Indonesia begini akan digalakkan lagi 
oleh "Pasar Malam" tahun ini. Pada November 2008, Lembaga Persahabatan 
Perancis-Indonesia ini akan mengundang Sitor Situmorang, Richard O dan Laksmi 
Pamuncak untuk berbicara. Kepada Johanna Lederer selaku Ketua Lembaga 
Persahabatan kukatakan bagaimana agar ia mulai memperhatikan sastrawan-seniman 
dari pulau-pulau lain dan dari daerah. Johanna agaknya memperhatikan saran ini.
   
   
  Yang aku tuturkan di sini terutama pertemuan dengan kedua sastrawan Indonesia 
itu di Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Karena, agaknya perbincangan 
santai , bebas antar teman sambil menikmati hidangan makan malam di sini, jauh 
lebih intens dibandingkan dengan pembicaraan di depan publik. Tema pembicaraan 
bisa meloncat dari soal ke soal lain sebebas tupai di pepohonan hutan. Kadang 
disertai dengan lelucon yang melahirkan tawa. Goenawan memang suka bercanda. 
Sense of humor-nya cukup tinggi. 
   
   
  Yang menarik, ia tahu benar fungsi  humor dan menggunakan humor itu untuk 
tujuan-tujuan politik. Apakah, humor begini yang disebut humor bermutu? Orang 
tertawa mendengarnya tapi sambil tertawa orang diajak berpikir dan merenung 
pesan humor itu. Humor bermutu dan berkomitmen beginilah yang pernah Goenawan 
dan teman-temannya gunakan dalam melawan Orde Baru dan militerisme. Jika 
dilihat dari segi ilmu militer, barangkali humor berkomitmen ini semacam perang 
 gerilya yang menggunakan taktik "hit and run" dalam dunia pemikiran dan 
politik. Ia bisa menyerang lawannya, kapan dan di mana saja ia mau, sedangkan 
yang diserang tak gampang menyerang balik. Dengan cara ini, citra dan kekuatan 
lawan digerogoti.   
   
   
  Analogi humor berpihak dan perang gerilya ini muncul di benakku karena pada 
salah satu tema yang diangkat  oleh Goenawan adalah bagaimana melawan dan 
menghancurkan militerisme dalam keadaan seperti pertarungan antara David dan 
Goliath. Militerisme dan rezim militer, dengan pendekatan "keamanan dan 
stabilitas nasional" selama tiga dasawarsa lebih telah menabur epidemi 
ketakutan di negeri kita. Pada saat imbangan kekuatan tidak padan, maka 
konfrontrasi frontal hanya akan membawa korban yang tidak perlu pada saat 
korban demikian bisa dihindarkan. Cara inilah yang oleh Mao Zedong dikatakan 
sebagai "berani dan pandai berjuang, berani dan pandai menang". Menjadi 
pemenang bukanlah ghal gampang. Seusai perang melawan agresi Amerika Serikat, 
seorang Jendral Viêt Nam pernah mengatakan padaku: "Bagiku bertempur di medan 
perang, jauh lebih gampang daripada mengkonsolidasi kemenangan. Dalam 
kemenangan kita gampang tergelincir dan jatuh".  
   
   
  Humor berpihak selain ditujukan menggerogoti dan  menjatuhkan citra lawan 
[baca: militerisme dan otoritarisme] juga berusaha mendorong orang tertawa, 
merenung lalu bertanya: Mengapa saya harus takut". Ketakutan menjadikan kita 
sebagai ikan yang digiring ke bubu kesalahan demi kesalahan. Membuat kita 
hilang prakarsa.  Tidak banyak tokoh berbagai bidang di negeri kita yang 
menggunakan humor berpihak begini sebagai sarana pencerahan dan sarana  
politik.  Dari jumlah yang tidak banyak ini, Gus Dur dan Goenawan termasuk di 
antaranya.
   
   
  Bincang-bincang santai berlanjut di bawah suhu musim bunga Paris yang makin 
terasa sehingga yang hadir tidak merasa terganggu oleh dingin atau panasnya tak 
wajar alat penghangat ruangan. Semua nampak gembira dan antusias, sementara 
pelayanan tamu yang makan malam berlangsung terus di ruangan lain. Pelanggan 
Koperasi Restoran ini sudah biasa melihat suasana begini berlangsung sehingga 
mereka merasa seperti sedang bertandang ke rumah teman.
   
   
  Kedatangan Goenawan ke Koperasi kami kali ini,  bukanlah kedatangan yang 
pertama kali. Ia sudah mengunjungi kami  beberapa kali seperti halnya dengan 
Rendra , Sitor Situmorang, Arifin C. Noer alm., dan lain-lain....  
   
   
  Pada kesempatan terdahulu, secara pribadi, kepada  Mas Goen pernah kuucapkan 
penghargaan atas apa yang sudah lakukan pada teman-temanku yang berada dalam 
keadaan sangat sulit karena sebab politik.  Sampai sekarang, penghargaan itu 
masih saja ingin kugarisbawahi walau pun mungkin tak ada artinya bagi Mas Goen 
dari seseorang kroco seperti aku. Tapi aku tetap merasa perlu mengucapkannya, 
apalagi karena kami pernah berada di dua kubu yang berbeda. Mas Goen , demikian 
aku biasa memanggilnya, berada di kubu Manifes Kebudayaan dan aku di kubu 
Lekra. Saban memandang ke masa silam yang berdarah-darah itu, aku sering 
tersenyum pahit bercampur geli. Aku tidak tahu, apakah Mas Goen mengerti arti 
senyumku jika ia tahu  aku tersenyum. Perasaan dan pikiranku tentang soal ini, 
pernah disiarkan oleh syohibku Andi Makmur Makka dari The Habibie Center 
Jakarta dalam penerbitan mereka HAM Dan Demokrasi. 
   
   
  Andi, demikian ia biasa kupanggil, adalah seorang yang serius dalam 
menggalang rekonsiliasi nasional dan mencoba membaca ulang lembaran-lembaran 
masa silam sejarah bangsa dan negeri kita guna menapak menyongsong esok serta 
membangunnya jadi esok manusiawi.  Agaknya membaca ulang masa silam bisa 
membantu seorang pencari menjadi dewasa sekali pun wajahnya penuh-parit luka. 
Tapi apakah yang bisa dibaca apabila lembaran-lembaran itu jika mereka disobek 
lalu  ditempeli dengan halaman kosong atau yang lain? Kita pun, aku pun, sekali 
pun, di usia senja, bisa juga tetap menjadi lembaran kosong hampa nilai yang 
oleh orang Dayak dilambangkan pada legenda Pang Palui dengan "batu kahumung" 
[batu kebodohan] mengisi otaknya. Kekosongan adalah keadaan yang lebih 
berbahaya daripada krisis dan kemelut, ujar sosiolog terkemuka Perancis, Alain 
Touraine.
   
   
  Secara tidak langsung pada pertemuan malam musim bunga di Koperasi Restoran 
Indonesia Paris, Mas Goen dan Laksmi sesungguhnya juga berbicara tentang 
sejarah bangsa dan negeri, nasib bangsa dan negeri bersama ini.  Membaca ulang 
beberapa halaman masa silamnya. ****
   
   
  Paris, April 2008
  ----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Bersambung....]

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel

Kirim email ke