Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [1]
   
   
   
  Menjelang pergi ke Indonesia akhir tahun 2007  lalu,  saat membongkar 
berkas-berkas lama, tiba-tiba aku mendapatkan sebundel berkas diketik di atas 
kertas warna merang. Kertas-kertasnya pun sudah sangat gampang sobek jika kita 
membukanya tidak dengan hati-hati. Aku sendiri sudah lupa,  dari mana aku 
mendapatkan kumpulan puisi dan renungan ini. Satu-satunya yang masih kuingat 
bahwa pada masa "kuat-kuat"nya Orde Baru Soeharto, aku memang banyak sekali 
mendapat kiriman naskah-naskah yang ditulis dari pulau pembuangan dan penjara 
di Indonesia . Termasuk naskah ini. Sebagian kecil dari naskah-naskah itu sudah 
kusiarkan bersama teman-teman dalam bentuk sangat sederhana. Sebagian terbesar 
, aku jadi sangat menyesal sendiri, tidak terawat dan entah di mana sekarang. 
Sebagian kecil yang sudah kami siarkan adalah  tulisan Hersri Setiawan ,"Di 
Sela-sela Intaian" dan  "Pledoi Kolonel Latief" [sekarang sudah diterbitkan di 
Indonesia]. 
   
   
  Karya-karya yang ditulis langsung dari pulau pembuangan dan penjara, selain 
merupakan saksi sejarah yang hidup, kukira karya-karya demikian   
memperlihatkan pergulatan seorang anak manusia menarung maut dan menolak kalah. 
Setia pada martabat kemanusiaan dan mimpinya. Bahwa menjadi manusia bermartabat 
dan berharga diri bukanlah sesuatu yang sederhana. Mimpi dan cinta itu pun 
seharga kepala. Menagih kesanggupan memilih.
   
   
  Dengan penilaian begini, maka aku merasa sangat gembira  telah mendapatkan 
kembali kumpulan tulisan berjudul "Catatan Kemarau" [CK] dan "Mencari Dalam 
Sepi" [MDS], karya Bachtiar Siagian, salah seorang pekerja filem terkemuka dari 
Lembaga Filem Indonesia Lekra. Dari tangannya  antara lain telah lahir filem 
"Turang", drama "Batu Merah Lembah Merapi"... 
   
   
  CK dan MDS menghimpun karya-karya Bachtiar Siagian antara tahun 1967 hingga 
tahun 1975 bertandakan  Salemba dan Nusakambangan [NK].
   
   
  Melalui "Kronik dan Dokumentasi Wida" ini, aku akan siarkan karya-karya 
Bachtiar Siagian tersebut, sebagai penghormatanku kepada beliau, sekaligus 
sebagai bentuk usahaku mencari keluarganya dan menyerahkan karya-karya Bachtiar 
Siagian ini kepada mereka yang berhak memilikinya. Sampai aku menggoreskan 
kalimat-kalimat ini, aku masih kehilangan jejak Bachtiar. Aku sama sekali tidak 
tahu, beliau di mana. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Kalau meninggal di 
mana makamnya? Aku tidak ingin karya-karya ini hilang seperti halnya dengan 
banyak karya  orang lain,  ketika berada di tanganku -- seorang penghuni 
"kemah" perjalanan. Mencegah hal buruk begini, maka paling tidak memasukkannya 
ke dalam dokumentasi, maka tulisan-tulisan Bachtiar Siagian yang ia gores di 
saat menarung ajal memenangi hidup, sedikit demi sedikit akan kusiarkan 
selengkapnya.
   
   
  Bisakah penyiaran karya-karya ini dipandang sebagai salah satu bentuk 
tanggungjawab, saling hormat dan solidaritas bersastra? Entahlah. Yang 
kukehendaki agar kita bisa bebas  dari subyektivisme,  seperti yang dikatakan 
oleh Chairil Anwar dalam puisinya "Catetan TH. 46" : "keduanya harus dicatet, 
keduanya dapat  tempat".
   
   
  Adanya karya-karya seperti karya Bachtiar ini, karya yang tidak mendapat 
peluang terbit pada masa Orde Baru, barangkali menunjukkan bahwa pada periode 
itu selain ada sastra yang muncul, ada pula sastra yang tidak muncul. 
"Underground literary" jika boleh meminjam istilah Supriadi Tomodihardjo dari 
Köln, Jerman. 
   
   
  Berikut adalah karya-karya Bachtiar Siagian yang kumaksudkan itu:
   
   
  [Tanpa judul]
   
   
  Sekelumitpun Kasih
  menyala di dada
  Ia mampu 
  menantang derita
   
  Salemba 1967
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa di Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   
   
  [Berlanjut....]

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel

Kirim email ke