Renungan Sairara:
   
   
  TENTANG PUISI
   
   
  Suatu hari seorang teman menanyaiku: "Mengapa sejak akhir tahun lalu kau lama 
tak menulis puisi?". Seperti biasa, ia segera kuingatkan bahwa pada dasarnya 
aku hanyalah pencinta sastra-seni. Dan terkadang aku menggunakan puisi untuk 
mengungkapkan diri. Sebagaimana dikatakan Rendra kepadaku saat aku berkunjung 
menggunakan sepeda bututku, dan waktu itu ia tinggal dalam keadaan sangat 
kekurangan di Gampingan, Yogyakarta, bersama Mbak Soenarti Soewandi: 
"Mengungkapkan diri merupakan keperluan dasar bagi anak manusia". Pembungkaman 
hak dasar ini sangat kurasakan sakitnya ketika berada di Palangka Raya yang 
notabene adalah kampung kelahiranku. Waktu itu aku dilarang berbicara di depan 
publik, dilarang menulis, dilarang memberi makalah. Hanya boleh bicara di depan 
mahasiswa di universitas di mana aku mengajar. 
   
   
  Mendengar keadaanku demikian, ketika berkunjung ke Palangka Raya,  Mas Willy, 
Mbak Ken Zuraida , istrinya, dan Dorothea Rosa Herliany, dan aku sudah harus 
hingkang meninggalkan kampung, menjadi sangat marah. Tapi penyair hanya 
mempunyai punya kata. Dengan kata ia menghadapi dan menarungi kehidupan. Kata 
ini pun pernah kurasakan telah dibungkam. Kata sering membuat penyair dibunuh. 
Bahkan pada suatu ketika aku membaca "puisi"ku berjudul "Bukit Batu" di mana 
kulukiskan kuasa uang menaklukkan dewa-dewi dan melecehkan pahlawan,  
perwira-perwira polisi dan tentara  yang hadir melayangkan ke arahku sorot mata 
tajam bagai mengancam. Mereka  tak bisa berbuat apa-apa karena Kepala Dinas 
Pariwisata Propinsi yang kebetulan seorang perempuan, berkata : "Aku yang 
memintanya tampil membaca puisi di malam puisi ini.   Ia sesepuh para penulis 
propinsi ini". Dalam hati aku tertawa geli, dan bangga betapa seorang perempuan 
Jawa berani tampil gagah. Aku berikan embel-embel kata "perempuan
 Jawa" karena di Jawa feodal, seorang perempuan tidak lebih dari "konco 
wingking", "bunga hiasan rumah tangga", "ke sorga nunut ke neraka katut". 
Perempuan di masyafrakat Jawa feodal tidak lebih dari  perempuan pada tingkat 
"seks pertama". Beda dengan posisi perempuan Dayak zaman dahoeloe. Oleh 
pernyataan perempuan Jawa yang kebetulan berkuasa ini, di ruangan aku melihat 
berlangsungnya suatu tragedi komik. Dan aku ngakak dalam hati tapi keluar hanya 
berujud senyum terkendali. Pada pernyataan perempuan Jawa ini, aku juga 
menyaksikan kata dan kekuasaan berpadu, aku melihat kata mempunyai daya paksa. 
Senyum pun bisa jadi suatu bahasa, terkadang lebih tajam dari mata damak, anak 
sumpitan. Senyum bisa jadi bahasa puitis. Sedangkan maki-maki, kekasaran dan 
kebrutalan sering menjadi selemah kemarahan tak terkendali. "Maki-maki bukan 
tanda kekuatan, tapi kelemahan" , ujar Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 1930an. 
 Karena itu membuat orang marah dan maki-maki sering dijadikan suatu
 taktik dalam debat dan polemik. Dengan marah dan maki-maki, si pembicara jadi 
kehilangan kendali diri sehingga menelanjangi diri sendiri bulat-bulat.
   
   
  Kemarahan dan dendam sering membuat orang hilang nalar walau pun dendam dan 
kemarahan itu punya dasar alasan kuat apalagi jika dendam dan kemarahan itu 
punya latar belakang berdarah. Tapi pernahkah kemarahan dan dendam 
menyelesaikan masalah? Dalam konteks ini aku melihat Yesus sebagai tokoh 
pejuang dan pemikir besar berprinsip abadi walau pun mati di salib, filsafat 
kasih/cintanya kekal dan menggugah. Pandangan dan konsekwensinya membela 
filsafat cinta tidak terbunuh di salib. Aku sendiri masih tak usai-usai 
mempelajari filsafat cinta pejuang dan pemikir besar manusiawi "anak manusia" 
yang di Tuhankan ini. Tapi yang jelas padaku dunia dan kehidupan kita tidak 
berkelebihan dengan cinta. Aku sering merenung, apakah puisi tidak seniscayanya 
menempuh jalan cinta agung Yesus ini jika kita ingin memfungsikan puisi dan 
sastra bagi kehidupan dan mencintai kehidupan? Cinta/kasih adalah inti suatu 
filsafat atau ide, sedangkan bentuk adalah cara penuangan ide. Berkutat pada 
bentuk
 berindah-indah, barangkali memandang puisi secara pincang. Puisi, barangkali 
adalah paduan rasuk antara isi ide dan cara pengungkapan ide. Rasuk artinya, 
jika kita menggunakan bentuk sastra, maka unsur-unsur dasar sastra perlu 
diperhitungkan. Tanpa menghitung unsur-unsur dasar sastra, cq. puisi maka ada 
bahaya yang ditulis berada di tingkat sastra-sastraan, puisi-puisian. Tidak 
semua yang dikira puisi adalah puisi.  Untuk lepas dari keadaan begini, 
barangkali keselesaian pikiran dan penguasaan tekhnis penulisan menjadi suatu 
tuntutan. 
   
   
  Pertanyaan lain: Apakah semua perkara bisa rasuk dituangkan dalam bentuk 
puisi? Terhadap pertanyaan ini, aku cenderung mengatakan: Tidak! Ada yang cocok 
ditulis dalam bentuk novel, roman dan  esai atau studi. Puisi memerlukan cara 
pengungkapan tersendiri yang berbeda dengan cara penuangan genre sastra yang 
lain. Tanpa mengindahkan faktor ini kita akan berhadapan dengan puisi 
puisi-puisian yang sangat dipaksa-paksa. 
   
   
  Dengan serie tulisan ini, aku mencoba membaca diri sendiri. Melihat wajahku 
di kaca besar yang bisa memperlihatkan diriku utuh penuh. Berapa gigiku yang 
sudah rontoh, bagaimana bopengnya mukaku sehingga aku bisa melukiskan diriku 
relatif tepat. Tapi itulah aku! Aku yang hidup di tengah salib tragedi dan 
absurditas tapi seperti Sisyphus tak mengindahkannya, seperti Yesus tak 
memperdulikan ciuman Yudas, untuk mencoba merampungkan tantangan konsep 
hidup-mati Dayak"anak enggang putera-puteri naga". Cinta barangkali salah satu 
cara menarungi absurditas.
   
   
  Karena tak semua bisa diungkapkan dalam puisi maka aku lama tak menulis puisi 
atau menahan penyiaran puisiku. Penulisan dalam genre apa pun bersifat 
membebaskan diriku, untuk dialog memanusiawikan diri, bukan untuk pengakuan dan 
mengejar nama.  Hal yang juga kudapatkan pada bunyi dan suara di alun irama 
musik betapa jadulnya. Musik klasik sangat jadul bukankah Sai,   tapi ia 
bertutur tentang kerinduan dan mimpi abadi. Jadul, hari ini dan esok tak 
terpisahkan jadinya. 
   
   
  Dengan mencantumkan apa siapa diriku sebagai pekerja biasa Koperasi Restoran 
Indonesia Paris, aku ingin perlihatkan bahwa kerja badan dan otak tak 
seniscayanya dipisahkan. Tak usah melecehkan kerja badan dan bangga hanya 
dengan kerja otak. Masyarakat tak berkembang hanya dengan kerja otak tanpa 
dibarengi kerja badan. Ini puisi kehidupan yang utuh. Memisahkan keduanya akan 
menjurus ke elitisme menara gading menempatkan diri sebagai "anak raja" dan 
"pangeran" jika menggunakan istilah Paul Eluard, penyair Perancis.***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  ------------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.

       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

Reply via email to