Bismillaah 
Untuk lengkapnya, silakan klik link berikut
ini:

http://almanhaj.or.id/content/1534/slash/0/taashub-dan-taklid-pangkal-hizbiyah/
http://almanhaj.or.id/content/786/slash/0/belenggu-belenggu-hizbiyah/
http://almanhaj.or.id/content/836/slash/0/bahaya-hizbiyyah/

Ta'ashub Dan Taklid Pangkal Hizbiyah
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin


Ta'ashub dan taklid merupakan dua penyakit berbahaya yang cukup rumit untuk 
ditangani.
Keduanya merupakan pangkal hizbiyah dan ashabiyah (fanatisme golongan).

Hizbiyah dan ashabiyah akan mudah dilenyapkan apabila ta'ashub dan taklid ini
terkikis habis.

Sebenarnya, menurut nalar orang yang sedikit saja memiliki ilmu agama, keduanya
mudah difahami sebagai penyakit umat yang amat berbahaya, namun menurut waqi'
(kenyataan), ternyata tanpa disadari banyak orang yang termakan oleh penyakit
ini. Tidak hanya orang-orang awam, bahkan orang-orang yang cukup memiliki bekal
sebagai juru dakwah pun kadang-kadang ikut terjebak ke dalamnya. Dua buah
penyakit umat yang cukup mudah dimengerti tetapi sulit dihindari. Teori dengan
prakteknya berbeda, prinsip ilmiah dengan amaliahnya berlainan.

Syaikh Ali bin Hasan al-Atsari memberikan contoh sebagai berikut :
"Kita lihat misalnya, seorang pemuda atau sekelompok pemuda, ketika diajak
dialog oleh seorang Thalib al-'ilmi (pengkaji ilmu) tentang masalah fikriyah
(berkaitan dengan pola fikir) atau masalah dakwah.... Apabila pembicaraannya
ternyata sesuai dengan apa yang menjadi doktrin mereka..., selaras dengan apa
yang mereka pegangi..., dan lawan dialognya bisa menyepakati apa yang menjadi
keyakinan dan kebiasaan mereka, maka lawan dialognya itu akan dianggap sebagai
saudara yang ikhlas, dihormati, dan disayangi sepenuh hati.

Sebaliknya jika perkataan anda menyalahi prinsip pemikiran mereka atau
menyalahi beberapa sisi pendapat mereka..., mereka akan melancarkan
perkataan-perkataan keji dan melepaskan berbagai tuduhan kepada anda melalui
sebuah busur yang menyebabkan satu pleton orang kuat pun takkan berdaya
menghadapinya.

Bahkan anda lihat, dengan tenangnya mereka sebar luaskan (fitnah keji) ini
tanpa kejelasan bukti sama sekali.

Contoh lain yang juga (nyata) ialah:
Bahwa da'i-da'i atau sosok-sosok tertentu lain yang ketokohannya sudah tertanam
dalam benak sebagian orang sebagai panutan, uswah serta suri tauladan yang
dikagumi dan dipercaya kata-katanya, ternyata dalam akal pikiran dan jiwa
orang-orang yang mempunyai semangat serta emosi menggebu itu, sosok-sosok
pribadi tersebut telah menjadi lambang kebenaran dan perkataannya menjadi
dalil.

Ini jelas penyelewengan besar.

Mereka, dengan bahasa lidah atau bahasa fakta, mengatakan: "Kita harus
menghormati da'i-da'i itu..., mereka adalah panutan kita!! Awas jangan
diganggu..., jangan dibantah atau dikritik!!"

Ini tentu sangat mengherankan... adakah di sana seorang manusia yang tak boleh
dikritik atau dibantah selain para nabi......

Kalau saja sebagian mereka sudi mengganti istilah penghormatan mereka (kepada
tokoh idolanya -pen.) dengan istilah pengkultusan, - disebabkan jeleknya
keadaan mereka yang sesungguhnya-, tentu akan lebih pantas dan lebih cocok
dengan realita mereka.

Mengapa demikian..., sebab hanya dengan melakukan bantahan terhadap salah
seorang tokoh mereka, sekalipun dengan bahasa lembut dan tidak kasar saja...,
sudah mereka anggap sebagai tindakan jahat dan batil...

Isyarat paling sederhana pun..., meski dilakukan dengan ramah..., tetap mereka
anggap sebagai tantangan nyata dan sebagai tindakan tak beradab... Bersamaan
dengan perbuatan-perbuatan rusak mereka yang bersumber dari prinsip-prinsip
ashabiyah (fanatisme golongan) yang jelek ini..., mengalir pulalah 
gelombang-gelombang
tuduhan (keji) terhadap orang-orang tak berdosa, serta tahdzir (peringatan agar
manusia tidak mendekat) terhadap orang-orang yang sebenarnya bersih. Bahkan
(sammpai pada tingkat) memutuskan silaturrahmi dengan orang-orang yang
sebenarnya suci dan bertakwa." [Lihat Syaikh Ali Hasan al-Atsari, dalam
muqadimah kutaib (kitab kecil) berjudul "Sual wa Jawab Haula Fiqhi
al-Waqi', Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, terbitan Daar al-Jalalain,
Riyadh, Saudi Arabia, cet. I, 1412 H/1992 M, hal.10-12].

Itulah beberapa contoh konkrit yang dikemukakan oleh Syaikh Ali Hasan tentang
betapa berbedanya antara teori yang dikuasai oleh seseorang mengenai tercelanya
ta'ashub dan taklid dengan kenyataan yang dilakukannya.

Demikianlah realita yang ada sekarang ini, ta'ashub dan taklid sudah menggejala
di mana-mana hingga ciri-ciri hizbiyah-pun menjadi akrab dengan banyak pribadi
yang mengaku anti hizby. Bahasa lidah mengingkari, namun bahasa fakta mengakui.

Imam Ibnul al-Qayyim rahimahullah, mengingatkan, menjelaskan dan memberi
nasihat:
"Sepeninggal generasi-generasi terbaik umat ini, (disusul dengan lenyapnya
para imam abad ke IV H, dan perginya para pengikut angkatan pertama mereka)
datanglah kemudian generasi-generasi yang memecah belah agamanya. Mereka hidup
bergolong-golongan dan masing-masing bangga dengan apa yang ada pada dirinya.
Mereka telah memotong-motong perkara agamanya menjadi berkeping-keping...

Segolongan orang menjadikan ta'ashub madzhabi (fanatisme madzhab) sebagai agama
yang dipegang erat-erat dan sebagai modal keyakinan yang digembor-gemborkan.

Sementara segolongan yang lain merasa puas dengan sikap taklid buta. Mereka
berpegang pada prinsip:

"Artinya : Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."
[Az-Zukhruf : 23]

Dua golongan manusia: muta'ashib (fanatikus golongan) dan muqallid (orang yang
taklid) di atas sama-sama berada pada keadaan yang teramat jauh dari kebenaran
yang semestinya diikuti. 

Rasanya tepat sekali jika ungkapan (ayat al-Qur'an al-Karim) berikut ditujukan
kepada mereka:

"Artinya : (Apa yang dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan bukan (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab" [An-Nisa': 123]

Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
"Kaum muslimin telah berijma' (bersepakat) bahwa barangsiapa yang telah
melihat sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dengan jelas, maka ia
tidak boleh meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang."

(Sementara itu) Abu Umar dan ulama-ulama lain mengatakan :
"Orang-orang telah bersepakat bahwa muqallid (orang yang taklid) tidak
terhitung sebagai ahli ilmu (agama). Dan ilmu (agama) ialah memahami al-haq
(kebenaran) melalui dalilnya."

Demikianlah yang dikatakan oleh Abu Umar rahimahullah, sebab manusia memang
tidak pernah berselisih pendapat bahwa ilmu ialah pemahaman yang dihasilkan
dari dalil. Adapun jika tanpa dalil maka namanya taklid!!!

Dua pernyataan ijma' di atas (pernyataan imam Syafi'i tentang ijma' berkenaan
dengan larangan ta'ashub, dan pernyataan Abu Umar tentang ijma' berkenaan
dengan taklid), memberi pengertian bahwa orang yang ta'ashub (fanatik) terhadap
hawa nafsu, serta orang yang taklid buta adalah orang-orang yang tidak
tergolong dalam kelompok orang-orang berilmu. Mereka bukan pewaris nabi.
Pewaris nabi hanyalah para ulama.

Bagaimana mungkin para muta'ashib (fanatikus golongan) dan para muqallid (orang
yang taklid) disebut pewaris nabi, sedangkan mereka sangat keras upayanya
menolak ajaran Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam rangka mengikuti
perkataan orang yang menjadi idolanya? Mereka habiskan umurnya guna berfanatik
terhadap tokoh idamannya dan untuk mengikuti hawa nafsu, sementara mereka tidak
menyadari.

Demi Allah, sesungguhnya ini merupakan fitnah yang membutakan mata dan
mematikan hati. Anak-anak kecil tumbuh dalam bimbingan fitnah ini, dan dalam
lingkaran fitnah ini pula para orang tua merambati umur tuanya. Akhirnya
al-Qur'an dihindari.

Begitulah qadha' dan takdir Allah telah tertulis. Ketika bencana sudah
sedemikian besar dan meratanya sehingga kebanyakan orang tidak kenal lagi
kecuali kebejatan ini, dan kebejatan ini dianggapnya sebagai ilmu, maka pada
saat demikian setiap pencari kebenaran melalui sumbernya yang benar, akan
dianggap sebagai maftun (orang yang telah terkena fitnah). Setiap orang yang
mengutamakan al-haq, akan dianggap dungu.

Orang-orang muta'ashib tadi akan senantiasa memasang berbagai jebakan guna
menjegal setiap yang berbeda pendapat dengan mereka seraya berkata kepada
sesamanya: "Kita kuatir kalau dia (pencari kebenaran tersebut -pen) akan
mengganti agama kalian atau akan membuat kerusakan di muka bumi."

Oleh sebab itu, sesungguhnya siapa saja yang memiliki rasa harga diri,
hendaknya jangan pedulikan mereka dan jangan ridha terhadap apa yang ada pada
mereka. Kalau Sunnah Nabawiyah ditunjukkan kepadanya, ia segera bergegas
mengambilnya dan tidak berkutat membelenggukan dirinya pada mereka.

Tunggulah saatnya, ketika segala apa yang ada di dalam kubur dibangkitkan
kembali, ketika segala yang tersimpan di dada terbongkar, ketika kaki-kaki
seluruh makhluk berdiri sama rata di hadapan Allah, ketika tiap-tiap hamba
melihat sendiri apa yang telah dilakukannya, ketika antara orang-orang yang
benar dapat terbedakan dengan orang-orang yang batil, dan ketika orang-orang
yang berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Nabi mengetahui bahwa mereka
sesungguhnya adalah para pendusta." [Dinukil dari I'lam al-Muwaqi'in: Ibnu
al-Qayyim, tahqiq: Muhammad Muhyidin Abdu al-Hamid, terbitan Daar al-Fikr, cet.
III, 1397 H/1977 M, juz I hal. 7-8.]

Dengan demikian, agar orang tidak terjerumus pada sikap hizbiyah, maka ia harus
mewaspadai dan menghindar dari sikap ta'ashub dan taklid. Caranya ialah seperti
apa yang diungkapan oleh imam Ibnu al- Qayyim berikut ini:

"Sesungguhnya hal yang paling pantas dan paling utama untuk orang saling
berlomba dan berpacu adalah meraih sesuatu yang bisa menjamin kebahagiaan hidup
di dunia maupun di akhirat dan bisa memberi petunjuk pada jalan yang
menghantarkan pada kebahagiaan itu. 

Nah, sesuatu itu adalah al-'ilmu an-nafi' (ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu
agama yang benar) dan amal shaleh. Tanpa keduanya tak bakal ada kebahagiaan
bagi seorang hamba, dan tanpa mengaitkan diri pada sarana-sarana yang bisa
digunakan untuk memperoleh keduanya, maka keselamatan tidak mungkin akan
teraih.

Barangsiapa yang dianugerahi (oleh Allah) dua hal di atas, berarti dia sangat
beruntung. Sebaliknya bagi siapa saja yang diharamkan untuk memperoleh keduanya
(ilmu bermanfaat dan amal saleh), niscaya seluruh kebaikan diharamkan baginya.

Keduanya merupakan titik beda antara manusia-manusia terhormat dengan
manusia-manusia hina. Dengan keduanyalah akan terbedakan antara orang baik
dengan orang jahat, antara orang yang bertakwa dengan orang yang menyimpang...."
[Ibid, hal. 5]

Dengan ilmu (dinul Islam) yang benar dan dengan amal saleh. Insya Allah orang
akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan akan terhindar dari
kesengsaraan. Juga akan terhindar dari ruwetnya hizbiyah. 

Nas'alullaha an-najata wa as-saamata fi ad-Dunya wa al-Akhirah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 23/Tahun II/Hal.37-40. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


________________________________
From: Abu Ayub <abuayu...@yahoo.co.id>
To: "assunnah@yahoogroups.com" <assunnah@yahoogroups.com> 
Sent: Thursday, 6 December 2012 10:30 AM
Subject: [assunnah] Mohon pencerahan
 
Asalamualaikum,.

Mohon pencerahan tentang ta'asub, ? syukran

salam
abu ayub



------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke