KEBERKAHAN BERSAMA ADAB-ADAB KETIKA MAKAN

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
http://almanhaj.or.id/content/3311/slash/0

Dalam masalah makan perlu diperhatikan adab-adabnya. Makan memiliki
adab-adab yang banyak dan telah dikenal, maka dalam pembahasan ini
saya akan meringkaskan adab-adab makan sesuai dengan yang ditunjukkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita yang
diiringi dengan keberkahan, yaitu:

A. Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin saShallallahu ‘alaihi
wa sallama kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.”
Beliau bersabda:

"فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ، فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ عَلَيْهِ!
يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ."

“Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” [1]

Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat
makan, adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"طَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ
كَافِي اْلأَرْبَعَةَ."

‘Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang
mencukupi untuk empat orang.’” [2]

Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:

"طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ، وَالطَّعَامُ اْلإِثْنَيْنِ
يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ، وَالطَّعَامُ اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي
الثَّمَانِيَةَ."

“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi
empat orang dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.” [3]

Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar
saling berbagi dalam makanan, sesungguhnya walaupun makanan itu
sedikit tetapi akan terasa cukup, dan ada keberkahan di dalamnya yang
diterima oleh seluruh yang hadir.” [4]

Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits tersebut kita dapat mengambil faedah,
bahwasanya kecukupan itu hadir dari keberkahan berkumpul saat makan
dan bahwasanya semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan
semakin bertambah berkahnya.” [5]

Dengan demikian beberapa ulama berpendapat, bahwa berkumpul saat makan
adalah mustahab (disunnahkan) dan janganlah seseorang makan seorang
diri. [6]

B. Membaca Bismillah Saat Makan
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika
makan dan sebutlah Nama Allah padanya, maka makanan kalian akan
diberkahi.” Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut Nama
Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya.
Sehingga syaitan -semoga Allah melindungi kita darinya- ikut makan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلٌّ الطَّعَامَ، إِلاَّ يُذْكَرَ اسْمَ
اللهِ عَلَيْهِ."

“Sesungguhnya syaitan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan
Nama Allah padanya.” [7]

Imam an-Nawawi berkata: “Arti dari mendapatkan yaitu dapat menikmati
makanan tersebut maksudnya bahwa syaitan itu mendapatkan bagian
makanan jika seseorang memulainya dengan tanpa dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, adapun bila belum ada seseorang yang memulai
makan, maka (syaitan) tidak akan dapat memakannya, jika sekelompok
orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut Nama Allah
sedangkan sebagian lannya tidak, maka syaitan pun tidak akan dapat
memakannya.” [8]

Dan di antara yang disebutkan oleh an-Nawawi tentang adab-adab
tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya, yaitu perkataannya: “Para ulama
sepakat bahwa tasmiyyah saat makan di awalnya adalah mustahab, [9]
maka apabila ia meninggalkannya saat di awal makan sengaja ataupun
tidak sengaja, terpaksa atau tidak mampu karena sebab tertentu,
kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka disukai
untuk bertasmiyyah dan mengucapkan:

"بِسْمِ اللهِ، أَوَّلُهُ وَآخِرُهُ."

“Dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhir.”

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

Dan mustahab pula mengeraskan tasmiyyah agar ada padanya sebuah
peringatan bagi yang lain atasnya dan ia mengikutinya. [10]

C. Makan Dari Pinggir-Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

"الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ، فَكُلُوْا مِنْ
حَافِيَتِهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ!"

‘Keberkahan tersebut akan turun di tengah-tengah makanan, maka
makanlah dari pinggir-pinggirnya dan jangan dari tengahnya!” [11]

Dan dari ‘Abdullah bin Busr [12]Radhiyallahu anhu bahwasanya
didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah
piring, [13] lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"كُلُوْا مِنْ جَوَانِبِهَا، وَدَعُوْا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا."

“Makanlah dari pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian
tengahnya [14](niscaya) akan diberkahi padanya.” [15]

Dari dua hadits di atas dan yang semisalnya, terdapat petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kaum Muslimin ketika makan, yaitu
bahwa memulainya dari pinggir-pinggir piring agar berkah yang ada di
tengah makanan tersebut tetap ada, dan hendaknya tidak memulai makan
dari tengah piring hingga selesai makan yang di pinggirnya terlebih
dahulu, adab ini adalah bersifat umum, baik bagi yang makan sendiri
maupun yang makan bersama-sama.

Al- Kiththabi [16] berkata: “Kemungkinan larangan tesebut (makan dari
atas piring) apabila makan bersama orang lain, karena penampilan
makanannya saat itu adalah yang terbaik dan terindah, apa-bila tujuan
utamanya adalah agar ia memuaskan diri sendiri, maka hal itu akan
memberi kesan yang kurang baik bagi teman-temannya, oleh karena
meninggalkan adab-adab makan dan muamalah yang buruk, namun apabila ia
makan sendiri, maka tidak apa-apa. Wallaahu a’lam. [17]

Yang jelas adalah, bahwa hal tersebut bersifat umum, karena telah ada
larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits di
atas dengan memakai kata ganti tunggal dan jamak, kemungkinan
maksudnya adalah, menjaga keberkahan makanan tersebut agar tetap
selalu ada dalam jangka jangka waktu yang lama, kemudian bukan ini
saja tapi dalam hal tersebut ada suatu adab yang baik, khususnya
ketika makan bersama.

D. Menjilat Jari-Jari Setelah Makan, Menjilat Piring Dan Memakan
Makanan Yang Terjatuh
Dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat
jari-jarinya yang tiga, beliau bersabda:

"إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى،
وَلْيَأْكُلْهَا، وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ!"

“Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah
kotoran darinya, kotoran lalu makanlah dan janganlah membiarkannya
untuk dimakan oleh syaitan!”

Dan beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan
menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), beliau bersabda:

"فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."

“Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah
keberkahan itu berada.” [18]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْعَقْ أَصَابَعَهُ، فَإِنَّهُ لاَ
يَدْرِي فِي أَيَّتِهِنَّ الْبَرَكَةُ."

“Apabila seseorang diantara kalian makan maka jilatlah jari-jarinya
karena ia tidak mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu
berada.” [19]

Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:

"وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيْلِ، حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ!"

“Dan janganlah ia memersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat
jari-jemarinya.” [20]

Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.

Hadits-hadits tersebut mengandung beberapa jenis Sunnah dalam makan
yaitu, di antaranya anjuran menjilat jari tangan untuk menjaga
keberkahan makanan dan sekaligus membersihkannya, juga anjuran
menjilat piring dan makan makanan yang terjatuh setelah
membersihkannya dari kotoran yang ada. [21]

Imam an-Nawawi berkata, saat menjelaskan maksud dari sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."

“Kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah
keberkahan itu berada.”

Beliau (Imam an-Nawawi) berkata, “Artinya adalah -wallaahu a’lam-
bahwasanya makanan yang disediakan oleh seseorang itu terdapat
keberkahan di dalamnya, namun ia tidak mengetahui ada di bagian
manakah dari makanannya keberkahan tersebut, apakah pada apa yang
telah dimakannya atau ada pada yan tersisa di tangannya atau ada pada
sisa-sisa makanan di atas piring atau pada makanan yang jatuh, maka
seyogyanya semua kemungkinan tersebut harus dijaga dan diperhatikan
agar mendapatkan keberkahan makanan, dan inti dari keberkahan adalah
bertambah, tetapnya suatu kebaikan dan menikmatinya, maksudnya adalah
-wallaahu a’lam- apa yang ia dapatkan dari makanan tersebut (untuk
menghilangkan lapar), terhindar dari penyakit dan menguatkan tubuh
untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta hal lainnya.
[22]

Al-Khithabi berkata ketika menjelaskan kepada orang-orang yang
memandang aib menjilat jari-jemari dan yang lainnya: “Banyak dari
orang-orang yang hidupnya selalu bersenang-senang dan bermewah-mewah
menganggap bahwa menjilat jari adalah hal yang sangat buruk dan jorok,
seolah-olah mereka belum mengetahui bahwa apa yang menempel atau
tersisa pada jari-jari dan piring adalah bagian dari keseluruhan
makanan yang ia makan, maka apabila seluruh makanan yang ia makan
adalah tidak jorok dan tidak buruk, sudah barang tentu makanan yang
tersisa tersebut (bagian dari seluruh makanannya) adalah tidak buruk
dan tidak jorok pula.” [23]

Maka, perhatikanlah bahwa adab-adab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tersebut mengandung anjuran untuk memperoleh keberkahan makanan
dan mendapatkannya, seperti juga padanya terdapat penjagaan terhadap
makanan agar tidak hilang percuma, yang membantu pada penghematan
harta dan pemakaiannya tanpa mubazir.

E. Keberkahan Pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar
makanan dan beliau berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan
padanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terdapat suatu riwayat dalam
Shahih al-Bukhari dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib [24] Radhiyallahu
anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda:

"كِيْلُوْا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ."

“Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi.” [25]
Yang lainnya menambahkan pada akhir hadits: “فِيْهِ (padanya).” [26]

Menakar hukumnya adalah disunnahkan pada apa yang dikeluarkan
seseorang bagi keluarganya. Makna hadits tersebut adalah keluarkanlah
makanan tersebut dengan takaran yang diketahui yang akan habis pada
waktu yang telah ditentukan. Dan padanya terdapat keberkahan yang
Allah berikan pada mud (ukuran dari jenis takaran-pent) masyarakat
Madinah, karena do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [27]

Rahasia dalam takaran tersebut adalah karena dengannya ia dapat
mengetahui seberapa banyak yang ia butuhkan dan yang harus ia siapkan.
[28] Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan tidak ada
sama sekali dalam rakku [29] sesuatu [30] yang dapat dimakan oleh
seorang manusia, kecuali setengah gandum yang berada di rakku, maka
saya memakannya hingga lama mencukupiku, aku pun menakarnya, maka
gandum itu pun habis.” [31]

Dan hadits-hadits lain yang semisalnya, sesungguhnya telah saya jawab
hal tersebut dengan beberapa jawaban, di antaranya adalah:

Pertama, bahwasanya, maksud dari hadits al-Miqdam adalah, menakar
makanan ketika akan mengeluarkan nafkah darinya dengan syarat ada sisa
yang tidak diketahui takarannya, maka keberkahan adalah lebih banyak
terdapat pada hal yang belum diketahui dan samar-samar tersebut dan
menakar apa yang akan dikeluarkan tersebut adalah, agar tidak
mengeluarkan lebih dari kebutuhan atau pun kurang darinya. [32]

Kedua, kemungkinan maksud dari hadits, “Takarlah makanan kalian”
adalah, jika kalian menyimpannya dengan harapan keberkahan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dengan keyakinan akan dikabulkannya, maka siapa
yang menakar setelah itu, maka ia adalah menakar untuk mengetahui
ukurannya, dan hal itu merupakan keragu-raguan pada terkabulnya
harapannya, maka ia dibalas dengan cepat habisnya makanan tersebut.
[33]

Ketiga, bahwasanya menakar makanan adalah dibutuhkan hanya pada saat
jual beli, maka keberkahan pun akan ada, dengan cara menakar tersebut,
demi merealisasikan perintah agama, dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma mungkin saja bermaksud pada menakar yang hanya untuk menguji
saja, oleh karena itu terjadilah kekurangan, [34] ada juga yang
mengatakan selain dari pendapat ini. [35]

Menurut pendapat saya yang paling dekat dengan kebenaran dari jawaban
tersebut adalah yang pertama, karena menakar makanan dan mengetahui
takarannya ketika hendak memakainya, untuk mengambil darinya jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan adalah menghalangi dari sifat-sifat
berlebih-lebihan dan membuang-buang harta (mubazir), cara ini adalah
termasuk cara untuk memperbanyak makanan, sebagaimana juga dengan
menakar makanan akan mencegah dari penghematan berlebihan yang
merugikan. [36]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam
Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir
bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/138) Kitaabul
Ath’imah bab Fii Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Ibnu Majah dalam Sunannya
(II/1093) Kitaabul Ath’imah bab al-Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Imam Ahmad
dalam Musnadnya (III/501), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (VII/317)
Kitaabul Ath’imah, Dzikrul Amri ‘alal Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam,
Rajaa-al Barakah fil Ijtimaa’ ‘Alaih.
[2]. Shahih al-Bukhari (VI/200) Kitaabul Ath’imah bab Tha’aamul Waahid
Yakfil Itsnain dan Shahih Muslim (III/1630) Kitaabul Asyribah bab
Fadhiilatul Mu-waasaah fith Tha’aamil Qailil wa anna Tha’aamal Itsnain
Yakfits Tsalaatsah wa Nahwa Dzaalik.
[3]. Shahih Muslim (III/1630) pada kitab dan bab yang lalu.
[4]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIV/23).
[5]. Fat-hul Baari (IX/535), dengan sedikit perubahan.
[6]. Ibid, (IX/535).
[7]. Shahih Muslim (III/1597) Kitaabusy Asyribah bab Aadaabith
Tha’aami wasy Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut memiliki latar
belakangnya.
[8]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIII/189-190).
[9]. Sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah wajb. Lihat Fat-hul
Baari (IX/522) Ibnu Hajar dan Badzlul Majhuud (XVI/97)
as-Saharanfurri.
[10]. Al-Adzkaar (hal. 197) dengan sedikit perubahan, lihat Syarhun
Nawawi li Shahiihi Muslim (XIII/188-189).
[11]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/260) Kitaabul Ath’imah bab Maa
Jaa-a fii Karaahiyatil Akli min Wasathith Tha’aam, ia berkata: “Hadits
ini shahih.” Dengan lafazh darinya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah
dalam Sunan-nya (II/1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘Anil Akli
min Dzirwatits Tsariid, Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/270), ad-Darimi
dalam Sunan-nya (II/100) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli
Wasathits Tsariid hatta Ya’-kula Jawaanibahu, Ibnu Hibban dalam
Shahihnya (VII/333) Kitaabul Ath’imah, Dziktul Ibtidaa-i fil Akli min
Jawaanibith Tha’aam. Abu Dawud meriwayatkannya dengan lafazh:
"إٍذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلاَ يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى
الصَّحْفَةِ، وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ
تَنْزِلُ مِنْ أَعْلاَهَا."
“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan
dari bagian atas piring, tetapi makanlah dari bagian paling bawah
darinya, karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (IV/142) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a
fil Akli min ‘alash Shahfah.
[12]. Beliau adalah ‘Abdullah bin Busr al-Mazni Abu Shafwan as-Sulami
al-Himshi, ia adalah Sahabat Rasulullah j, begitu pula ayahnya,
ibunya, saudaranya, ‘Athiyah, dan saudarinya, ash-Shamma’, beliau
wafat di Himsh pada tahun 96 H -ada yang berkata 88 H- pada usia 100
tahun, ia di antara para Sahabat yag terakhir wafat di Syam. Lihat
Asadul Ghaabah (III/82), al-Kasyif adz-Dzahabi (II/62), al-Ishaabah
(II/273), Tahdziibut Tahdziib (V/158).
[13]. Al-Qush’ah adalah bejana yang dipakai makan dan merendam roti di
dalam-nya, biasanya dibuat dari kayu. Al-Mu’jamul Wasiith (II/746).
[14]. Yaitu yang teratas karena puncak dari setiap sesuatu adalah
atasnya. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsaar, Ibnul
Atsir (II/159).
[15]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/143) Kitaabul
Ath’imah bab Maa Jaa-a fil Akli min ‘alash Shahfah di dalamnya
terdapat kisah latar belakangnya, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu
Majah dalam Sunannya (II/ 1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil
Akli min Dzirwatits Tsariid, Imam as-Suyuthi menilainya hasan.
Al-Jamii’-ush Shagiir (II/96).
[16]. Beliau adalah Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khitab al-Busti
Abu Sulaiman al-Khithabi, seorang imam, ulama, sastrawan dan memiliki
banyak karangan di antaranya: Ma’alimus Sunan fii Syarhi Sunan Abi
Dawud, Gha-riibul Hadiits, Syahrul Asma’-ul Husna, al-Ghunyah ‘anil
Kalaam wa Ahlahu, beliau wafat tahun 388 H. Lihat Mu’jamul Buldaan
(I/415), al-Ansaab (II/ 210), Waafiyaatul A’yaan (II/214), Siyaru
A’lamin Nubalaa’ (XVII/23) dan al-Bidaayah (XI/236).
[17]. Ma‘alimus Sunan (IV/124) oleh al-Khithabi, dengan sedikit perubahan.
[18]. Shahih Muslim (III/1607) Kitaabul Asyribah bab Istihbaabu La’qil
Ashaabi’a wal Qash’ah wa Aklil Luqmatis Saaqithah ba’da Mas-hi ma
Yushiibuha min Adzaa wa Karaahiyati Mas-hil Yadd qabla La’qiha.
[19]. Shahih Muslim (III/1607) pada kitab dan bab yang sama.
[20]. Shahih Muslim (III/1606) pada kitab dan bab yang sama.
[21]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (III/203-204), dengan sedikit perubahan.
[22]. Ibid, III/206.
[23]. Ma‘aalimus Sunan (IV/184), dengan sedikit perubahan.
[24]. Beliau adalah Miqdam bin Ma’diyakrib bin ‘Amr bin Yazid
al-Kindi, menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meriwayatkan
beberapa hadits-hadits beliau, menetap di Himsh, wafat pada tahun 87
H. Lihat Asadul Ghaqbah (IV/478), al-Ishaabah (III/434) dan Tahdziibut
Tahdziib (X/287).
[25]. Shahih al-Bukhari (III/22) Kitaabul Buyuu’ bab Maa Yustahabbu minal Kail.
[26]. Sunan Ibnu Majah (II/750-751) Kitaabut Tijaaraat bab Maa Yurjaa’
fii Kailith Tha’aam minal Barakah dan Musnad Imam Ahmad (IV/131),
serta Shahih Ibni Hibban (VII/207).
[27]. Fat-hul Baari (IV/346).
[28]. ‘Umdatul Qaari, al-‘Aini (XI/247).
[29]. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Raff dengan fat-hah adalah kayu yang
ada di atas tanah dan dipaku di atas dinding untuk menyimpan sesuatu.”
An-Nihaayah (II/245).
[30]. Syathru adalah setengah (al-Mishbahul Munir, hal. 313), pendapat
lain menyatakan bahwa maksudnya adalah setengah wasiq. An-Nihaayah,
Ibnul Atsir (II/473).
[31]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (VII/179) Kitaabur
Riqaaq bab Fadhlul Faqr juga oleh Muslim dalam Shahihnya (IV/2282)
Kitaabuz Zuhud war Riqaaq.
[32]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XVIII/107), dengan sedikit perubahan.
[33]. Fat-hul Baari (IV/346).
[34]. Ibid, IV/346, XI/281.
[35]. Lihat Fat-hul Baari (IV/346, XI/280-281) dan ‘Umdatul Qaari (XI/247).
[36]. Lihat Dalaa-ilun Nubuwah al-Muhammadiyah fii Dhau-il Hadits,
Istanbuli (hal. 23-24).


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke