MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH PENGKAFIRAN
http://almanhaj.or.id/content/3075/slash/0


Pada tanggal 23-26 Syawal 1425H bertepatan 6-9 Desember 2004,
dilangsungkan kegiatan daurah syar’iyyah para da’i yang diadakan oleh
Ma’had ‘Ali Al Irsyad Surabaya bekerja sama dengan Markaz Imam Al
Albani Yordania. Kegiatan yang dilaksanakan di Lawang, Malang, Jawa
Timur tersebut, mendatangkan para masyayikh (ulama) Yordania,
murid-murid terbaik Muhaddits jaman ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani. Mereka adalah Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Syaikh Muhammad
bin Musa Alu Nashr, Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, dan Syaikh
‘Ali bin Hasan Al Halabi -hafizhahumullah.

Alhamdulillah, beberapa penulis dari Majalah As Sunnah dapat mengikuti
daurah syar’iyyah tersebut. Diantaranya, yaitu Ustadz Muslim Al
Atsari. Dan berikut ini ringkasan materi daurah yang disampaikan oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi –hafizhahullah- berkaitan dengan
masalah kaidah-kaidah pengkafiran. Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi
menjelaskannya dengan menyandarkan kepada kitab beliau, berjudul At
Tabshir bi Qawa’id At Takfir. Ustadz Muslim Al Atsari meringkasnya
untuk pembaca. Semoga bermanfaat dan menambah faidah bagi kita.
_______________________________________________________________________

Pada muqadimah kitab, Syaikh Ali menjelaskan kewajiban para ulama
untuk mentahdzir (memperingatkan) dari fitnah takfir (pemikiran
menyimpang dalam mengkafirkan umat Islam dengan tanpa haq). Beliau
menyatakan: “Sesungguhnya tahdzir (peringatan) yang keras terhadap
fitnah takfir yang berlebihan sudah menjadi konsekwensi dan menjadi
keharusan yang pasti, tatkala orang yang tidak berkompeten berbicara
tentangnya, dan orang yang bukan ahlinya telah memasukinya.” (At
Tabshir, hlm. 6). Hal itu, karena dampak takfir tanpa alasan yang
benar sangat berbahaya. Syaikh menjelaskan: “Dan tidaklah suatu
perkara sedemikian besar –bahaya dan fitnahnya-, kecuali lantaran
dampaknya yang nyata dan terlihat begitu dahsyat terhadap individu dan
masyarakat, (juga) sangat buruk terhadap umat manusia dan
bangsa-bangsa”. [At Tabshir, hlm. 7].

Anehnya, sebagian umat Islam saling berdebat dan sikap antipati,
karena berpegang pada kalimat-kalimat yang dijadikan dasar wala’
(kecintaan dan pembelaan) dan bara’ (kebencian dan permusuhan). Tanpa
pengkajian intensif dan pemahaman terhadap kandungannya. Sungguh, ini
merupakan salah satu penyebab perselisihan.

Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi rahimahullah berkata: “Demikian juga
masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para imam dalam perkara
ushul (pokok-pokok agama) ataupun furu’ (cabang-cabang agama), jika
tidak dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul, niscaya al haq akan
menjadi kabur. Bahkan orang-orang yang berselisih berada di dalam
ketidakjelasan dalam urusan mereka”. Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath
Thahawiyah (2/777) dari At Tabshir, hlm. 9-10.

Oleh karena itu, dalam masalah takfir ini, terdapat beberapa kaidah
yang harus diperhatikan, agar seseorang selamat dari penyimpangan.
Syaikh Ali menjelaskan masalah tersebut dengan point-point sebagai
berikut:

1. Kewajiban Menetapkan Istilah-Istilah Secara Akurat Dan Membuat
Ungkapan-Ungkapan Dengan Cermat.
Sebagai dasar dari pernyataan ini, Syaikh Ali mengutip penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Ar Risalah At
Tadmuriyyah, hlm. 28, yang menyatakan: “Apa yang diperdebatkan oleh
orang-orang mutaakhirin –belakangan-, baik dengan penolakan maupun
penetapan, seorang pun tidak wajib –bahkan tidak boleh baginya-
menyetujui orang lain dalam menetapkan lafazhnya atau menolaknya,
sampai dia mengetahui maksudnya:

- Jika orang itu menghendaki kebenaran: maka diterima.
- Jika orang itu menghendaki kebatilan: maka ditolak.
- Jika perkataannya mengandung kebenaran dan kebatilan: tidak diterima
secara mutlak, dan (juga) tidak ditolak keseluruhannya. Tetapi lafazh
tersebut ditawaqqufkan* dan diperjelas maknanya”. [At-Tabshir, hlm:
12-13] [1]

2. Batasan Iman Menurut Ahli Sunnah.
Berkaitan dengan masalah takfir (mengkafirkan orang tertentu), yang
maknanya menghukumi seseorang itu telah keluar dari iman, maka Syaikh
Ali Al Halabi menjelaskan batasan iman yang sesuai dengan tinjauan
syari’at, sebagai pengantar untuk memahami persoalan takfir. Sehingga
pembahasan point ini dengan sebelumnya saling berkaitan. Lihat At
Tabshir, hlm. 11.

Dalam menyampaikan batasan iman, Syaikh Ali Al Halabi menukil
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H)
dan keterangan dari Syaikh Shalih Al Fauzan, ulama besar Saudi Arabia.
Hal ini untuk menunjukan bahwa aqidah Ahli Sunnah dari dahulu sampai
sekarang tetap sama. Demikian juga aqidah para ulama Ahli Sunnah di
kerajaan Saudi, sama dengan aqidah para ulama Ahli Sunnah di Yordania
dan negara-negara lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dengan ringkas
aqidah As Salafush Shalih tentang iman, dalam kitab Al Aqidah Al
Wasithiyah (hlm. 81-83), dengan pernyataannya: “Di antara prinsip Ahli
Sunnah Wal Jama’ah, din (agama) dan iman terdiri dari perkataan dan
perbuatan, perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati dan anggota
badan. Dan sesungguhnya iman itu bertambah dengan ketaatan, dan
berkurang dengan kemaksiatan. Bersamaan dengan itu, mereka tidak
mengkafirkan ahli kiblat (orang Islam yang melakukan shalat, Pen)
dengan semata-mata kemaksiatan dan dosa-dosa besar, sebagaimana yang
dilakukan oleh Khawarij. Bahkan persaudaraan keimanan tetap utuh
meskipun terdapat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ

Maka barangsiapa (membunuh orang mukmin) yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik (di dalam menuntut diyat). [Al
Baqarah:178].

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu. [Al Hujurat : 9-10]

Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sama sekali tidak mencabut sebutan iman atas
diri orang fasik yang beragama (Islam). Ahlu Sunnah Wal Jama’ah juga
tidak menyatakan orang fasik itu kekal di dalam neraka, sebagaimana
pendapat Mu’tazilah. Bahkan orang fasik tetap disebut sebagai orang
beriman seperti dicontohkan oleh firman Allah Ta’ala:

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.
[An Nisaa :92]

Padahal mugkin ia tidak termasuk sebagai yang imannya sempurna,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yakni dengan iman yang
sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka. [Al Anfal:2]

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ
السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ
حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً –ذَاتَ
شَرَفٍ- يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ
يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seorang pezina berzina, ketika dia sedang berzina, sedangkan
dia seorang mukmin (yakni dengan iman yang sempurna). Tidaklah seorang
pencuri mencuri, ketika dia sedang mencuri, sedangkan dia seorang
mukmin. Tidaklah seseorang minum khomr, ketika dia sedang minum,
sedangkan dia seorang mukmin Tidaklah seorang merampas barang rampasan
–yang bernilai- sedangkan orang-orang melihat dengan pandangan mereka
padanya, ketika dia sedang merampas itu, sedangkan dia seorang mukmin.
[2]

Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyatakan, dia (pelaku dosa besar itu) orang
beriman yang imannya kurang, atau dia seorang mukmin dengan sebab
imannya, (juga) seorang yang fasik disebabkan oleh dosa besarnya.
Sehingga dia tidak diberi ismul mutlaq (yakni sebagai orang yang
sempurna imannya, Pen), juga tidak dicabut/dihilangkan muthlaqul ismi
(yakni bahwa dia seorang mukmin, Pen) dari dirinya. [Dinukil dari At
Tabshir, hlm. 15-17].

Syaikh Shalih Al Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Ta’liqat Al
Mukhtasharat ‘Ala Matni Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm. 145-147:
“Pendapat yang benar, sesungguhnya iman terdiri dari perkataan dengan
lisan, keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan.
Jadi, amal (perbuatan) masuk ke dalam hakikat iman, bukan sekedar
bersifat tambahan. Barangsiapa membatasi (iman) hanya pada perkataan
dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tanpa amal (perbuatan), dia
bukanlah termasuk orang yang memiliki iman yang benar… Jadi iman
adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan
dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan. Inilah ta’rif (definisi) iman yang benar, yang sesuai
dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi.

-Tidak seperti pernyataan Al Hanafiyah (orang-orang yang menyatakan
sebagai pengikut imam Abu Hanifah): (bahwa iman) hanyalah perkataan
dengan lisan dan keyakinan dengan hati saja!

-Dan tidak (juga) seperti pendapat Al Karramiyah (orang-orang yang
menyatakan sebagai pengikut Muhammad bin Karram As Sijistani): (bahwa
iman) hanyalah perkataan dengan lisan saja!

-Bukan (pula) sebagaimana dikatakan oleh Al Asya’irah (orang-orang
yang menyatakan sebagai pengikut Abul Hasan Al Asy’ari): (bahwa iman)
hanyalah keyakinan dengan hati saja!

-Dan bukan (pula) pernyataan Al Jahmiyah (orang-orang yang menyatakan
sebagai pengikut Jahm bin Shafwan): (bahwa iman) hanyalah ma’rifah
(pengetahuan) dengan hati saja!

Dengan penjelasan ini, (firqah) Murjiah (orang-orang yang mengeluarkan
amal dari hakikat iman) terbagi empat golongan. Kelompok yang paling
jauh (kesesatannya) adalah Jahmiyah. Menurut pendapat mereka, Fir’aun
adalah seorang mukmin, karena dia ‘arif (mengenal Allah). Demikian
pula iblis beriman, karena dia mengenal (Allah) dengan hatinya.

Bila mengacu kepada pendapat Al Asya’irah, yang menyatakan iman adalah
keyakinan dengan hati saja, maka Abu Lahab, Abu Thalib, Abu Jahal, dan
seluruh orang-orang musyrik termasuk orang-orang beriman. Karena
mereka ini meyakini dan membenarkan dengan hati mereka. Mereka
membenarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan hati mereka,
akan tetapi kesombongan dan hasad (iri) telah menghalangi mereka untuk
mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat At Tabshir, hlm.
18-21].

3. Landasan Manhaj Ahlu Sunnah.
Setelah menyampaikan muqaddimah, mulailah Syaikh Ali Al Halabi
menjelaskan permasalahan takfir.

Pertama kali beliau menegaskan, bahwa manhaj (jalan yang ditempuh)
para ulama Ahli Sunnah tegak di atas ilmu terhadap al haq dan rahmat
(kasih-sayang) terhadap makhluk (manusia). Keduanya tidak dapat
dipisahkan. Kemudian Syaikh menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah t dalam kitab Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/490): “Dan imam-imam
Sunnah dan Al Jama’ah, dan para ahli ilmu; mereka itu mempunyai ilmu,
keadilan, dan rahmat (kasih-sayang). Mereka mengetahui al haq, yang
menjadikan mereka selaras dengan Sunnah dan selamat dari bid’ah.
Mereka bersikap adil terhadap orang yang keluar dari Sunnah, walaupun
dia menzhalimi mereka. Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. [Al Maidah: 8]

Para ulama Ahlu Sunnah menyayangi manusia. Menawarkan kepada mereka
kebaikan, petunjuk dan ilmu. Tidak pernah berniat buruk terhadap orang
semenjak awal. Jika mereka menghukumi orang, menjelaskan kesalahan,
kebodohan dan kezhaliman manusia, (sungguh) niat mereka adalah
menjelaskan al haq dan cerminan kasih-sayang kepada makhluk (manusia),
‘amar (memerintah) kepada ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan
agar agama itu semuanya untuk Allah, dan supaya kalimat Allah menjadi
yang paling tinggi. [Lihat At Tabshir, hlm. 25-26].

4. Takfir Adalah Hak Allah dan RasulNya.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan pendapat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (5/545): “(Hak) mewajibkan,
mengharamkan, (penuntuan) pahala dan siksa, takfir (pengkafiran),
tafsiq (vonis fasik terhadap seseorang) milik Allah dan RasulNya.
Tidak ada seorang pun yang berhak dalam masalah ini.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Mukhtashar Ash Shawa’iq Al
Mursalah, hlm. 421: “Takfir adalah hukum agama. Orang kafir adalah
orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya.”

Syaikh Shalih Al Fauzan juga mejelaskan (Majalah Ad Da’wah, 4 Rabiul
Akhir 1421H): “Takfir terhadap orang-orang yang murtad bukanlah
ketetapan yang dibuat oleh Khawarij ataupun selain mereka. Dan itu
bukan bentuk pemikiran, tetapi merupakan hukum agama yang dipakai
Allah dan RasulNya untuk menghukumi orang yang berhak menerimanya;
yang disebabkan karena melakukan salah satu perkara yang membatalkan
Islam, baik berupa perkataan, keyakinan atau perbuatan, sesuai dengan
penjelasan para ulama dalam bab: Hukum-Hukum Orang-Orang Murtad.
Hukum-hukum di atas berasal dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah
RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [At Tabshir, hlm. 27-29]

5. Sikap Adil Ahlu Sunnah Dalam Menghadapi Orang-Orang Yang
Mengkafirkan Dirinya.
Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/493), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan keadilan ahlu sunnah terhadap golongan
lainnya dengan pernyataan: “…Oleh karena itu, ahli ilmu wa sunnah
tidak mengkafirkan orang yang menyelisihinya, walaupun orang yang
memusuhi ahli sunnah sudah mengkafirkan mereka. Karena kekafiran
merupakan hukum agama. Tidak ada orang yang berhak menghukumi dengan
perbuatan yang sejenis. Seperti, misalnya orang yang berdusta
kepadamu, berzina dengan keluargamu, engkau tidak boleh berdusta
kepadanya dan berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina
(hukumnya) haram, dan (menghukumi hal) itu merupakan kewenangan Allah
Ta’ala. Demikian juga takfir, merupakan hak Allah. Sehingga tidak
boleh dikafirkan, kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan
RasulNya.” [At Tabshir, hlm. 30].

6. Kaidah Takfir Terhadap Orang Tertentu.
Ini termasuk kaidah terpenting dalam memahami masalah takfir. Bahwa
kekafiran pada orang tertentu terjadi dengan terpenuhinya
syarat-syarat pengkafiran dan hilangnya penghalang-penghalang
kekafiran pada diri orang tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memaparkan dengan
pernyataannya: “Sesungguhnya takfir (pengkafiran) yang umum –seperti
halnya ancaman yang umum- wajib dinyatakan dengan kemutlakan dan
keumumannya. Adapun hukum terhadap orang tertentu, bahwa dia adalah
orang kafir, atau dia pasti masuk neraka, maka ini tergantung pada
dalil khusus. Karena suatu hukum (keputusan) itu tergantung pada
terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya.
Maka takfir (pengkafiran) terhadap orang tertentu yang berasal dari
orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang serupa dengan
mereka, -yaitu dia dihukumi termasuk orang kafir- tidak boleh
diputuskan kecuali setelah hujjah risaliyah (argumen dari rasul) telah
tegak padanya, sehingga menjadi jelas bahwa mereka menyelisihi para
rasul.

Ketetapan ini berlaku pada takfir terhadap seluruh orang-orang
tertentu. Meskipun sebagian bid’ah lebih berat (kesesatannya) dari
bid’ah lainnya, dan kadar keimanan sebagian ahli bid’ah tidak sama
dengan ahli bid’ah lainnya. Maka, siapapun tetap tidak boleh
mengkafirkan orang lain dari kalangan umat Islam -walaupun orang itu
keliru dan berbuat salah- sampai ditegakkan hujjah (argumen) dan
dijelaskan jalan yang lurus kepadanya.

Barangsiapa imannya nampak dengan keyakinan, tidak akan lenyap darinya
dengan sebab keraguan. Bahkan tidak akan hilang, kecuali setelah
penegakan hujjah dan penghilangan syubhat (kesamaran).” Lihat Majmu’
Fatawa (12/498).

Karena memang, takfir harus dengan sesuatu yang pasti, sebagaimana
dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Takfir itu tidak terjadi dengan
perkara yang mengandung kemungkinan.” [Lihat Ash Sharimul Maslul
(3/963)].

Syaikhul Islam rahimahullah telah menjelaskan syarat-syarat takfir
dalam Majmu’ Fatawa (14/118), dan kebalikan syarat-syarat tersebut
merupakan penghalang-penghalang kekafiran. Beliau berkata tentang
hukum orang yang mengucapkan kekafiran: “Adapun jika dia mengetahui
apa yang dia ucapkan: jika dia sukarela, berniat (sengaja) dengan apa
yang dia katakan, maka inilah yang perkataannya dianggap…” yakni
dianggap sebagai takfir. [Lihat At Tabshir, hlm. 35-37].

Dengan ini menjadi jelas, bahwa syarat-syarat pengkafiran meliputi:
(a). Ilmu (yaitu bila seseorang mengetahui, bahwa apa yang
dilakukannya dapat mengeluarkannya dari Islam).
(b). Sukarela, (yaitu apa yang dilakukannya tanpa paksaan).
(c). Sengaja.
Adapun penghalang kekafiran adalah kebalikan dari faktor-faktor di atas, yaitu:
(a). Kebodohan (yaitu seseorang tidak mengetahui, bahwa apa yang
dilakukannya dapat megeluarkannya dari Islam).
(b). Dipaksa.
(c). Keliru atau tidak sengaja.

7. Masalah “Memberi Toleransi Terhadap Ketidaktahuan”.
Dalam masalah ini, Syaikh Ali Al Halabi menukil perkataan Syaikhul
Islam dalam kitab Minhajus Sunnah (5/130): “Tidak ada keraguan bahwa
orang yang tidak meyakini kewajiban berhukum dengan syari’at Allah
yang diturunkan kepada RasulNya, maka dia kafir. Barangsiapa
berpendapat boleh menghukumi manusia dengan keputusan yang dia anggap
adil -tanpa mengikuti hukum Allah- maka dia kafir. Karena
sesungguhnya, tidak ada satu bangsa pun kecuali mereka memerintahkan
berhukum dengan keadilan. Dan terkadang, keadilan dalam agama mereka
mengikuti tokoh-tokoh mereka.

Banyak orang yang menisbatkan kepada Islam berhukum dengan
adat-istiadat mereka yang tidak berdasarkan hukum Allah k . Misalnya,
seperti merujuk tradisi orang-orang Badui (sebagai hukum) dan
aturan-aturan pembesar mereka yang ditaati. Mereka memandang, inilah
yang mesti dijadikan dasar hukum, bukan Al Kitab dan As Sunnah! Ini
merupakan kekafiran. Sesungguhnya orang-orang telah masuk Islam,
meskipun demikian mereka tidak menghukumi kecuali dengan adat-adat
kebiasaan yang berlaku pada mereka, yang diperintahkan oleh sesepuh
mereka.

Jika orang-orang ini telah mengetahui tidak boleh berhukum kecuali
dengan aturan yang Allah turunkan, lalu mereka tidak iltizam
(berpegang teguh) dengannya, bahkan mereka membolehkan berhukum dengan
aturan yang berbeda dengan petunjuk Allah; maka mereka itu menjadi
kafir. Jika tidak (paham), mereka berarti orang-orang yang bodoh,
-sebagaimana telah dikemukakan di depan.

Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/492), Syaikhul Islam rahimahullah
menyatakan: “Sesungguhnya takfir terhadap orang tertentu, dan
dibolehkan untuk membunuhnya, tergantung pada telah tersampaikan
hujjah dari Nabi kepadanya, yang menyebabkan orang menjadi kafir bila
menyelisihinya. Jika tidak demikian, maka tidak setiap orang yang
tidak memahami sesuatu dari agama menjadi kafir”. [Lihat At Tabshir,
hlm. 38-40].

8. Bahaya Takfir Yang Berasal Dari Orang Yang Tidak Berkompeten.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan beberapa perkataan
ulama. Diantaranya Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam Al
Mufhim Fi Syarh Shahih Muslim (3/111): “Masalah takfir (pengkafiran)
adalah masalah yaang sangat berbahaya. Banyak orang yang melibatkan
dirinya dalam masalah ini, dan (akhirnya) mereka terjatuh. Sementara
tokoh-tokoh besar saling menahan diri, sehingga selamat… Kita tidak
menyamakan (nilai) keselamatan dengan sesuatupun.”

Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi
sekarang) dalam wawancara dengan koran Asy Syarqul Ausath, 21 April
2001M berkata: “Takfir merupakan perkara yang berbahaya. Semestinya
umat Islam tidak memperbincangkannya secara mendalam, dan
menyerahkannya kepada ulama yang berilmu tinggi.”

Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan dalam buku Zhahirah At Tabdi’ Wat
Tafsiq Wat Takfir Wa Dhawabithuha (hlm. 28) : “Sesungguhnya yang
melontarkan (vonis) takfir secara sembarangan hanyalah orang-orang
yang bodoh. Mereka mengklaim diri sebagai ulama! Padahal mereka belum
pernah mendalami agama Allah l . Mereka hanyalah membaca buku-buku,
mencari-cari kesalahan-kesalahan, memunguti istilah-istilah tafsiq
(menyatakan kefasikan seseorang) dan membidikkannya tanpa ilmu kepada
orang-orang yang tidak tepat, atau kepada orang-orang yang tidak
berhak mendapatkannya. Mereka tidak mengetahui cara meletakkan
perkara-perkara ini pada tempatnya, lantaran ketidakpahaman terhadap
agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Perumpamaan mereka dalam perkara itu
bagaikan orang jahil (tidak mengerti) yang mengambil sebuah senjata,
tetapi tidak mengetahui cara menggunakannya. Orang seperti ini hampir
membunuh dirinya, keluarga dan kerabat-kerabatnya, karena tidak cakap
menggunakan alat ini.” [Lihat At Tabshiir, hlm. 42-45].

9. Pelaksanaan Keputusan Takfir Diserahkan Kepada Para Ulama Khusus.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata dalam Al Muntaqa (1/112): “Takfir
adalah perkara yang berbahaya. Setiap orang tidak boleh menyematkannya
pada diri orang lain. Ini termasuk wewenang mahkamah-mahkamah
syar’iyah dan ulama yang berilmu dalam masalah agama. Yaitu merekalah
yang memahami Islam, mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui
situasi dan kondisi, mengkaji realita manusia dan masyarakat.
Merekalah orang yang berhak mengeluarkan vonis takfir dan keputusan
lainnya. Adapun orang-orang juhhal (tidak paham), orang-orang umum,
para pelajar yang tidak sepenuh hati, mereka tidak berhak melontarkan
takfir terhadap orang-orang tertentu, atau kelompok-kelompok, atau
negara. Karena mereka bukan ahli dalam hukum ini.” [Lihat At Tabshir,
hlm. 47-48].

Selain ini, pada point yang ke 8 di atas, nampak jelas pernyataan para
ulama tentang masalah takfir ini.

Inilah inti terpenting dari ceramah Syaikh Ali Al Halabi
–hafizhahullah- tentang masalah takfir ini. Adapun pembahasan
selanjutnya yang terdapat di kitab beliau At Tabshir, sebagai
pelengkap dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan secara ringkas di
atas. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke