MENYATUKAN HARI RAYA

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
http://www.almanhaj.or.id/content/2304/slash/0

Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fithri maupun 
hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi di 
kalangan kaum muslimin seakan-akan makna “al-id” yang seharusnya sesuatu 
yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah 
permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan 
pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas 
bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. 
Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan 
pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kita yang tepat dalam 
bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang 
yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq 
kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan 
dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?
Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya 
dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya 
orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik) atau orang yang cenderung 
mengikuti akalnya sendiri [1], masuk ke dalam kancah permasalahan ini 
sehingga semakin memperkeruh masalah.

Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita 
bagi dalam beberapa permasalahan.

Pertama : Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan 
hisab ataukah ru’yah hilal.

Kedua : Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap 
negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, 
wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri 
berhukum dengan mathla’ nya sendiri-sendiri?

Ketiga : Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. 
Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang 
dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat 
kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilan kekacauan dan 
perselisihan di mana-mana.

RU’YAH ATAU HISAB?
Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.
Pertama : Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan 
meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu 
orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan 
juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti 
perjalanan umat terdahulu (tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada 
saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilai. 
Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para 
pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam 
bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan 
menggunakan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. 
Begitu juga dengan kaum Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin 
lainnya dalam penggunaan ishtillah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh 
syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas tepat dan jauh 
dari pertentangan” [2]

Kedua : Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah 
bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berurut-turut. 
Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya ijma’, 
sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sebagaimana telah kita ketahui dari 
agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara 
melihat hilal, seperti ; puasa, haji, iddah, ila’ atau lainnya, yang 
menyangkut permasahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash 
dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah ijma’ 
(sepakat) dengan permasalah tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya 
perselisihan lama atau perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni 
oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum 
matang [3]. Yaitu dengan pernyataan “Jika hilal terhalangi awan, maka ahli 
hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab 
(tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak 
menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh ijma 
yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan 
dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, 
mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan 
umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya”. [4]

Ketika Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Arab Saudi, ditanya tentang 
hal serupa, mereka menjawab : “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan 
yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan 
lainnya. Sekalipun begitu, Allah berfirman.

“Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah 
berpusa” [Al-Baqarah ; 185]

Dan Rasul-Nya menerangkan lebih jelas dengan sabdanya.

“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya” 
[5]

Maka beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya 
Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengaitkannya dengan hisab 
bintang-bintang. Sekalipun beliau mengetahui bahwa ilmu falak akan 
berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalannya.

Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui 
lisan Nabi-Nya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari 
raya. Dan ini merupakan ijma dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya 
dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat 
digunakan” [Tertanda. Ketua : Abdul Aziz, Wakil Ketua Abdur Razzaq Afifi. 
Anggota Abdullah bin Qu’ud] [6]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 
Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Majmu Fatawa (25/128-130)
[2]. Majmu Fatawa (25/135)
[3]. Sebagian pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan 
Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. 
Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. 
Lihat Nailul Authar (4/502) Dar Ash-Shumai’i, Tharhut Tatsrib, Al-Iraqi 
(2/2-112).
[4]. Majmu Fatawa (25/132-133)
[5]. HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadan Li Ru’yatil Hilal, 
Syarh Muslim (3/134-135)
[6]. Fatawa Ramadhan (1/118-19)

_________________________________________________________________
Windows Live Spaces is here! http://get.live.com/spaces/overview It’s easy 
to create your own personal Web site.



Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke