DAGING ANJING HALAL?
Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi, Lc
http://almanhaj.or.id/content/3119/slash/0


Seiring dengan tingkat kemajuan dan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap
segala sesuatu, maka banyak pula usaha yang dilakukan oleh manusia untuk
menggali segala yang diciptakan Allah k melalui penelitian, pengkajian, dan
lain-lain, sehingga hasilnya nanti dapat membantu manusia memecahkan
persoalan hidup yang terus berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Di antara berbagai macam persoalan yang seringkali di hadapi manusia adalah
persoalan kesehatan, makanan dan keuangan serta kesenangan. Secara alami,
manusia selalu mencari cara agar dapat bertahan guna memenuhi kebutuhan
tersebut, baik dengan memanfaatkan sumber alam maupun hewan. Namun,
persoalannya adalah sejauh mana cara yang dilakukan manusia tersebut agar
berguna dan bermanfaat bagi dirinya, tanpa harus melakukan dan mengerjakan
sesuatu yang bertentangan dengan syariat.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya persoalan
hidup, akhirnya manusia berhadapan dengan jalan, dimana mereka harus
menentukan pilihan hidup. Kemudian, manusia dituntut untuk mengambil sikap,
jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini semakin kompleks dengan jauhnya
mereka dari tuntunan ajaran Islam yang suci, sehingga mereka mengambil
kesenangan dan makanan tanpa melihat lagi kehalalan dan keharamannya.

Kehidupan manusia tidak lepas dari lingkungan sekelilingnya, baik berupa
hewan maupun yang lainnya. Di antara hewan yang sering berada di sekitar
manusia adalah anjing. Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk
dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat ini semua
perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif syariat.

MEMELIHARA ANJING
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang
memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa
melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan
manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa satu kebutuhaan, seperti untuk
menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan. Hal ini
dijelaskan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

مَنِ اقْتَنَى كَمبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ
عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak
satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [1]

‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
“Atau anjing untuk menjaga tanaman.”

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَيُّمَا أَهلِ دَارٍ اتَّخَذُواكَلْبُا إِلاَّ كَلْب مَا شِيَةٍ أَوْ كَلبَ
صَا ئِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ

Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga
binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap
harinya sebanyak dua qirâth.[2]

Demikian juga Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ
قِيْرَاطُ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ اَوْ مَا شِيَةٍ

Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan shalehnya akan berkurang setiap
harinya sebesar satu qirâth, selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan
ternak. [3]

Ibnu Sîrîn rahimahullah dan Abu Shâleh rahimahullah mengatakan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.

إِلاَّ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ

Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu

Abu Hâzim rahimahullah mengatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَا شِيَةٍ

Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” [HR.
al-Bukhâri]

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنِ اقْتَنَى كَمبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ
عَمَلِهِ كُلَّ يَوْم قِيْرَاطَانِ ٍ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
atau pemburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [HR. Muslim 2940]

Iman An-Nawâwi rahimahullah memandang haramnya memelihara anjing dengan
membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing
Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman. [4]

NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِ كُم فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ
لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ

Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka tumpahkanlah, lalu
cucilah 7 kali. [5]

Dalam riwayat lain:

طَهُروْرُ إِنَاَءِ أَحَدِكُمْ إَِّا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ
سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah
dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah” [HR Muslim no. 420 dan
Ahmad 2/427]

Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian
Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab,
untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan
menggunakan tanah.

Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, “Di antara hukum
Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah
mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern.
Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada
manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada
manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa
sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari
cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan
makanan dan minuman manusia.[6]

HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal,
baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7] Yang demikian
itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd
Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ
الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلوَانِ الْكَا هِنِ

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]

HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara
syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada
beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging
anjing ini.

1. Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk
memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya:

a). Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ ذِينَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ

Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram. [9]

b). Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَن أَكْلِ كُلِّ
ذِيْنَابٍ مِنْ السِّبَاعِ ِ

Sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan semua
hewan buas yang bertaring. [10]

Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, serigala, dan anjing
haram dimakan.

2. Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan
keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang
berbunyi:

إَنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ
الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وضحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [11]

Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِم
ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka
(Allah) haramkan harganya atas mereka”. [12]

3. Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allah
Azza wa Jalla :

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ
فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚفَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah, “Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[al-An’âm/6:145]

Adalah Makiyah, yang turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah
orang-orang jahiliyah yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah , al-Washîlah
dan al-Hâm. Kemudian setelah itu Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighâl, dll.
Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang bertaring.

Ayat di atas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu
yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru
turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring,
sehingga wajib diterima dan diamalkan.

Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua
hewan buas yang bertaring, beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad
al-Amien asy-Syinqiti yang menyatakan, “Semua yang sudah jelas
pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau
Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang diharamkan dalam ayat
tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur‘ân, karena sesuatu yang
diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu
turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut
Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya.
Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru,
maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama. [13]

Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan
medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia.
Ditambah lagi air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum
air liurnya yang najis dan mempengaruhi dagingnya.

Padahal Rasululâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita memakan daging
hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang
berbunyi:

نَهَى رَسُوْلُاللَّه صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَلَةِ
وَأَلْبَانِهَا

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan hewan al-Jalâlah
(pemakan najis dan kotoran) dan susunya. [14]

Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi,
realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih
secara syar’i. Semoga ini semua dapat membantu menjelaskna permasalahan yang
selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing.

REFERENSI
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr
Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah
Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân
Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2941
[2]. HR. Muslim no. 2945
[3]. HR Muslim no. 2949
[4]. lihat BahjatunN�zhir�n 3/187
[5]. HR al-Bukh�ri no 418, Muslim no. 422.
[6]. Taudh�hul-Ahkam, Syaikh Ali Bass�m, 1/137
[7]. Fataw� al-Lajnah Ad-D�-imah Lil Buh�ts al-Ilmiyah Wal Ift��, Pertanyaan 
ke-1 dari Fatwa no. 6554
[8]. Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukh�ri 7/28 dan Muslim 
no. 1567.
[9]. HR Muslim 1933
[10]. HR Muslim no. 1934
[11]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukh�ri 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu 
D�wud 3/753 nomor 3481. at-Tirmidzi 3/439
dan an-Nas�-i 7/309 no. 4666
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu 
Dawud no.3488
[13]. Kit�bul-Ath�imah hlm 56-60.
[14]. HR at-Tirmidzi no. 1747. 

------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke