HUKUM MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI

Oleh

Ustadz Kholid Syamhudi Lc

http://almanhaj.or.id/content/2455/slash/0/hukum-mengirim-kurban-ke-luar-negeri/



Pengertian Mengirim Kurban Ke Luar Negeri

Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri 
langsung atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang 
sejenisnya, lalu yayasan itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan
 di negeri yang dituju untuk membelikan hewan kurban sekaligus 
menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di negeri 
yang dituju.



Hukumnya [1]

Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian 
mereka membolehkan sebagiannya tidak membolehkan [2]. Pendapat yang 
rajih, ialah pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah
 (perwakilan) dalam kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut.



1. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.



أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَصَدَّقَ 
بِجِلَالِ الْبُدْنِ الَّتِي نَحَرْتُ وَبِجُلُودِهَا



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk 
menyedekahi jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih” [Diriwayatkan 
Al-Bukhari No. 1.592]



2. Hadits Jabir bin Abdillah, belaiu berkata :



شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى 
بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ 
بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي 
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي 



“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul 
Adha di mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun
 dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah 
menyembelihnya dengan tanganntya langsung dan berkata : “Bismillah wa 
Allahu Akbar, hadza ‘anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah 
Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”, [3]



3. Hadits Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata.



أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا 
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ 
إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ 
بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ 
فِيهِ قَالَ سُفْيَانُ يَشْتَرِي لَهُ شَاةً كَأَنَّهَا أُضْحِيَّةٌ



“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar 
untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor 
dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar 
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam mendo’akannya dengan barokah : “Dia (Urwah ini), seandainya 
membeli debu tentu akan untung juga” Sufyan berkata : “Membeli seekor 
kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban” [4]



4. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.



أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ
 عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا 
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ 
نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا 



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk 
mengurus hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan 
jilalnya dan sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai
 upah) jagalnya (orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang
 memotongnya (jagalnya) sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : “Kami 
yang memberinya dari harta kami” [Muttafaq ‘Alaih]



Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah 
dalam kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang 
jauh. Wallahu a’lam.



5. Hadits ‘Amrah, beliau berkata :



أَنَّ ابْنَ زِيَادٍ كَتَبَ إِلَى عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ 
عَبَّاسٍ قَالَ مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى 
الْحَاجِّ حَتَّى يُنْحَرَ الْهَدْيُ وَقَدْ بَعَثْتُ بِهَدْيِي فَاكْتُبِي
 إِلَيَّ بِأَمْرِكِ قَالَتْ عَمْرَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ لَيْسَ كَمَا 
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ 
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا 
مَعَ أَبِي فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نُحِرَ الْهَدْيُ



“Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah 
bin Abbas berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya 
apa yang diharamkan bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya, 
dan saya telah mengirim hadyu saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah)
 untuk menulis untuk saya pendapat Anda tentang hal ini”. Amrah berkata :
 “Aisyah telah berkata, “Tidak seperti yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya
 telah melepas qalaid hadyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dengan tangan saya, kemudian Rasulullah menandainya dengan tangannya, 
kemudian mengirimnya bersama bapakku (Abu Bakr), lalu tidak diharamkan 
kepada Rasulullah sesuatu yang Allah halalkan baginya sampai disembelih 
hadyunya” [Hadits Riwayat Muslim]



Sudah dimaklumi, ketika mengirim hadyu tersebut bersama Abu Bakr, saat 
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Madinah 
sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafazh hadits. Wallahu a’lam.



Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali [5] dan 
Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar [6]. Namun, pada asalnya kurban
 itu disembelih oleh orang yang berkurban di daerahnya. Akan tetapi, 
apabila ada hajat dan manfaat yang lebih besar untuk dikirim –misalnya 
ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka 
diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang mewajibkan 
pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau lembaga
 tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang membutuhkan kurban 
tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariat. 
Demikian pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10 /Tahun VIII/1425H/2004M. 
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi 
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197]

_______

Footnote

[1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi, 
Juz’un Fil Adh-hiyah Wa Hukmi Ikhrajiha ‘An Baladi Al-Mudhahi, Majalah 
Al-Himah, tanpa edisi, halaman 50-55 dan risalah Prof Dr Abdullah bin 
Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, Cetakan 
Pertama, Tahun 1413H, Dar Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan sedikit 
perubahan dan tambahan dari penulis.

[2]. Lihat Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, halaman. 88

[3] Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud 
(2810) dan At-Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghalil (4/349), No. 1.138

[4]. Diriwayatkan Al-Buakhri No 3.320

[5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Desember 2004M di 
Institut Teknologi Surabaya (ITS)

[6]. Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88                  
                  

Kirim email ke