*Kaidah Kedua Puluh Tujuh : Meninggalkan Perintah Dan Mengerjakan Larangan
Dalam Ibadah
*

http://almanhaj.or.id/content/3598/slash/0/kaidah-ke-27-meninggalkan-perintah-dan-mengerjakan-larangan-dalam-ibadah/


مَنْ تَرَكَ الْمَأْمُوْرَ جَهْلاً أَوْ نِسْيَانًا لَمْ تَبْرَأْ ذِمَّتُهُ
إِلاَّ بِفِعْلِهِ, وَمَنْ فَعَلَ الْمَحْظُوْرَ وَهُوَ مَعْذُوْرٌ بِجَهْلٍ
أَوْ نِسْيَانٍ بَرِئَتْ ذِمَّتُهُ وَتَمَّتْ عِبَادَتُهُ

Barangsiapa meninggalkan sesuatu perintah karena tidak tahu atau lupa maka
ia masih tetap mempunyai tanggungan untuk mengerjakannya. Dan barangsiapa
mengerjakan sesuatu yang dilarang karena tidak tahu atau karena lupa maka
ia telah lepas dari tanggungan dan ibadah yang ia lakukan telah sempurna



Kaidah ini menjelaskan perbedaan hukum antara meninggalkan perintah dan
mengerjakan larangan dalam ibadah ataupun masalah lain. Apabila seseorang
meninggalkan suatu yang diperintahkan karena jahil (belum tahu hukumnya)
atau karena lupa, maka ia tetap masih mempunyai tanggungan untuk
mengerjakan perkara yang diperintahkan tersebut. Adapun yang mengerjakan
perkara yang dilarang karena udzur, yaitu belum tahu hukumnya atau lupa,
maka ia dimaafkan dan tidak ada kewajiban yang harus ditanggung.[1]

Dalil yang mendasari kaidah ini di antaranya adalah sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim :

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا
إِلاَّ ذَلِكَ

Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya
apabila ia ingat, tidak ada kaffarah atasnya kecuali mengerjakan shalat
tersebut. [2]

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa barangsiapa yang lupa tidak mengerjakan shalat karena lupa, maka ia
masih tetap mempunyai kewajiban untuk mengerjakannya, karena shalat, satu
perintah sehinggga tidak gugur karena lupa.[3]

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa dirinya sedang puasa lalu dia makan atau minum maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya sesungguhnya ia telah diberi makan dan
minum oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
makan atau minum karena lupa tidak membatalkan puasa.[5] Karena makan dan
minum saat berpuasa termasuk larangan, sehingga ketika ada yang
mengerjakannya karena lupa maka itu tidak mengakibatkan puasanya batal.[6]

Di antara penerapan dan implementasi kaidah yang mulia ini dapat diketahui
dari contoh-contoh kasus berikut:

1. Apabila seseorang shalat dalam keadaan berhadats karena lupa atau belum
tahu hukumnya maka ia harus mengulangi shalatnya. Karena shalat dalam
keadaan suci, termasuk perkara yang diperintahkan. Maka ketika itu
ditinggalkan karena lupa atau tidak tahu hukum maka ia tetap mempunyai
tanggungan untuk mengerjakannya.[7]

2. Seseorang yang shalat, ia tidak tahu ada najis di badannya atau di
bajunya dan ia baru mengetahuinya setelah selesai shalat, maka shalatnya
tetap sah dan tidak wajib mengulangi shalat. Karena keberadaan najis
termasuk dalam kategori sesuatu yang dilarang. Maka ketika itu terjadi
karena tidak tahu atau lupa maka itu tidak mempengaruhi keabsahan
shalat.[8]

3. Apabila seseorang shalat dan meninggalkan salah satu rukun, karena lupa
atau tidak tahu, maka ia masih mempunyai kewajiban mengerjakan rukun yang
ia tinggalkan itu. Karena menyempurnakan rukun shalat masuk dalam kategori
perkara yang diperintahkan.

4. Apabila seseorang dalam keadaan suci dari hadats kemudian ia makan
daging onta[9] dan ia tidak tahu bahwa daging itu adalah daging onta.
Setelah itu ia langsung melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Maka ia
harus mengulangi shalatnya karena ia shalat dalam keadaan suci termasuk
perkara yang diperintahkan.[10]

Barangsiapa lupa berniat pada malam hari untuk puasa wajib maka puasanya
tidak sah. Karena berniat termasuk dalam kategori perkara yang
diperintahkan, maka ketika ditinggalkan karena lupa, atau tidak tahu hukum,
ia tetap harus mengulangi puasanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , yang artinya, "Barangsiapa tidak berniat sebelum terbit
fajar (untuk puasa wajib) maka tidak ada puasa baginya. [11]

5. Apabila seseorang melaksanakan ibadah haji dan ia meninggalkan salah
satu dari perkara wajib dalam ibadah haji, misalnya tidak bermalam di
Muzdalifah, atau tidak melaksanakan thawaf wada’ karena lupa atau belum
tahu hukum maka ia wajib membayar dam.[12] Karena menyempurnakan
kewajiban-kewajiban dalam haji termasuk perkara yang diperintahkan. Maka
ketika ada yang meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu, ia masih
mempunyai tanggungan berkaitan dengan itu. Dalam hal ini dengan membayar
dam sebagai pengganti ibadah yang ia tinggalkan tersebut.

6. Apabila seseorang dalam keadaan ihram[13] dalam ibadah haji atau umrah,
kemudian ia melanggar salah satu larangan ketika berihram, misalnya memakai
minyak wangi, atau memakai pakaian yang berjahit bagi laki-laki, atau
memakai tutup kepala bagi laki-laki, karena lupa atau tidak tahu hukumnya,
maka ia tidak terkena kewajiban untuk membayar fidyah.[14] Karena
pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori mengerjakan perkara yang
dilarang, dan ia melakukannya karena lupa atau ketidaktahuan.

7. Apabila seseorang bersumpah untuk tidak mengerjakan sesuatu tertentu,
kemudian ia mengerjakannya karena lupa, maka ia tidak berdosa dan tidak
wajib untuk membayar kaffarah. Karena melanggar sumpah termasuk dalam
kategori mengerjakan sesuatu yang dilarang, maka ketika itu dilakukan
karena lupa atau tidak tahu maka ia tidak berdosa dan tidak ada kewajiban
yang harus ditanggung.[15]

Kemudian, sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas bahwa kaidah ini
membahas tentang keberadaan seseorang yang meninggalkan perkara yang
diperintahkan karena lupa atau belum tahu hukumnya. Adapun yang
meninggalkannya tanpa udzur, maka disamping masih mempunyai tanggungan
untuk mengerjakan, maka ia juga berdosa karena sengaja meninggalkannya.
Berbeda dengan orang yang meninggalkan perkara yang diperintahkan atau
mengerjakan perkara yang dilarang karena lupa atau belum tahu hukumnya,
maka ia tidak berdosa.[16] Sebagaimna firman Allah Azza wa Jalla tentang
do’a orang-orang yang beriman :

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. [Al Baqarah/2 : 286]

Disebutkan dalam salah satu hadits qudsi, bahwasanya Allâh Azza wa Jalla
berfirman :

قَدْ فَعَلْتُ
Sungguh Aku telah mengabulkannya. [17]

Wallahu a’lam. [18]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Asybah wan Nazhâ-ir. Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr
as-Suyuthi. Cet. Ke-4, Th. 1418 H/1998 M. Dar al-Kutub al-‘Arabiy. Beirut.
Hlm. 339.
[2]. HR. al-Bukhari, no. 597 dan Muslim no. 684.
[3]. Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah, 40/268-271. Cet. Ke-2. 1404 H/1983 M.
Wizaratul Auqaf, Kuwait..
[4]. HR. al-Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155 serta ad-Dârimi, no.
1725.
[5]. Lihat Taisîrul ‘Allam. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu
Bassam. Cet. I. Th. 1422 H/2002 M. Dar al-Aqidah. Kairo. Hlm. 361.
[6]. Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah. 40/280, Cet. Ke-2. 1404 H/1983 M.
Wizaratul Auqaf, Kuwait.
[7]. Lihat Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawa'idihi. Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin. Cet. I , Th 1426 H. Dar Ibni al-Jauzi. Damam. hlm. 151.
[8]. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu riwayat
Abu Dawud, no. 650. Hadits ini dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albâni dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 1/192.
[9]. Makan daging onta termasuk pembatal wudhu sebagaimana dalam hadits
al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Abu Dâwud, no. 184
dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih Sunan Tirmidzi, No. 81.
[10]. Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin terhadap kitab
al-Qawâ’id wal Ushulul Jami’ah wa al-Furuq wat Taqasimul Badî’atun Nâfi’ah.
Cet. I. Th 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo. Hlm. 133.
[11]. HR. an-Nasai, no. 2331. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Irwâul Ghalîl, No. 914.
[12]. Dam adalah denda yang harus dibayar karena meninggalkan salah satu
dari kewajiban dalam ibadah haji. Dam itu dengan menyembelih seekor kambing
dan membagikannya kepada fakir miskin di tanah haram. Jika tidak mampu maka
berpuasa sepuluh hari, tiga hari ketika masa haji dan tujuh hari jika telah
pulang.. (Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah. 32/72, Cet. Ke-2. 1404 H/1983 M.
Wizaratul Auqaf, Kuwait)
[13]. Ihram adalah niat untuk masuk ke dalam rangkaian manasik haji atau
umrah. (Lihat, al-Mausû’atul Fiqhiyyah. 2/128-129)
[14]. Fidyah adalah denda yang harus dibayar karena mengerjakan salah satu
perkara yang dilarang ketika melaksanakan ibadah haji atau umrah.
(al-Mausû’atul Fiqhiyyah, 32/72-73).
[15]. Lihat Syarhul Qawâ'id as-Sa'diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah
az-Zamil. Dar Athlas al-Kahadhra' li an-Nasyri wa-at-Tauzi'. Hlm. 188.
[16]. Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin terhadap kitab
al-Qawâ’id wal Ushulul Jami’ah wa al-Furuq wat Taqasimul Badî’atun Nâfi’ah.
Cet. I. Th 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo. Hal. 133-134.
[17]. HR. Muslim, no. 126.
[18]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushulul Jami’ah wa al-Furuq wat
Taqasimul Badî’atun Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di. Tahqiq
Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422
H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 78-80. Dengan beberapa
tambahan dari referensi lainnya.

Kirim email ke