AHKAMUL JUM'AT

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://almanhaj.or.id/content/3284/slash/0

1. HUKUM SHALAT JUM’AT [1]
Shalat Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang
telah diberikan beban untuk menjalankan kewajiban agama) dan aqil
baligh sesuai dengan dalil yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at wajib bagi 
setiap mukallaf, dengan ancaman yang sangat keras bagi orang yang 
meninggalkannya [2], dan dengan himmah (tekad) Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam untuk membakar rumah orang-orang yang
meninggalkannya, tidaklah ada hujjah yang lebih jelas daripada
perintah yang termaktub di dalam al-Qur-an yang mencakup setiap
individu muslim, di dalamnya diungkapkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari 
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah...” [Al-Jumu’ah: 9]

Inilah argumentasi yang jelas.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Thariq bin Syihab,
sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَـى كُلِّ مُسْلِمٍ (فِـيْ جَمَـاعَةٍ)
إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ
مَرِيضٌ.

“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjama’ah)[3]
kecuali kepada empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang
yang sedang sakit.”

Hadits ini dishahihkan bukan hanya oleh satu Imam (ulama hadits).

2. IMAM BESAR
Adanya al-Imam al-A’zham (pemimpin besar untuk seluruh umat Islam)
bukan merupakan syarat bagi diwajibkannya shalat Jum’at, seandainya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang yang
menggantikannya di dalam memimpin shalat Jum’at menjadi dalil bagi
kewajiban adanya imam besar, niscaya hal itu pun berlaku bagi
shalat-shalat yang lainnya, karena shalat-shalat tersebut pun dipimpin
oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada zamannya dan oleh
orang-orang yang diperintah olehnya. Karena penyebabnya batal (tidak
sah), maka hukum yang ada karenanya pun batal.

Kesimpulan, syarat tersebut sama sekali tidak berlandaskan kepada
ilmu, bahkan yang mewajibkannya sama sekali tidak benar bahwa hal itu
riwayat dari sebagian Salaf, apalagi dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, karena itu tidak ada manfaatnya memperpanjang masalah
tersebut.[4]

3. JUMLAH JAMA’AH PADA SHALAT JUM’AT
Shalat berjama’ah sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum)bersama 
seorang imam, sedangkan shalat Jum’at merupakan salah satu dari shalat-shalat 
wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada 
shalat berjama’ah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya 
dia tidak akan mendapat-kan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang 
bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang 
dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. 

Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalat-shalat
(berjama’ah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya
bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu
ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan
syarat seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan
atas sebuah dalil, terlebih lagi sikap tersebut merupakan kelancangan
yang teramat sangat dan merupakan keberanian untuk berbicara atas Nama
Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam
syari’at-Nya.

Saya senantiasa merasa aneh kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan
para penulis, bahkan dicantum-kan di dalam buku-buku bimbingan shalat,
mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan mengamalkannya,
padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran, pendapat
tersebut tidak khusus ada di dalam satu madzhab dari berbagai madzhab,
juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi
secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari
Kitabullah! Padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka!

Aduhai! Apa bedanya ibadah ini dengan ibadah yang lainnya? Bisakah
syarat dan rukun-rukunnya serta wajibnya menjadi tetap hanya dengan
dalil, yang jika disodorkan kepada para peneliti niscaya mereka tidak
mungkin menjadikannya sebagai Sunnah, apalagi menjadikannya wajib
apalagi syarat?

Yang benar adalah sesungguhnya shalat Jum’at merupakan kewajiban dari Allah 
Subhanahu wa Ta'la yang merupa-kan syi’ar di antara
syi’ar-syi’ar Islam dan merupakan salah satu bentuk shalat dari
berbagai macam shalat, maka barangsiapa menganggap adanya syarat
tertentu yang berbeda dengan shalat lainnya, maka ucapannya tidak akan
didengar (diterima) kecuali jika berlandas-kan atas dalil.

Jika pada suatu tempat hanya ada dua orang, maka salah satu di antara
keduanya berdiri menyampaikan khutbah, sedangkan yang lainnya
mendengar-kan, kemudian mereka berdua melakukan shalat, [dengan itu
berarti mereka berdua telah melakukan][5] shalat Jum’at.

Kesimpulan, semua tempat layak untuk melaksanakan kewajiban ini [6],
jika di dalamnya ada dua orang muslim sebagaimana shalat berjama’ah
yang lainnya. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa semua dalil yang
menunjukkan sahnya shalat sendirian mencakup sahnya shalat Jum’at,
maka pendapat itu pun tidak jauh dari kebenaran.[7]

4. BANYAKNYA TEMPAT PELAKSANAAN SHALAT JUM’AT YANG DILAKUKAN PADA SATU NEGERI 
(WILAYAH).
Shalat Jum’at sama saja dengan shalat yang lainnya, bisa dilakukan di beberapa 
tempat di satu daerah, sebagaimana shalat berjama’ah lainnya yang dilakukan 
pada tempat yang berbeda pada satu daerah. Barangsiapa meyakini pendapat 
lainnya, maka pendapat tersebut hanya bersandarkan atas akal semata. Pendapat 
tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, seandainya 
keyakinannya berdasarkan atas sebuah riwayat, maka tidak ada satu riwayat pun 
yang mendukungnya.

Kesimpulan, sesungguhnya larangan mendirikan dua Jum’at pada satu
wilayah, walaupun dia mengatakan bahwa di antara syarat sah Jum’at
adalah tidak adanya shalat Jum’at lain pada satu daerah, maka saya
katakan dari manakah pendapat ini berasal? Dan apakah ada dalil yang
menjadi landasan bagi pendapat tersebut? Jika mereka hanya
berlandaskan atas tidak adanya izin dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mendirikan Jum’at selain di masjid Madinah dan 
perkampungan yang ada di sekitarnya. Maka sesungguhnya hal ini -selain tidak 
layak untuk dijadikan dalil akan adanya syarat yang mengandung kebathilan, 
bahkan atas kewajiban yang ada di bawahnya- harus diterapkan pula pada 
shalat-shalat wajib yang lainnya [8], maka
tidaklah sah melakukan shalat Jum’at pada satu tempat yang belum
pernah diizinkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
melakukannya, ini jelas merupakan dalil paling bathil.

Selanjutnya, seandainya batalnya satu Jum’at yang lain dari dua tempat 
pelaksanaan Jum’at [9] ketika Anda mengetahui karena adanya sesuatu penghalang, 
maka apakah penghalang tersebut? Karena pada dasar-nya adalah sahnya suatu 
peribadatan di mana saja ia lakukan dan kapan saja kecuali adanya dalil yang 
menunjukkan larangan, sedangkan di dalam masalah ini sama sekali tidak ada 
larangan.[10]

5. APAKAH YANG HARUS DILAKUKAN OLEH ORANG YANG TERTINGGAL SHALAT JUM’AT?
Shalat Jum’at merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada
hamba-Nya, seandainya seseorang tertinggal melakukannya karena alasan
yang benar, maka hendaknya ada satu dalil yang menunjukkan bahwa ia
wajib menggantikannya dengan shalat Zhuhur. Diriwayatkan di dalam
hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:

وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا.

“Maka barangsiapa tertinggal dua raka’at (Jum’at), maka ia harus
menggantikannya dengan melakukan empat raka’at.” [11]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang ter-tinggal dengan tidak
melakukan shalat Jum’at, maka ia harus menggantikannya dengan
melakukan shalat Zhuhur.

Adapun yang diungkapkan oleh para ulama ahli furu (fiqih) berupa
faidah perbedaan di dalam masalah ini, sama sekali tidak ada dasarnya.

6. APAKAH UKURAN YANG MENUNJUKKAN BAHWA SHALAT JUM’AT TELAH DILAKUKAN
Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
yang bunyi lafazhnya:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمُعَةَ.

“Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dalam shalat Jum’at (dengan berjama’ah), 
maka sesungguhnya ia telah mendapatkan shalat Jum’at.”

Hadits ini memiliki dua belas jalan, al-Hakim menshahihkan tiga jalan
di antaranya. Beliau berkata di dalam kitab al-Badrul Muniir, “Tiga
jalan ini merupakan jalan yang paling baik bagi hadits tersebut
sedangkan yang lainnya lemah.”

Diriwayatkan pula oleh an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan ad-Daraqutni dari
hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, baginya beberapa jalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam kitabnya Buluughul
Maraam, “Sanadnya shahih, namun Abu Hatim [lebih memperkuat][12] untuk 
menjadikannya sebagai hadits Mursal. Semua hadits ini layak untuk dijadikan 
hujjah.[13]

[Disalin dari kitab Al-Ajwibah an-Naafi’ah ‘an As-aalah Lajnah
Masjidil Jaami’ah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani,
Edisi Indonesia APAKAH ADZAN PADA SHALAT JUM’AT SATU KALI ATAU DUA
KALI? Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR - Bogor]
_______
Footnote
[1]. Judul ini dan berikutnya bukan dari penulis (Shiddiq Hasan Khan),
akan tetapi saya sendiri yang membuatnya (al-Albani).

[2]. Komentar saya (Syaikh al-Albani): Telah tetap dalam as-Shahiihain
semisal ancaman ini bagi orang-orang yang meninggalkan shalat
berjama’ah, karena shalat jama’ah hukumnya adalah wajib ‘ain (wajib bagi setiap 
individu muslim), inilah yang paling kuat di dalam madzhab Hanafi dan yang 
lainnya, karena itu wajib diperhatikan dan tidak boleh bermalas-malasan di 
dalam melakukannya.

[3]. Tambahan ini tidak terdapat dalam kitab asli (al-Mau’izhah),
padahal lafazh tersebut ada di dalam Sunan Abi Dawud itu sendiri (no.
1067), demikian pula penulis menyebutkannya di dalam kitab ar-Raudhah
(I/134) dari jalan Abu Dawud dengan tambahan ini, dan Anda akan
mengetahui pentingnya tambahan tersebut di dalam masalah yang akan
dibahas.

[5]. Komentar saya: Dari penjelasan di muka, anda akan mengetahui
kedudukan syarat ini di dalam shalat ‘Id juga

[6]. Tambahan dari teks asli yang dibutuhkan berdasarkan redaksi.
Komentar saya: Di antara tempat-tempat ini adalah perkotaan,
perkampungan, reruntuhan kota, tempat pelesir pada musim panas, dan
tempat rekreasi.

Ibnu Abi Syaibah t telah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

أَنَّهُمْ كَتَبُوْا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُوْنَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ
فَكَتَبَ: جَمِّعُوْا حَيْثُمَا كُنْتُمْ.“

Kaum muslimin pernah menulis surat kepada ‘Umar menanyakan tentang
shalat Jum’at? Lalu beliau menulis surat kepada mereka (yang isinya): 
‘Lakukanlah shalat Jum’at di mana saja kalian berada.’”

Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan pula dari Imam Malik, beliau berkata:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ J فِيْ هذِهِ الْمِيَاهِ بَيْنَ مَكَّةَ
وَالْمَدِيْنَةِ يُجَمِّعُوْنَ.

“Dahulu para Sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di
sekitar perairan ini, antara Makkah dan Madinah mereka melakukan
shalat Jum’at.”

[7]. Komentar saya: Di dalam pendapat ini ada sesuatu hal yang layak
untuk diperhatikan bagi orang yang benar-benar mencermati sabda
Rasulullah j: “Dengan berjama’ah,” di dalam hadits Thariq bin Syihab yang 
diungkapkan terdahulu di dalam masalah pertama. Masalah ini pernah diteliti 
oleh penulis sendiri di dalam kitabnya yang lain
ar-Raudhah (hal. 134) , setelah beliau mengungkapkan perkataannya yang
diungkapkan di atas, beliau mengomentarinya lagi dengan ungkapan,
“Seandainya tidak ada hadits Thariq bin Syihab yang baru saja saya
sebutkan dengan pembatasan kewajiban atas setiap muslim secara
berjama’ah , dan kalau bukan karena tidak adanya riwayat yang
menyatakan bahwa pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah dilakukan secara sendiri-sendiri, niscaya shalat tersebut sah
dilakukan dengan sendiri-sendiri seperti shalat fardhu yang lainnya.

Ini adalah nash dari beliau yang menyatakan bahwa shalat Jum’at tidak sah 
dilakukan dengan sendiri-sendiri dengan landasan hadits Thariq bin Syihab. 
Inilah pendapat yang benar. Saya kira tidak adanya kecermatan penulis di dalam 
buku yang pertama karena sebab-sebab yang telah saya sebutkan, yaitu tidak 
adanya kalimat “Dilakukan dengan berjama’ah” pada hadits. Karena itu tidak ada 
tulisan yang mengingatkan beliau di dalam kitab itu, tidak pula beliau 
mengingatnya. Wallaahu a’lam.

Kemudian saya melihat ash-Shan’ani menuturkan dalam kitab Subulus
Salaam (II/74), “Sesungguhnya shalat Jum’at tidak sah kecuali
dilakukan dengan berjama’ah menurut kesepakatan para ulama.”

[8]. Komentar saya: Demikian pula shalat ‘Id, bahkan lebih kuat lagi, dengan 
alasan bahwa Rasulullah j tidak pernah melakukan shalat ‘Id di Madinah kecuali 
di satu tempat saja, yaitu sebuah lapangan, tetapi sungguh pun demikian mereka 
tidak mengatakan larangan melaksanakan shalat ‘Id pada tempat yang berbeda-beda 
dalam satu waktu dan wilayah!

[9]. Komentar saya: Yang masyhur di lisan kebanyakan orang pada zaman
sekarang ini adalah ungkapan, “Sesungguhnya shalat Jum’at hanya sah bagi shalat 
Jum’at yang pertama di satu tempat saja,” maka ungkapan ini sama sekali tidak 
ada dasarnya di dalam as-Sunnah, dan bukanlah sebuah hadits. Ia hanyalah 
pendapat sebagian ulama asy-Syafi’iyyah.

Sehingga orang yang tidak memiliki ilmu di bidang hadits menyangkanya
sebagai hadits Nabi!! Jika Anda mengetahui landasan orang yang
mengatakan larangan berbilangnya pelaksanaan shalat Jum’at pada satu
waktu di satu wilayah, maka kala itu Anda akan tahu bagaimana hukum
melakukan shalat Zhuhur setelah Jum’at yang sering dilakukan oleh
sebagian orang di sebagian masjid!

[10]. Komentar saya: Ini benar, hanya saja seperti yang telah
diketahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan praktek
shalat Jum’at dengan yang lainnya, karena telah tetap di dalam satu
riwayat bahwa shalat berjama’ah didirikan di beberapa masjid di
Madinah. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu melakukan shalat ‘Isya di belakang Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau pergi kepada kaumnya dan memimpin 
shalat mereka, shalat itu sunnah baginya dan wajib bagi kaumnya, adapun shalat 
Jum’at sama sekali tidak berbilang tempat pelaksanaannya waktu itu, bahkan 
jama’ah masjid yang lainnya datang ke masjid beliau Shallalllahu 'alaihi wa 
sallam dan melaksanakan shalat Jum’at di sana. Sikap Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam yang membedakan praktek kedua shalat tersebut sama sekali 
tidaklah sia-sia, bahkan merupakan hal yang perlu dicermati dengan seksama, hal 
tersebut walau-pun tidak menunjukkan hukum atas syarat yan g telah dibantah 
oleh penulis dalam penafiannya, maka sekurang-kurangnya hal ini merupakan 
sebuah amal yang menyelisihi as-Sunnah bila terdapat beberapa tempat 
pelaksanaan shalat Jum’at jika tidak bersifat darurat. Jika demikian adanya, 
maka hendaknya diusahakan agar tidak memperbanyak tempat pelaksanaan shalat 
Jum’at pada satu wilayah, dan hendaklah berusaha semaksimal mungkin untuk 
menyatukan jama’ah sebagai per-wujudan mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam dan para Sahabat yang ada setelah-nya, dengan demikian terwujudlah 
hikmah dari pelaksanaan shalat Jum’at secara sempurna dan bisa meleburkan 
perpecahan yang diakibatkan dari pelaksanaannya di berbagai masjid; besar atau 
pun kecil, bahkan sebagian masjid hampir saja ber-dampingan, ini adalah sebuah 
kenyataan yang tidak mungkin dikatakan oleh orang yang masih
memiliki indera penciuman fikih yang benar.

[11]. Komentar saya: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam kitab al-Mushannaf (I/126/1), ath-Thabrani di dalam kitab
al-Kabiir (III/38/2) dengan lafazh miliknya dari beberapa jalan dari
Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas’ud, sebagian jalannya shahih dan
dihasankan oleh al-Haitsami di dalam kitab al-Majma’ (II/192), saya
kira alasan penulis menjadikan hadits ini sebagai dalil padahal hadits
ini mauquf adalah karena ia sama sekali tidak mengetahui adanya
Sahabat yang menyelisihi-nya, hadits ini diperkuat oleh hadits Abu
Hurairah yang akan diungkapkan, diperkuat pula oleh satu hadits yang
diungkap-kan di dalam kitab al-Mushannaf (I/206/1) dengan sanad yang
shahih dari ‘Abdurrahman bin Abu Dzuaib, beliau berkata:

خَرَجْتُ مَعَ الزُّبَيْرِ مُخْرِجًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى
الْجُمُعَةَ أَرْبَعًا.

“Aku keluar menuju masjid bersama az-Zubair dengan terlambat pada hari Jum’at, 
lalu beliau melakukan shalat Dzuhur sebanyak empat raka’at.”

‘Abdurrahman yang ada di dalam sanad atsar ini adalah Ibnu ‘Abdillah bin Abi 
Dzuaib, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqaat (VI/122), beliau 
berkata: “Ia adalah seorang yatim yang diasuh oleh az-Zubair bin al-‘Awwam.

Hadits Ibnu Mas’ud memberikan isyarat bahwa hukum asal-nya adalah
shalat Zhuhur, dan itulah yang wajib dilaksanakan bagi orang yang
tertinggal shalat Jum’at. Pendapat ini diperkuat dengan beberapa
alasan:

Pertama, sebagaimana dimaklumi bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan para Sahabatnya melakukan shalat Zhuhur pada hari Jum’at ketika 
beliau berada dalam safar (perjalanan), akan tetapi mereka melakukannya secara 
qashar, seandainya shalat yang dilakukan pada hari Jum’at asalnya adalah shalat 
Jum’at, niscaya beliau akan melakukannya walaupun ada di dalam sebuah safar 
(perjalanan).

Kedua, ‘Abdullah bin Ma’dan meriwayatkan dari neneknya, dia berkata bahwa 
‘Abdullah bin Mas’ud berkata kepada kami:

إِذَا صَلَّيْتُنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَعَ اْلإِمَـامِ فَصَلِّيَنَّ
بِصَلاَتِهِ، وَإِذَا صَلَّيْتُنَّ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ فَصَلِّيَنَّ
أَرْبَعًا.

“Jika kalian melakukan shalat Jum’at beserta imam, maka laku-kanlah seperti 
shalatnya, dan jika kalian melakukannya di rumah kalian, maka lakukanlah dengan 
empat raka’at.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/207/2), dan sanadnya shahih
kepada nenek Ibnu Ma’dan, adapun dia, aku tidak mengenalnya. Yang
jelas dia adalah seorang Tabi’in dan bukan Sahabat. Akan tetapi hadits ini 
diperkuat oleh riwayat dari al-Hasan tentang seorang wanita yang hadir di dalam 
masjid pada hari Jum’at bahwa ia cukup dengan melakukan shalat seperti 
shalatnya imam. Di dalam riwayat lain, beliau berkata:

كُنَّ النِّسَاءُ يَجْمَعْنَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، وَكَـانَ يُقَالُ: لاَ تَخْرُجْنَ إِلاَّ تَفَلاَتٍ لاَ
يُوْجَدُ مِنْكُنَّ رِيْحٌ طَيِّبٌ.

“Para wanita pada zaman Nabi keluar bersama Nabi j, dan dikatakan
kepada mereka, “Janganlah kalian keluar kecuali tafalaat, yakni tidak memakai 
wewangian sama sekali.”

Sanad hadits ini shahih.

Sedangkan di dalam riwayat lain dari jalan Asy’ats dari al-Hasan,
beliau berkata:

كُنَّ نِسَاءُ الْمُهَاجِرِيْنَ يُصَلِّيْنَ الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَحْتَبِسْنَ بِهَا مِنَ
الظُّهْرِ.

“Dahulu para wanita Muhajirin melakukan shalat Jum’at bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka meninggalkan
shalat Zhuhur, karena merasa cukup dengan shalat Jum’at.”

Komentar saya: Barangsiapa berpendapat bahwa hukum asal shalat pada
hari Jum’at adalah shalat Jum’at dan orang yang ketinggalan
melakukannya atau orang yang tidak wajib atasnya shalat Jum’at
-seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan wanita-, maka wajib
baginya hanya melakukan dua raka’at shalat Jum’at, sungguh orang yang 
berpendapat demikian telah menyalahi nash tanpa alasan. Kemudian saya melihat 
ash-Shan’ani menuturkan (II/74) seperti itu dan sesungguhnya orang yang 
ketinggalan dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus melakukan shalat 
Zhuhur menurut kesepakatan para ulama, karena ia adalah penggantinya, dan 
inilah pendapat yang disepakati (ijma’).

Demikianlah yang beliau ucapkan, dan kami telah mentahqiqnya di dalam
risalah tersendiri.

[12]. Pada naskah asli (dan menetapkannya), ini adalah sebuah
kesalahan yang telah saya perbaiki dari kitab Buluughul Maraam.

[13]. Maksud ungkapan penulis tersebut adalah sebagai bantahan bagi
para ulama -mereka adalah al-Hadawiyah- yang menyata-kan bahwa
mengikuti khutbah merupakan syarat, yang tanpa-nya shalat Jum’at
menjadi tidak sah. Hadits ini merupakan hujjah yang mematahkan
pendapat mereka sebagaimana diungkapkan oleh ash-Shan’ani dalam
kitabnya, Subulus Salaam. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (I/126/1) dari Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata,
“Diriwayatkan kepadaku dari ‘Umar bin al-Khaththab, sesungguhnya ia berkata:

إِنَّمَا جُعِلَتِ الْخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ، فَإِنْ لَمْ
يُدْرِكِ الْخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا.

“Sesungguhnya khutbah itu sebanding dengan dua raka’at, maka
barangsiapa tidak mendapati khutbah, hendaknya ia melakukan shalat
sebanyak empat raka’at.”

Riwayat ini tidak shahih, karena terputusnya jalan antara Yahya bin
Abi Katsir dengan ‘Umar.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke