http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/

http://www.almanhaj.or.id/content/1686/slash/0

DEFINISI TASBIH, NAMA-NAMA TASBIH, BAHAN DASAR PEMBUATANNYA
http://www.almanhaj.or.id/content/2090/slash/0

________________________________
From: Abu Abdillah <abdullah_...@hotmail.com>
To: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
Sent: Fri, November 26, 2010 3:59:16 PM
Subject: [assunnah] >>Sejarah Tasbih<<

  
SEJARAH TASBIH DAN HUKUMNYA
Oleh
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin
http://www.almanhaj.or.id/content/1764/slash/0

Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu 
dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, 
sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah 
(dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ 
أَحْيَانِهِ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR 
Bukhari dan Muslim].

Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak 
terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan 
yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam 
dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. 
Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak 
bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir 
muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, 
di 
Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat 
dengan jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga 
terikat 
dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam. 
Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah, waktu dan cara, misalnya 
sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 


مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ 
اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ 
تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ 
وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ 
شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ 


"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, 
“alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 
dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la 
syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir” (لَا 
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ 
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ), akan diampuni kesalahannya, sekalipun 
seperti buih lautan" [HR Muslim dari Abu Hurairah]. 


BAGAIMANA CARA RASULULLAH SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENGHITUNG DZIKIR 
(SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT? 

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar Ulama di 
Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah tsabit (jelas dan 
ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk 
perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir), bahwa beliau menghitung dzikir 
dengan jari tangannya, tidak pernah dengan yang lainnya. Demikian itulah yang 
diamalkan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam 
kebaikan 
hingga hari ini. Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan 
di kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam, yaitu 
menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan saja dan di 
mana pun tempatnya.[1]

Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, 
ketika membahas cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih 
tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: 
Setiap 
jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu 
tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima 
belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah 
dengan satu jari hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan 
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam 
bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ 
صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ 
تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ 
صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih 
shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak 
kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu 
cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR Bukhari dan Muslim]. 


Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari [2]. 
Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung 
dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, 
beliau berkata: 


رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ 
التَّسْبِيحَ 
قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan 
dengan tangan kanannya". [3]

Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang 
menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam biji-bijian 
terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan benang atau tali, 
yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, 
tasaabih, nizaam, atau alat. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al 
mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), 
hablul washl atau sauth asy syaithan (cambuk syaitan). Karena dzikir merupakan 
bagian dari ibadah atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui 
hukumnya, agar benar dalam mengamalkannya. Bagaimana hukum menggunakan 
alat-alat 
tersebut?

Sebenarnya, sudah banyak ulama yang menulis dan membahas hukum penggunaan alat 
tasbih untuk menghitung dzikir [4]. Menurut Syaikh Bakr Abu Dzaid, dari ulama 
yang terdahulu ataupun yang sekarang (kontemporer), yang pendapatnya bisa 
dijadikan sebagai hujjah, menunjukkan kesimpulan, bahwa tidak ada satupun 
hadits 
yang shahih yang membolehkan menggunakan selain jari tangan untuk menghitung 
dzikir.

Terhitung ada tiga hadits yang sering dijadikan dalil bolehnya menggunakan alat 
tasbih untuk menghitung dzikir, diantaranya sebagai berikut: 


Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam) yang berbunyi:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ 
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ 
آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا 
أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ 
قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ 
غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ 
حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي 
الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: 
Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) 
yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih 
dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih 
baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka 
Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah : 

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. (Maha Suci Allah sejumlah apa yang 
diciptakan 
oleh Allah dari sesuatu).” [5] 


Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى 
امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ 
أَلَا 
أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ 
اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ 
فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ 
عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ 
مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ 
أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.

"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di 
tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung 
tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang 
lebih 
mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah 
sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, 
Maha 
Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah 
ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti 
itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا 
بِاللَّهِ seperti itu.” [6]

Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia berkata: 

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى 

"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil." [7] 

Jawaban dan bantahan terhadap ketiga riwayat di atas:
Hadits Abu Hurairah sudah disepakati kepalsuannya, sehingga tidak bisa 
dijadikan 
hujjah. Hadits Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi Waqqash, seandainya dianggap 
shahih sanadnya dan bisa diterima, tetapi apakah kedua hadits tersebut 
menunjukkan bolehnya memakai tasbih untuk menghitung dzikir?. 


Pada hadits Shafiyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempertanyakan 
perbuatan Shafiyah yang mengumpulkan biji-bijian di tangannya. Hal ini 
menunjukkan pengingkaran dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena 
ia melakukan perbuatan yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain. Itulah 
sebabnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkannya sesuatu yang 
lebih 
baik, yaitu lafadz tasbih yang benar. Karena, jika tindakan Shafiyah yang 
mengumpulkan bijian itu benar, mestinya tidak akan diingkari, bahkan ia akan 
dimotivasi untuk melanjutkannya atau paling tidak dibiarkan tetap melakukannya. 
Dengan demikian, sesungguhnya hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan 
dalil bolehnya menggunakan tasbih atau kerikil untuk menghitung dzikir.

Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat wanita yang 
memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan dijarkan kepadanya dan lebih 
afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih mudah), bukan berarti yang lainnya 
itu baik atau mudah juga. Ushlub (metode) seperti ini sering dipakai dalam 
bahasa Arab, sebagaimana firman Allah :

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً

"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih 
indah tempat istirahatnya". [Al Furqon : 24].

Syaikh Abdurraman As Sa’di menyatakan,”Sesungguhnya, penggunaan isim tafdhil 
(menunjukkan yang lebih baik) pada sesuatu yang tidak terdapat pada yang kedua. 
Karena tidak ada kebaikan pada ahli neraka dan tempat tinggalnya, dibandingkan 
dengan neraka.” [8]

Contoh lainnya, juga sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

"Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan 
Dia?" 
[An Naml : 59].

Apakah bisa disamakan kebaikan yang ada pada Allah, dengan yang ada pada 
sekutu-sekutuNya? Ini suatu kemustahilan. 


BAGAIMANA SEJARAH MUNCULNYA ALAT TASBIH? DAN BAGAIMANA ALAT TERSEBUT BISA MASUK 
KE DUNIA ISLAM, HINGGA KEMUDIAN MENJADI BAGIAN DARI RITUAL IBADAH KAUM 
MUSLIMIN? 

Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang [9]. Syaikh Bakr Abu Dzaid 
menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M 
orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al 
Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah 
kemudian 
berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al 
Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya sebagai berikut:

Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat 
yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga 
dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, 
kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan 
biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang 
kecil.

Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk 
menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan 
persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan 
dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.

Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab 
Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan 
tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih 
diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari 
sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak 
mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah 
sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. 
Ia 
merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman 
Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah 
tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. 
Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali 
membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang 
dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami 
dan 
ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal 
oleh 
sahabat dan juga tabi’in. 


Ketika pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya dengan 
kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat, seperti Abdullah 
bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras; menganggapnya melakukan 
perbuatan bid’ah yang besar. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, 
seorang tabi’in senior, telah melarang puterinya melakukan perbuatan seperti 
itu, sebagaimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah 
mengingkari Shafiyah dan memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal

Banyak atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari 
orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara 
atsar tersebut ialah:

- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang 
menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?” [10]

- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata: 

كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ 
حَسَنَاتِهِ 


Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah 
mereka 
menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah?” [11]

- Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita 
yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya 
dan 
membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan 
kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului 
(Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para 
sahabatnya.” [12]

- Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan 
tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. 
Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka 
dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu telah melakukan bid’ah yang 
zhalim 
dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi.” [13]

- Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud 
terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan 
bertahlil dengan kerikil. [14]

Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali 
memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan 
oleh 
Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, 
Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras [15]. Sehingga, 
sampai sekarang hampir semua kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf 
menjadikan alat tasbih ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak 
jarang pula mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh 
orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai wasilah 
(perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya dengan membasuhnya 
dan meminum airnya, na’uzubillah. Dapat dipastikan, bahwa kelompok-kelompok 
yang 
menjadikan thariqat atau tasawuf sebagai landasan manhajnya, akan menjadikan 
alat tasbih ini sebagai syiar ibadah mereka. 


Ada juga orang yang menggunakannya dengan alasan karena dzikirnya banyak, dan 
sering lupa atau keliru jumlahnya kalau tidak menggunakan alat tasbih.

Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal Zauq 
menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang 
dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahlu dzikir 
wal aurad (istilah untuk mereka yang “banyak dzikirnya” di kalangan sufi dan 
tharikat), kalau mereka menggunakan jarinya untuk menghitung dzikirnya yang 
banyak, pasti banyak salahnya dan disibukkan dengan jarinya. Dan inilah hikmah 
penggunaan tasbih. 


Subhanallah. Adakah ketentuan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
dzikir muqayyad (terikat dengan waktu, tempat dan jumlah) yang lebih dari 
seratus? Perintah Allah Jalla Jalaluhu seperti dalam Al Qur’an, artinya: Wahai 
orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. 
(Al Ahzab:35) dan lainnya, tidak menentukan bentuk dan jumlah tertentu untuk 
berdzikir. 


Jumlah dzikir seperti seratus atau yang kurang dari itu, merupakan ta’abbudiyah 
(ketentuan dari Rasulullah) yang wajib dipatuhi oleh orang yang mengaku sebagai 
pengikut Rasulullah. Ibnu Mas’ud menasihatkan, bahwa sedikit dalam sunnah jauh 
lebih baik daripada banyak namun bid’ah. 


Perlulah diingat, janganlah hanya dzikir (kebaikan) yang kita hitung, namun 
kesalahan yang pernah dilakukan juga perlu dipikirkan, sebagaimana nasihat Umar 
bin Khattab : Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab”.[16] Artinya, yang harus 
dihisab (dihitung) ialah semua yang telah kita lakukan, baik berupa kebaikan 
maupun kejelekan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ 

"Jauhilah yang diharamkan. Engkau akan menjadi orang yang paling baik" [17]. 

Orang yang melakukan perbuatan bid’ah sering berdalih, bahwa tidak semua yang 
tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya 
dianggap bid’ah. Misalnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak 
memakai tasbih, bukan berarti itu tidak boleh menggunakannya. Karena mungkin 
tasbih waktu itu belum ada, atau menggunakan tasbih hanya sebuah sarana agar 
lebih khusyu’ dalam berdzikir. 


Untuk menjawab masalah ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, salah satu murid 
senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menulis bab tersendiri dalam 
kitabnya Ushul Al Bida’ yang kesimpulannya, bahwa semua ibadah yang tidak 
pernah 
disyari’atkan oleh Rasulullah, baik dengan perkataannya dan tidak pernah beliau 
lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu adalah bertentangan 
dengan sunnah. Karena sunnah itu ada yang fi’liyah (dilakukan) dan ada yang 
tarkiyah (yang tidak dilakukan oleh Rasulullah). Dengan demikian, ibadah yang 
tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk sunnah 
yang harus ditinggalkan. 


Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berjanji untuk melakukan shalat 
semalam suntuk dan tidak akan tidur, yang lainnya akan berpuasa sepanjang masa 
dan tidak akan berbuka, dan yang terakhir tidak mau menikah, maka Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya dan bersabda, "Demi Allah, sayalah 
(orang) yang paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertaqwa 
kepadaNya; tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi 
wanita. Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka bukan termasuk 
golonganku." 
[HR Bukhari Muslim dari Anas bin Malik].

Pada prinsipnya, tiga sahabat tadi melakukan perbuatan yang disunnahkan oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti: berpuasa, iffah (menjaga 
diri) dan shalat malam, namun dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau mengingkarinya. 
Hadits 
di atas sekaligus membantah, bahwa niat yang baik, kalau tidak sesuai dengan 
sunnah (praktik) Rasulullah, maka tidak akan menjadi sebab suatu amal perbuatan 
itu diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab, dalam kitab Fadl Ilmu Salaf, hlm. 31 
menyebutkan, apa yang telah disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka 
tidak 
boleh diamalkan; karena mereka tidak meninggalkan sesuatu, kecuali atas dasar 
ilmu bila sesuatu hal dimaksud tidak boleh diamalkan. 


KESIMPULAN 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah 
menggunakan alat tasbih dalam menghitung dzikirnya; dan ini merupakan sunnah 
yang harus diikuti. Seandainya menggunakan tasbih merupakan kebaikan, niscaya 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan yang 
pertama 
sekali melakukannya. 


Oleh sebab itu, orang yang paham dan berakal tidak akan menyelisihi sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikir dengan jari 
tangannya, menggantinya dengan hal-hal yang bid’ah, yaitu menghitung dzikir 
dengan tasbih atau alat penghitung lainnya. Inilah yang disepakati oleh seluruh 
ulama pengikut madzhab, seperti yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah. [18]

Alangkah indah pesan Imam Asy Syafi’i rahimahullah ,”Kami akan mengikuti sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam melakukan suatu ibadah 
atau 
dalam meninggalkannya.” Abdullah bin Umar menambahkan,”Semua bid’ah adalah 
sesat, meskipun manusia memandangnya baik.” [19]

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, Tashih Ad Du’a, Riyad, Daar Al 
Ashimah, 
1419, hlm. 136. 

[2]. Penulis menghadiri kajiannya dan melihat langsung beliau mempraktikkan hal 
tersebut. Hal ini, kata beliau, hanya sebuah ijtihad saja, tidak harus begitu. 
Yang penting menghitungnya dengan jari tangan kanan sebagaimana dalam hadits 
Rasulullah di atas. 

[3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502. 
[4]. Syaikh Bakar Abu Dzaid menyebutkan beberapa kitab yang membahas masalah 
ini. Diantaranya, kitab: Al Minhah fi As Subhah; kitab Al Haawi, II/ 139-144 
karangan As Suyuthi; Nuzhatul Fikar fi Subhati Adz Dzikr oleh Al Kanawi; Kamus 
Taajul Arus pada kalimat “sabaha”; Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam, juz 22/506; 
Madaarij As Salikiin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, III/ 120; As Silsilah Adh 
Dhaifah, Syaikh Al Albani, no. 83; Nailul Authar, II/166, Majalah Al Azhar, 
Edisi 21 Tahun 1949M hlm. 62-63; Majalah Al Wa’i Al Islamy, Edisi 308; Fatawa 
Lajnah Daimah, no. 2229, 6460, 4300, dan masih banyak lagi kitab dan media 
lainnya yang membahas masalah tersebut. 

[5]. HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, 
kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.” Ibnu Hajar dalam 
kitab 
At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga gurunya, Kinanah Maula 
Shafiyah 
didhaifkan oleh Al Adzdi. 

[6]. HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan 
gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/ 
1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 
1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar 
menganggapnya “shaduuq”. 

[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya 
terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits 
munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002. 

[8]. Tafsir Karimurrahman, II/ 190
[9]. Sejarah lengkapnya bisa dibaca di Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah, juz 
11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Muyassarah, 1/958; Al Mausu’at Al 
Arabiyah Al Alamiyah, 23/157; Fatawa Rasyid Ridha, 3/ 435-436, dan lainnya. 

[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7657, 
dalam 
sanadnya terdapat jahalah (orang yang tidak diketahui). 

[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 
dengan 
sanad yang shahih. 

[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthub dalam kitab Al Bida’ wa An 
Nahyu 
‘Anha, hlm. 12 dengan sanad yang shahih, tetapi ada inqitha’, karena Ash Shalat 
tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud.
[13]. Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa An 
Nahyu ‘Anha, hlm. 11 dengan sanad yang shahih. Juga ada inqitha’, karena Sayyar 
tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud.
[14]. Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits 
no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al 
Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash 
Shahihah, hadits no. 2005. 

[15]. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), 
Cet. Kelima, hlm. 20. Untuk mengetahui hubungan antara tasawuf dengan agama 
Hindu, Budha dan lainnya, lihat di dua kitab Ihsan Ilahi Dzahir, Mansya’ Wa Al 
Mashadir; telah diterjemahkan dengan judul Sejarah Hitam Tasawuf Latar Belakang 
Kesesatan Sufi, oleh Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2001), Cet.I. dan 
Dirasatun Fi At Tashawuf; telah diterjemahkan dengan judul Tasawuf, Bualan Kaum 
Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi? oleh Abu Ihsan Al Atsari, (Jakarta, Darul Haq, 
2001), Cet. I. 

[16]. Ingat, riwayat ini bukanlah hadits, tetapi perkataan Umar bin Khattab. 
Lihat Ibnu Katsir IV/ 414 dan Silsilah Adh Dhaifah, no. 1201.
[17]. Shahihul Jami’, I/ 82 no. 100.
[18]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 22/506; Al Waabil Ash Shayyib, Ibnul 
Qayyim, Fashl 68; Nailul Authar, Syaukani, II/353 dan Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 
11/ 284. 

[19]. Lihat kembali bahaya bid’ah, As Sunnah, Edisi 08/Tahun VII/1424 H hlm. 
31-32. 

 


      


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke