From: asmaa_askarotil...@yahoo.co.uk Date: Mon, 23 Apr 2012 04:51:23 +0100 Assalamualaykum warahmatullah wabarokatuh
Afwan, ana ingin tanya, ana selesai bekerja jam 17.00 dan berhubung letak kerja ana di gunung, ana sampai di kos di daerah kota sekitar jam 19.00 dan sudah waktu isya. Ana menggunakan bis karyawan. Bagaimanakan ana sebaiknya menjalankan sholat maghrib apakah di jama' ta'khir atau dilakukan diperjalanan (di bus)? Yang kedua, bagaimanakah hukum membuka jilbab di depan wanita kafir, karena kos an bukan kos khusus muslimah Demikian, jazakumullah khoiron katsiiron Wassalamualaykum warahmatullah wabarokatuh >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 1. Shalat Dalam Kendaraan (mobil, kereta, pesawat terbang, kapal laut) Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana seorang muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu ? Atau menunggu sampai tiba di airport, jika akan tiba pada akhir waktu shalat ? Jawaban. Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannhya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisayaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya. maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Taghabun : 16] Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Imran bin Al-Hushain Radhiyallahu 'anhu di kala ia sedang sakit. "Artinya : Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring" [HR Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab Taqshirus Sahalah 1117] Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dengan tambahan. "Artinya : Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang" Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing, maka itupun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada. Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut. Wallahu Waliyut Taufiq [Fatawa MuhimahTata'allaqu Bish Shalah, hal 40-41, Syaikh Ibnu Baz] Pertanyaan. Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika saya sedang bepergian dengan mengenadarai pesawat, lalu tiba waktu shalat, bolehkan saya shalat di dalam pesawat atau tidak ? Jawaban. Alhamduillah. Jika waktu shalat sementara pesawat sedang terbang pada rutenya dan dikhawatirkan habisnya waktu shalat tersebut sebelum landing di salah satu airport, maka para ahlul ilmi telah sepakat akan wajibnya pelaksanaan shalat sesuai kemampuan dalam ruku', sujud dan menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah Ta'ala. "Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Taghabun : 16] Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam "Artinya : Jika aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah apa yang kalian sanggupi" [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Hajj 1337] Adapun jika ia mengetahui bahwa ia akan tiba sebelum habisnya waktu shalat sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakannya, atau shalatnya termasuk yang bisa dijama' dengan shalat lainnya, seperti shalat Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya, atau ia tahu bahwa pesawat akan landing sebelum habisnya waktu shalat yang kedua, yaitu sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakan keduanya, maka para ahlul ilmi membolehkan pelaksanaannya di dalam pesawat karena wajibnya perintah pelaksanaan ketika masuknya waktu shalat. Sebagian Ahlul ilmi dari golongan Maliki berpendapat tidak sah melaksanakannya di dalam pesawat, karena syarat sahnya shalat adalah diatas tanah atau di atas sesuatu yang berhubungan langsung dengan tanah, seperti kendaraan atau kapal, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Tanah ini telah dijadikan tempat sujud bagiku dan dijadikan alat bersuci" [Al-Bukhari, kitab Tayamum 335, Muslim kitab Al-Masajid 521] [Fatawa Islamiyah, Al-Lajnah Ad-Da'imah 1/227] Selengkapnya di http://almanhaj.or.id/content/129/slash/0 2. MembukaJilbabdidepanwanitaKafir Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami mempunyai tetangga kafir (nasharani), bagaimana sikap kami apabila mereka memberikan hadiah, bolehkah kami terima ? Bolehkah kami menampakkan wajah di hadapan mereka atau lebih sekedar wajah? Bolehkah kami membeli sesuatu kepada orang-orang kafir? Jawaban Berbuat baiklah kepada orang yang telah berbuat baik kepada anda, meski mereka adalah orang-orang Nashrani, apabila mereka memberikan hadiah kepada anda maka balaslah kebaikan mereka itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menerima pemberian hadiah dari pemebesar Romawi yang Nashrani dan pernah pula menerima pemberian orang Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim" [Al-Mumtahanah : 8-9] Anda diperbolehkan untuk menampakkan di hadapan mereka apa yang diperbolehkan untuk anda tampakkan di hadapan wanita-wanita muslimah, boleh mengenakan pakaian di hadapan mereka yang biasa anda kenakan di hadapan wanita muslimah serta diperbolehkan pula bagi anda untuk membeli kebutuhan anda yang mubah dari mereka. [Majallatul Buhuts Al-Islamiyah 42/96.] http://almanhaj.or.id/content/1148/slash/0 Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa saja yang boleh ditampakkan oleh wanita muslimah di hadapan wanita kafir, seperti beragama Hindu? Benarkah tidak diperbolehkan baginya menampakkan kecuali wajahnya saja? Jawaban Yang benar adalah bahwa yang boleh ditampakkan wanita di hadapan wanita, baik itu wanita kafir atau muslimah, adalah apa yang ada di atas pusarnya dan apa yang ada di bawah lututnya. Adapun apa yang ada di antara pusar dan lututnya adalah aurat dihadapan orang lain. Tidak boleh seorang wanita menampakkannya di hadapan wanita lain, baik itu muslimah atau bukan, kerabat atau bukan, seperti aurat laki-laki dihadapan laki-laki lainnya.Wanita boleh melihat dada wanita lain, kepalanya, betisnya dan lain sebagainya, dan laki-laki boleh melihat dada laki-laki, kepalanya, betisnya dan sebagainya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita kafir tidak boleh melihat wajah wanita muslimah adalah pendapat yang lemah, sebab para wanita Yahudi dan penyembah berhala pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk suatu keperluan, dan tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijab dari wanita-wanita kafir tersebut, sedangkan mereka adalah wanita yang paling bertakwa dan yang paing utama. [Majallatul Buhuts Al-Islamiyah, 33/113] http://almanhaj.or.id/content/916/slash/0 Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami mempunyai pembantu wanita, bolehkah ia membuka auratnya di depan para penghuni rumah yang perempuan, perlu diketahui ia adalah wanita muslimah? Jawaban Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah, kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. أَوْ نِسَائِهِنَّ atau wanita-wanita” [An-Nur : 31] Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir. Disini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya. Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki. Demikian itu itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ini mengangkat pakaiannya karena suatu hajat atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya. Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung keburukan dan kerusakan. [Durus Wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/264] Selengkapnyabaca di http://almanhaj.or.id/content/1878/slash/0 Wallahu 'alam