Resensi Buku Kafka on the Shore (Haruki Murakami)


  Jepang dan  Spiritualisme Baru 
  
  Oleh Imam Muhtarom
  
  Sumber: INDO POS, Minggu, 13 Apr 2008
  
  
  
 TATA sosial masyarakat Barat yang ditopang pandangan materialisme mendorong  
munculnya gagasan di luar materialisme, semacam New Age baik di ranah pemikiran 
 maupun di ranah penulisan novel. Di ranah pemikiran munculnya penulis Fritjof  
Capra dengan karya yang sudah dalam terjemahan, Titik Balik Peradaban. Karya  
Capra ini intinya ingin menjelaskan implikasi dari disiplin fisika ketika  
mengalami ketidakpastian dalam hal menjelaskan materinya sebagai dasar manusia  
modern menjelaskan keberadaannya. Objektivitas berada dalam tahap krisis dan  
subjektivitas yang sebelumnya dianggap tidak relevan dalam keilmuan justru  
mendapat tempat. Dalam keadaan semua nyaris seragam oleh sifat universal dari  
rasionalitas, maka sesuatu yang subjektif dan nyeleneh justru mendapat tempat.  
Bukan hanya sifatnya yang menarik, tetapi sesuatu yang subjektif dan partikular 
 dapat digunakan untuk melihat sesuatu yang sudah dianggap ada begitu saja 
(taken  for granted).
 
 Reaksi terhadap rasionalitas ini juga muncul dalam penulisan novel. Misalnya  
novel Chelestine Prophecy karya James Reidfield, Sang Alkemis karya Paulo  
Coelho, dan juga belakangan yang agak berbeda Kafka On the Shore karya Haruki  
Murakami. Untuk James Reidfield dan Paulo Coelho sudah umum diketahui bahwa  
keduanya memiliki corak New Age. Sementara bisa dikatakan berlebihan  
mengategorikan Kafka On The Shore sebagai karya bercorak New Age. Selain secara 
 definitif karya-karya Haruki Murakami tidak disemangati New Age, misal dalam  
karya Norwegian Woods yang terkenal itu. Dalam novel tersebut Murakami tampak  
menggambarkan bagaimana Jepang terutama generasi penggemar musik karya Beatles  
tidak mewakili opini bahwa masyarakat Jepang memiliki hubungan yang erat dan  
mempraktikkan tradisi kejepangannya beratus tahun lampau dalam kehidupan  
keseharian mereka. Jelas semangat dan karya-karya Murakami berbeda, bahkan  
bertentangan dengan penulis macam Yukio Mishima yang bersifat
 heroik dengan  nilai tradisi Jepang. Pada Yukio Mi
 shima, mewakili opini umum tentang Jepang dengan segala tradisinya. Namun,  
Murakami berada dalam garis yang sama dengan Kobo Abe, terutama dalam hal sikap 
 realistis terhadap perubahan zaman yang menimpa Jepang dan penggambaran yang  
surreal. 
 
 Meskipun demikian, karya Murakami ini tetap bisa dipahami sebagai novel dengan 
 inspirasi New Age sekalipun ia harus berbeda dengan karya-karya New Age arus  
utama. Ketika sebuah karya menunjukkan keterkaitan dengan tema tertentu tetapi  
pada saat yang sama berhasil keluar dari jebakan arus utamanya, bukankah hal  
semacam itu justru yang layak dibicarakan? 
 
 NOVEL Kafka on the Shore, Labirin Asmara Ibu dan Anak ini berawal dengan dua  
titik cerita berbeda yang berkembang sendiri dengan akhir saling melengkapi. 
Apa  yang dilakukan tokoh berusia 16 tahun dengan meninggalkan (lari?) dari 
rumah  ayahnya secara tidak langsung tertolong oleh tokoh Nakata, orang tua 
yang  kehilangan ingatannya pada saat serangan AS ke Jepang pada Perang Dunia 
II.  Kafka Tamura, tokoh belia tersebut, meninggalkan rumah dengan alasan tak 
begitu  jelas. Ia mengalami perjalanan tak terduga oleh pertemuannya dengan 
seorang  perempuan yang ia duga kuat kakaknya dan seorang perempuan paro baya 
yang ia  duga ibunya. Sepanjang perjalanan, Kafka Tamura selalu tergiang bahwa 
di masa  kecil ayahnya berkata suatu saat nanti ia akan membunuh ayahnya dan 
meniduri  ibunya. Memang, dalam perjalanan menjauh dari Tokyo ke arah selatan 
tersebut  serta merta ia mendengar ayahnya terbunuh dan salah satu yang layak 
dijadikan  saksi tak lain anaknya, Kafka Tamura.
 Perjalanan yang mulanya terkesan santai  menjadi tak ubahnya pelarian.
 
 Sesungguhnya kabar tentang matinya sang ayah tak lain pemicu suasana menjadi  
tegang seperti halnya tokoh tua, Nakata, yang tak tega menyaksikan penderitaan  
seseorang lalu meminta Nakata membantunya mengakhiri hidupnya. Dalam keadaan  
tegang dan pikiran kacau balaulah kedua tokoh ini mengalami peristiwa yang  
berarti. Si Kafka Tamura diungsikan oleh seorang karyawan perpustakaan di 
sebuah  hutan kecil yang kemudian mengalami peristiwa spiritual berupa 
kemampuan masuk  dalam dunia kematian. Pengalaman spiritual yang dialami Kafka 
Tamura bersamaan  dengan ketika tokoh Nona Saeki, pewaris perpustakaan dan 
diduga sebagai ibu  Kafka Tamura, meninggal setelah menyerahkan catatan 
hariannya ke Nakata dan  meminta membakarnya. 
 
 Dalam hutan yang digambarkan dengan surreal untuk mengingatkan kepada pembaca  
bahwa kisah tersebut berada di alam gaib, Nona Saeki muncul guna memberi tahu  
Kafka Tamura untuk segera keluar dari hutan selagi memiliki kesempatan. Ini  
mengingatkan pembaca pada kisah-kisah mati suri yang sering terjadi, atau juga  
terjadi dalam pengalaman orang-orang yang paham dan percaya pada alam gaib.  
Berkat kedatangan Nona Saeki ini Kafka Tamura dapat kembali ke kehidupan nyata. 
 
 Sesungguhnya yang menjadi inti cerita ini tak lain berbagai kemungkinan  
pengalaman manusia yang paling jauh dan seseorang dapat menjadikannya sesuatu  
yang berarti terlepas orang lain mempercayainya atau tidak. Pengalaman pada  
dasarnya personal. Yang mengetahui dan mampu menghayati adalah orang yang  
mengalaminya saja. Keintiman pengalaman ini tergambar jelas pada diri tokoh  
Nakata yang memahami hingga bisa berkomunikasi dengan kucing, juga kemampuannya 
 untuk menangkap naluri yang sifatnya adi-manusiawi.
 
 Pengalaman spiritual dari tokoh Nakata dan Kafka Tamura jelas memiliki makna  
yang dalam saat diperhadapkan dengan persetubuhan antara Kafka Tamura dan Nona  
Saeki maupun hasrat seksualnya dengan seorang gadis bernama Sakura. Nona Saeki  
maupun gadis satu seperjalanan Kafka ini dapat diduga merupakan ibu dan kakak  
kandung Kafka sendiri. Tapi, teks novel ini tidak memberi penjelasan tegas  
kecuali ungkapan "aku paham" ketika Kafka Tamura bertanya kepada Nona Saeki  
perihal status seorang ibu. Sedangkan dalam kaitannya dengan Sakura  
penjelasannya hanya dalam mimpi. 
 
 Sesungguhnya yang menjadi persoalan bukan benar-tidaknya ibu atau kakak 
kandung,  melainkan peristiwa yang dialami Kafka Tamura dalam usianya ke-16 dan 
bagaimana  novel tersebut menggiring pembaca berada dalam keadaan mendua. 
Keadaan mendua  antara benar-tidaknya status ibu-anak dalam kaitan hubungan 
seksual dua tokoh  ini, si penulis memasukkan pengalaman spiritual. Pembaca, 
terutama pembaca  konservatif dalam hal keyakinan, tentu terpukul dengan 
permainan cerita novel  karya Murakami ini. Kebanyakan akan "tersesat" oleh 
labirin yang sengaja  diciptakan penulis untuk menguji ketelitian dan 
kecerdasan pembaca dalam  berhadapan dengan medan tekstual yang rumit. 
 
 Pengalaman spiritual seringkali tidak lahir dari tempat-tempat peribadatan.  
Pengalaman spiritual yang ekstrem pernah dicontohkan dalam novel Kuil Kencana  
karya Yukio Mishima berupa meletupnya hasrat seksual justru ketika berhadapan  
dengan seseorang yang jelek dan bukannya yang cantik, semakin mendapat tekanan  
dalam novel karya Hakuri Murakami ini. Rupanya pengalaman spiritual juga tidak  
harus muncul dari dunia entah berantah sebagaimana dalam novel Chelestine  
Prophecy maupun dalam Sang Alkemis. Dalam Kafka on the Shore disodorkan  
bagaimana pengalaman dalam dunia sehari-hari yang menjemukan juga dapat 
dihayati  sebagai pengalaman batin. Novel ini secara sengaja memilinkan antara 
yang profan  dan spiritual, antara yang rasional dan irasional, antara yang 
material dan  immaterial. 
 
 Posisi yang ditawarkan novel-novel karya Harumi Murakami dalam konteks Jepang  
masa kini menjadi jelas. Ia tidak dijangkiti chauvinisme seperti halnya Yukio  
Mishima dan penulis Jepang lainnya, tetapi melihat Jepang masa kini dengan mata 
 terbuka. Jepang yang jelas-jelas berada dalam posisi negara maju dan  
industrialis, tentu mempengaruhi masyarakatnya bagaimana memandang nilai-nilai  
tradisi Jepang yang adiluhung. Daripada menangisi generasi sekarang yang lebih  
kenal filosof dan musik Barat daripada Jepang sendiri, Murakami justru  
menggambarkan secara sosiologis apa yang terjadi di masyarakat Jepang seraya  
pada saat yang sama memasukkan gagasan spiritualisme ke dalamnya. Sayang 
sekali,  terjemahan novel yang bagus ini agak cacat oleh penggunaan subjudul 
"Labirin  Asmara Ibu dan Anak" yang kurang mengena, gambar kulit muka yang jauh 
dari isi  buku, serta nomor halaman yang kacau. (*)
 
 *) Imam Muhtarom, penulis cerita pendek, tinggal di Jakarta
  
  
  DATA BUKU:
  Judul Buku : Kafka on the Shore
 Penulis : Haruki Murakami
 Penerjemah : Th. Dewi Wulansari
 Penerbit : Pustaka Alvabet Jakarta
 Cetakan : I, Januari 2008
 Tebal : 597 Halaman
  
 

==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21  7494032, 
Fax. +62 21 74704875
www.alvabet.co.id


        

Reply via email to