Sekilas Buku

Pemimpin Yang Menyentuh Hati dan Menyembuhkan Luka

"Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan, keramahtamahan
dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan dalam memberi
menciptakan kasih." - Lao Tse

Semua orang tahu tugas-tugas pokok Presiden: menjaga konstitusi,
memajukan demokrasi, memacu ekonomi, memimpin birokrasi, menjaga
integritas wilayah, menjalankan diplomasi bebas aktif. Sebenarnya,
Presiden juga mempunyai fungsi unik: menyentuh hati orang dan
menyembuhkan luka.

Dalam diplomasi, tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk menyentuh
hati masyarakat di negara orang. Ini karena suatu kunjungan kenegaraan
biasanya dilakukan dalam waktu yang sempit—biasanya 2 hari 1
malam—sedangkan acara resmi yang harus dilalui begitu banyak: sambutan
pasukan kehormatan, pertemuan bilateral, penandatanganan perjanjian
dan MoU, konperensi pers, kunjungan kehormatan, jamuan makan malam,
pertemuan dengan masyarakat Indonesia, rapat delegasi—semuanya dalam
waktu 24 atau 36 jam. Program kunjungan kenegaraan berjalan seperti
mesin, dan diatur oleh profesional Istana yang sudah handal.

Sukses kunjungan seorang pemimpin biasanya diukur dari perjanjian,
kesepakatan dan MoU resmi yang dihasilkan dalam kunjungan itu. Namun
saya ada kriteria tambahan: yakni kemampuan pemimpin untuk menciptakan
getaran emosional di hati pemimpin dan rakyat di negara yang
dikunjunginya. Hal ini menuntut kreatifitas tersendiri, dan harus
dilakukan dengan hati. Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg,
misalnya, sewaktu berkunjung ke Jakarta melakukan acara khusus
menyaksikan umat Islam shalat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia tidak hanya
mampir sebentar: ia datang sewaktu adzan, kemudian mendengarkan kutbah
dalam bahasa Indonesia, dan terus tinggal sampai shalat selesai.
Seluruh jema'ah di Istiqlal, yang tahu ada.

Perdana Menteri Norwegia di lantai atas, terkesan atas kehadirannya
yang sopan, tertib dan menunjukkan sikap penuh hormat pada umat Islam.
Perdana Menteri Xanana Gusmao punya cara lain: tampil sebagai tamu
khusus dalam acara populer 'Kick Andy' dengan santai, simpatik dan
penuh kelakar, dan mencuri hati pemirsa Indonesia ketika ia
berlinangan air mata menceritakan pengalamannya di masa lalu.
Saya juga teringat ketika Panglima Tentara Diraja Malaysia, yang
datang untuk pamit karena masa jabatannya akan habis, mencium tangan
Presiden SBY yang menyambutnya di pintu ruang Raden Saleh di Istana
Merdeka. Mencium tangan adalah ungkapan rasa hormat yang biasa
dilakukan Panglima Malaysia terhadap Raja atau Perdana Menteri
Malaysia, dan juga kepada pemimpin negara serumpun Melayu, seperti
Presiden Indonesia atau Sultan Brunei Darussalam. Walaupun begitu, SBY
mau tidak mau tetap tersentuh hatinya melihat sikap Panglima tersebut,
apalagi mengingat kunjungan itu terjadi tidak lama setelah insiden
Ambalat.

Dari seluruh kunjungan Presiden SBY ke luar negeri, salah satu momen
yang paling menyentuh adalah ketika SBY menjadi 'kurir surat'
sekaligus penghubung antara seorang gadis yatim piatu di aceh dan
seorang gadis cilik di Michigan.

Ceritanya bermula di awal 2005. Waktu itu, saya mengadakan pertemuan
dengan mitra kerja saya di Gedung Putih, Washington DC. Dalam
kunjungan tersebut, saya mendapatkan sepucuk surat yang ditulis oleh
seorang anak SD di Charlevoix, Michigan bernama Maggie. Surat tersebut
ditulis Maggie untuk anak-anak di Aceh, namun karena tidak tahu kepada
siapa akan dialamatkan, akhirnya sekolahnya mengirim surat itu ke
Gedung Putih. Waktu itu, berita tsunami yang disiarkan setiap hari di
televisi memang mengguncang Amerika Serikat, dan menyentuh hati
rakyatnya. Mantan Presiden Bill Clinton menyatakan bahwa sepertiga
dari seluruh rumah tangga di AS memberi sumbangan untuk korban
tsunami.
Saya memang sempat terharu sewaktu membaca surat itu, karena isinya
yang polos, tulus dan penuh kasih sayang yang murni dari seorang anak
kecil, dan langsung ada perasaan di hati saya bahwa akan ada peristiwa
yang spesial kelak—namun baru sekedar firasat. Saya segera menawarkan
untuk membawa surat itu ke Indonesia.

Ketika kembali ke Jakarta, saya menceritakan perihal surat ini kepada
Presiden. SBY ternyata sangat tertarik terhadap surat Maggie ini.
Instruksi beliau: "Sampaikan surat ini kepada (Kepala BRR) Pak
Kuntoro. Sampaikan permintaan saya agar beliau dapat meneruskan surat
ini kepada anak-anak di Aceh. Biarlah mereka membacanya dan
mudah-mudahan salah satu dari mereka dapat membalas surat ini.
Perhatikan hal ini baik- baik dan laporkan terus kepada saya, Din."
Pesan tersebut segera saya sampaikan pada Dr. Kuntoro Mangkusubroto,
yang berjanji akan menindaklanjutinya.

Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa surat itu
telah sampai ke tangan seorang anak yang selamat dari bencana tsunami.
Anak itu adalah Nada Lutfiyyah, yang telah menjadi yatim piatu karena
ayah, ibu dan semua saudara-saudaranya . hilang dibawa ombak tsunami.
Nada kini tinggal dengan seorang sepupunya di Banda Aceh.
Surat balasan dari Nada kepada Maggie lebih mengharukan lagi: ada
kepedihan yang dipendam, namun juga ada harapan dan kerinduan akan
kasih sayang. Jujurnya, saya menangis begitu membaca surat Nada itu.
Nada juga mengirim ikatan rambut untuk Maggie yang dilampirkan dalam
surat itu.

Ketika saya melaporkan surat Nada ke Presiden, SBY sedang sibuk
mempersiapkan rencana serangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Jepang
dan Vietnam. Di sinilah timbul gagasan kreatif: surat tersebut tidak
akan dikirim dulu kepada Maggie di Michigan, namun akan dibacakan SBY
dalam suatu acara resmi di Gedung Putih yang banyak diliput media.
Kebetulan pada tanggal 25 Mei 2005, Presiden Bush mengundang Presiden
SBY untuk memberi pidato pada acara The Asia-Pacific American Heritage
Event, di Gedung Putih. Di sanalah SBY akan membuat kejutan tersebut.

Pada hari-H, setelah mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden
George W. Bush di Oval Office, kedua pemimpin menuju ruangan di Gedung
Putih, dimana sudah menunggu sejumlah elit politik dan tokoh-tokoh
Amerika keturunan Asia. Presiden George W. Bush memulai dengan sebuah
pidato singkat—sekitar 3 menit saja, sesuai dengan skenario protokol.
Setelah Presiden Bush selesai berpidato, tiba giliran Presiden SBY.
Beliau berpidato tentang tsunami, kepahlawanan dan solidaritas
kemanusiaan. Di pertengahan pidato, beliau merujuk pada surat Maggie,
dan membaca surat itu kepada hadirin: "Hi, I hope your family and
friends are okay. In church, I pray for you and your country. In
school, we are raising money for your country. We have a loose change
bucket and kids bring money in.

Also, we are making tsunami bracelets to raise money too. I have made
you one. I hope you like it. I will continue praying for you and your
country in church. Your friend, Maggie."
Presiden SBY kemudian merujuk pada surat balasan Nada ke-pada Maggie.
Sebelumnya, Presiden SBY menunjukkan foto Nada dari podium. Namun
Presiden SBY menunjukkan foto Nada dalam posisi terbalik, dan Presiden
Bush membantu membetulkan letak foto itu—semua hadirin tertawa. SBY
membaca surat Nada yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris: "My
good friend, hello friend. My name is Nada Lutfiyyah. I was so happy
and my heart was touched to receive the letter you sent us. My
family—my dad, mom, older brother and younger brother—have
disappeared, and now I live with my cousin. I am so glad you are
paying attention to us here. I hope to receive your bracelet in the
coming days because I want to wear it on my arm to remind me that I
have a new friend."

Semua orang yang hadir, termasuk wartawan, berlinangan air mata. Saya
melihat mata Presiden Bush berkaca-kaca.

Presiden SBY mengakhiri pidatonya: "These two letters are
extraordinary both on the words they conveyed and in the fact that two
youngster from entirely different backgrounds made a connection. An
American girl who prays at church, collect loose change and make
bracelets for tsunami kids two oceans away. An Indonesian Muslim girl
who lost all her family and wants to kill the pain and is eager just
to be a kid again, just like Maggie. I think the world would be a
better place if all of us start to have connections and conversations
the way Maggie and Nada did."

Sebenarnya Presiden SBY hanya diacarakan bicara 3 menit, tidak lebih
dari Presiden Bush. Biasanya protokol Amerika akan langsung cerewet
kalau protokol dilanggar, tapi kali itu tidak ada satu pun yang protes
karena memang semuanya terbawa suasana yang sangat mengharukan.

Tepuk tangan panjang membahana seusai Presiden SBY berpidato. Presiden
Bush langsung menjabat erat-erat tangan SBY. Saya sempat mendengar
seseorang di antara hadirin berkata: "That was one of the most
brilliant and touching speeches I ever heard."
Seusai acara itu, Presiden SBY segera menugaskan Duta Besar Indonesia
di AS, Soemadi Brotodiningrat, ke Michigan untuk secara langsung
membawa dan menyampaikan surat Nada kepada Maggie. Di sana, Dubes
Soemadi disambut dalam upacara resmi, dihadiri seluruh siswa SD K-6
Charlevoix dan para orang tua, termasuk pejabat Walikota.

Maggie sama sekali tidak menyangka suratnya itu akan berbuntut
panjang, dan baik Maggie maupun seluruh SD kini merasa ada koneksi
emosional yang riil dengan Indonesia yang selama ini hanya mereka baca
di buku.

Cerita ini masih berlanjut terus. Nada selalu ingin bertemu dengan
SBY, namun tidak pernah kesampaian karena faktor jarak antara Aceh dan
Jakarta. Akhirnya, pada bulan Desember 2005, Nada Luthfiyyah berhasil
mewujudkan mimpinya selama ini. SBY sedang memberikan pidato
peringatan setahun tsunami di Ulelee, Aceh.

Nada dengan sabar menunggu di pinggir podium, bersama anak yatim piatu
lainnya. Setelah SBY selesai dan beranjak meninggalkan tempat acara,
beliau dihadang oleh Nada, dan langsung saya perkenalkan kepada SBY.

SBY: "Oo, ini yang namanya Nada. Belajar terus yang baik ya nak." Ibu
Ani yang berada di samping SBY langsung memeluk Nada dengan penuh
kasih sayang. Nada, yang kini sudah bisa tersenyum, hanya tersipu-
sipu, dan kehilangan kata.

Peristiwa ini merupakan pembelajaran bagi diplomat Indonesia: tugas
mereka bukan saja untuk menjaga hubungan dengan pejabat Pemerintah
setempat, namun juga untuk belajar bergaul dan menyentuh hati rakyat
dimanapun mereka berada. Dan caranya tidak terlalu sulit: asal
kreatif, bertujuan baik, dan harus datang dari hati.

Ada kalanya pemimpin juga harus menyembuhkan luka. Hal ini biasanya
berlaku bagi pemimpin yang negaranya mengalami konflik, baik internal
maupun eksternal. Apabila sudah menjadi luka sejarah,bukan lagi luka
biasa, maka pengobatannya akan sulit sekali dan bisa memakan waktu
lama.

Sebagai contoh: sampai sekarang antara Jepang, Cina dan Korea masih
ada luka sejarah yang masih belum sembuh, diakibatkan sejarah kelabu
masa lampau yang penuh darah, kekerasan dan brutalitas. Karena itulah,
kunjungan mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi ke Kuil Yakusuni,
dimana disemayamkan tentara-tentara Jepang yang ikut Perang Dunia
ke-2, mendapat tentangan keras dan sempat mendinginkan hubungan Jepang
dengan Cina dan Korea. Dalam hal ini, negara-negara di Asia Tenggara,
karena berbagai faktor, memang berbeda dari Asia Timur karena luka
penjajahan Jepang praktis sudah tidak membekas lagi di generasi
sekarang.

Dewasa ini ada kecenderungan pemimpin Pemerintah meminta maaf atas
kejadian masa lalu. Presiden Bill Clinton, pada tahun 1993, akhirnya
secara resmi, dan dengan mengatasnamakan Pemerintah Amerika Serikat,
mengucapkan maaf atas tindakan AS membantu pemberontak menggulingkan
Ratu Liliuokalani, yang menguasai Hawaii waktu itu, dan kemudian
menjadikan Hawaii salah satu negara bagian AS. Ucapan maaf tersebut
dinyatakan 100 tahun setelah kejadian.

Di Australia, di bulan Februari 2008, Perdana Menteri Kevin Rudd,
setelah 3 bulan berkuasa, juga secara terbuka dan dengan didukung
Parlemen mengucapkan maaf atas perlakukan Pemerintah Australia
diskriminatif terhadap warga Aborigine selama ini.
Pernyataan maaf PM Rudd tersebut sama sekali tidak ada tedeng
aling-aling, dinyatakan dalam bahasa yang eksplisit dan terang: "We
apologise for the laws and policies of successive parliaments and
governments that have inflicted profound grief, suffering and loss on
these our fellow Australians. We apologise especially for the removal
of Aboriginal and Torres Strait Islander children from their families,
their communities and their country. For the pain, suffering and hurt
of these stolen generations, their descendants and for their families
left behind, we say sorry. To the mothers and the fathers, the
brothers and the sisters, for the breaking up of families and
communities, we say sorry."

Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf Bot,
menghadiri upacara HUT-RI 2005 di Istana Merdeka. Kehadiran Menlu Bot
dalam upacara 17 Agustus bersama Presiden SBY mempunyai arti simbolis
karena sejak lama Pemerintah Belanda tidak mengakui 17 Agustus sebagai
hari kemerdekaan Indonesia.
Bernard memang punya kaitan emosional dengan Indonesia: ia lahir di
Batavia (Jakarta), tinggal di kawasan Menteng dan kemudian bersama
ibunya masuk ke kamp tawanan Jepang selama 3 tahun. Ia jelas mempunyai
pemikiran yang lebih progresif dari elit politik Belanda dan rencana
kunjungannya sempat mendapat tantangan dari beberapa politisi Belanda.

Yang menarik dari kunjungannya ini adalah pernyataannya di Deplu, di
hadapan Menlu Hassan Wirajuda, yang berisi penyesalan sejarah serta
memberi interpretasi baru terhadap hubungan Indonesia-Belanda:
"Through my presence, the Dutch government expresses its political and
moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia
declared independence. Only when someone is standing on the summit of
the Mountain can he see what would have been the simplest and shortest
way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were
involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight
does it become clear that the separation between Indonesia and the
Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was
necessary.

Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit
to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial
period and especially its final phase harm was done to the interests
and dignity of the Indonesian people—even if the intentions of
individual Dutch people may not always have been bad. ... it is clear
that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the
Netherlands on the wrong side of history. The fact that military
action was taken and that many people on both sides lost their lives
or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the
people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are
estimated to have died as a result of the action taken by the
Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my
profound regret for all that suffering."

Selama ini, memang ada suara-suara di Indonesia yang menuntut Belanda
mengakui proklamasi 17 Agustus. Saya tidak setuju dengan pendekatan
ini. Indonesia adalah negara besar dan berdaulat, dan kita merebut
kemerdekaan sendiri dengan darah dan melalui salah satu revolusi yang
paling besar di abad ke-20. Kenapa Indonesia harus merengek-rengek
kepada satu negara di Eropa, yang wilayahnya tidak lebih besar dari
Propinsi Banten dan penduduknya 100 kali lebih kecil, untuk diakui,
padahal kita sudah merdeka luar dalam dan duduk sama-sama di PBB?
Kalau pengakuan itu akan datang dari Belanda—sebagaimana akhirnya
datang dibawa Menlu Bot setelah 3 generasi—maka harus datang dari hati
mereka sendiri, dan Indonesia tidak perlu mengemis-emis.

Ketika bertemu dan bersalaman dengan Menlu Bot sewaktu upacara 17
Agustus 2005 di Istana Negara, Presiden SBY menyambut Menlu Bot dengan
ramah, penuh kewibawaan, sama sekali tanpa dibebani kompleks masa
lalu, dan dengan semangat kesetaraan. Di sini, Menlu Bot melihat
sendiri tabiat bangsa Indonesia yang besar. Dan memang, kolonialisme
bukan lagi beban generasi Indonesia abad ke-21.

Sebenarnya, luka sejarah semakin cepat disembuhkan semakin baik. Hal
ini dimengerti sekali oleh Presiden SBY dalam menjalin hubungan dengan
Timor Leste. Pada tahun 2002, SBY, waktu itu sebagai Menko Polkam,
sangat aktif mendorong dan meyakinkan Presiden Megawati Soekarnoputri
untuk menghadiri perayaan kemerdekaan Timor Leste di Dili—karena hadir
atau tidak hadirnya Presiden Indonesia di Dili waktu itu disorot dunia
internasional dan selamanya akan dicatat sejarah. Alhamdulillah,
Presiden Megawati akhirnya datang ke Dili.

Pada tanggal 8–9 April 2005, Presiden SBY melakukan kunjungan
kenegaraan ke Timor Leste. Ini sebenarnya kunjungan biasa yang lazim
ke negara tetangga dalam rangka memperkenalkan diri sebagai Presiden
RI terpilih yang baru.

Namun dari segi politis, kunjungan tersebut jauh dari kunjungan rutin.
Pertama, masih ada luka sejarah antara Indonesia dan Timor Leste, baik
sejak masa integrasi maupun kerusuhan sewaktu jajak pendapat tahun
1999. Selain itu, beberapa kalangan di masyarakat internasional masih
mempermasalahkan akuntabilitas terhadap peristiwa, dan tidak puas
dengan proses pengadilan dalam negeri terhadap sejumlah perwira TNI
dan tokoh pro-integrasi Timor Timur. Waktu itu, suara-suara untuk
membawa pejabat pemerintah dan tentara Indonesia dibawa ke Mahkamah
Internasional masih santer terdengar. Sementara itu, ribuan warga
pro-integrasi Timor Timur yang lari dari Timor Timur setelah jajak
pendapat 1999 masih bermukim di Timor Barat, hidup di kamp-kamp dan
tidak jelas nasibnya.

Untuk masalah kerusuhan 1999, Presiden SBY telah berhasil mencari
kerangka penyelesaiannya sebulan sebelum kunjungan ke Timor Leste.
Pada tanggal 8 Maret 2005 di Jakarta, Presiden SBY mencapai
kesepakatan dengan Presiden Xanana Gusmao untuk membentuk Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP).

KKP akan beranggotakan 10 pakar—5 dari Indonesia dan 5 dari Timor
Leste—yang ditugaskan untuk mencari fakta dan kebenaran seputar
pelanggaran HAM tahun 1999, dan kemudian memberi rekomendasi kepada
kedua Pemerintah.
Dengan pembentukan KKP, SBY berhasil menjaga penyelesaian kasus 1999
secara bilateral, dan tidak dibawa ke Mahkamah Internasional; selain
itu, KKP menciptakan mekanisme yang konstruktif dimana Indonesia dan
Timor Leste dapat membangun hubungan yang menatap ke depan, bukan ke
belakang. Sampai saat tulisan ini dibuat, KKP masih terus bekerja,
mendengarkan kesaksian dan merumuskan laporan bersama.

Kunjungan SBY ke Timor Leste penuh dengan simbolisme. Begitu mendarat,
Presiden SBY disambut upacara militer kehormatan oleh tentara Timor
Leste, yang beberapa tahun lalu sebagian besar adalah anggota Falintil
yang berperang melawan Indonesia.
Dari sekian banyak acara kenegaraan hari itu, satu acara yang secara
khusus diperhatikan Presiden adalah mengenai kunjungan ke makam di
Dili. Hal ini cukup sensitif karena di Dili ada 2 makam yang secara
politis penting bagi masing-masing pihak: makam yang berisi pejuang
TNI gugur di Timor Timur; dan makam bagi pejuang Timor Leste.
SBY mengambil keputusan bahwa beliau akan mengunjungi 2 makam
berturut-turut, yakni Taman Makam Pahlawan Seroja, dimana dimakamkan
jenazah perwira TNI yang gugur di Timor Timur, dan Taman Pemakaman
Umum Santa Cruz, yang terkenal di dunia internasional karena insiden
berdarah tahun 1991. Kedua makam ini lokasinya saling berhadapan, di
kawasan Balide, Dili Barat.

Tanggal 9 April, setelah berpidato di hadapan Parlemen Timor Leste,
Presiden SBY mulai melakukan ziarahnya.
Lokasi pertama yang dikunjungi Presiden SBY adalah TPU Santa Cruz,
tempat dimana para korban insiden penembakan oleh aparat keamanan
tahun 1991 dimakamkan, dan juga tempat yang memiliki nilai sejarah
bagi rakyat Timor Leste. Di TPU Santa Cruz, Presiden SBY meletakkan
karangan bunga dan berdoa bagi para arwah.
Setelah itu, Presiden berjalan kaki menuju TMP Seroja, yang berjarak
sekitar 500 meter dari TPU Santa Cruz. Saya teringat dalam perjalanan
itu, Presiden SBY disambut oleh murid-murid Sekolah Dasar Balide yang
sejak pukul 08.00 telah menanti kedatangan Presiden RI itu. Mereka
begitu antusias dan saling berebut untuk menyalami Presiden SBY.

Suasana menjadi khidmat dan hening ketika Presiden SBY tiba di TMP
Seroja. Kala itu, dari pintu gerbang makam, SBY terlihat menatap sendu
ke arah semua pusara. Secara perlahan, Presiden SBY berjalan menuju
monumen utama untuk meletakkan karangan bunga dan berdoa sejenak. Saya
mencatat suasana di TMP Seroja penuh dengan simbolisme, karena
Presiden didampingi oleh barisan kehormatan militer Timor Leste, yang
mengambil sikap hormat sempurna pada tugu anggota TNI yang gugur.

Setelah itu, Presiden mendatangi dan meletakkan karangan bunga di
pusara Mayor B. Ginting, seorang anggota Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) yang meninggal dunia tahun 1986. Presiden SBY juga
mendatangi pusara Kapten Inf. Gostaf M, anggota Yonif 611/AL yang
meninggal dunia tahun 1987.

Usai meletakkan karangan bunga dan berdoa di depan kedua pusara
tersebut, Presiden berjalan menuju tembok putih yang bertuliskan semua
nama pejuang yang dimakamkan di TMP Seroja. Presiden kemudian
menempelkan telapak tangannya pada tembok tersebut sambil memanjatkan
doa sejenak. Saya bisa melihat kesedihan yang terpancar dari wajah
SBY, mungkin beliau terkenang banyak kolega dan anak buah beliau di
TNI yang telah gugur di Timor Timur.

Dari semua kegiatan Presiden hari itu, kunjungan ke kedua makam ini
adalah yang paling penting, karena dampak emosionalnya dalam konteks
menyembuhkan luka sejarah. Dengan kunjungan tersebut, Presiden SBY
mengajak semua orang untuk samasama menghormati mereka, baik militer
maupun sipil, yang telah kehilangan nyawanya, di sisi Indonesia dan
Timor Leste. Pengorbanan mereka tidak sia-sia, karena mereka
memberikan segalanya dan menjalankan tugas serta keyakinannya dengan
tulus. Walaupun Indonesia dan Timor Leste kini membuka lembaran
sejarah yang baru, pengorbanan mereka selamanya akan dihargai.

Sebelum naik pesawat kembali menuju Jakarta, saya sempat menanyakan
Presiden SBY apakah beliau menyampaikan pesan pada Presiden Xanana
Gusmao.SBY menjawab: "Ada. Saya minta agar Pemerintah Timor Leste
memelihara baik-baik pusara anak-anak kita."

Presiden SBY menunjukkan foto Nada Lutfya di White House, AS.(kiri)
Presiden SBY memberi penghormatan di depan makam anggota Kopasus Mayor
B. Ginting.(tengah) Memberikan penghormatan di Taman Makam Pahlawan
Seroja, Timor Leste. (kanan) (foto: Jefri Aries/ANTARA)

Antusiasme masyarakat setempat pada saat kunjungan Presiden SBY ke
Timor Leste.(kiri) Presiden SBY dan Ibu Ani bertemu dengan Nada di
Aceh.(tengah) Presiden SBY berjabat tangan dengan Menlu Belanda
Bernard Bot sehari setelah HUT RI ke-60.(kanan)

Presiden SBY terharu berdiri di depan prasasti di Taman Makam Seroja
yang memuat namanama anggota TNI yang gugur di Timor Timur.(kiri)

Presiden SBY menyampaikan pidato di Parlemen Timor Leste tahun 2005.(kanan)
(c) 2008 Dr. Dino Patti Djalal - HARUS BISA! Seni Memimpin à la SBY.
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

-- 
Gde Wisnaya Wisna
Jl.Dewi Sartika Utara 32A
Singaraja-Bali
website : www.lp3b.com

Kirim email ke