http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=perspektif%7C-36%7CX

 
 
Perdebatan Seks dan Tubuh Perempuan 

 
Oleh Gadis Arivia
RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang Misogini 

Sikap misoginis adalah sikap yang membenci, menaklukan dan merepresi 
keberadaan, budaya dan spiritualitas perempuan. Opresi yang dilakukan oleh 
laki-laki terhadap perempuan telah berjalan berabad-abad lamanya. Dalam 
pandangan misoginis perempuan adalah mahluk lemah dan harus dikontrol segala 
sikap dan tindak tanduknya karena ia merupakan mahluk “yang lain”. Pengontrolan 
terhadap perempuan dimulai sejak ia belum lahir (keinginan 
mempunyai/kecendrungan terhadap anak laki-laki ketimbang perempuan karena 
alasan harkat keluarga, nilai-nilai dominan masyarakat patriarkis, dll), 
pengontrolan dilakukan lewat USG di mana janin berjenis kelamin perempuan akan 
diabortus segera. Saat janin perempuan dilahirkan, ia terus diawasi tindak 
tanduknya dan diberikan rambu-rambu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan 
oleh si anak perempuan (misalnya memanjat pohon), kemudian berlanjut saat ia 
remaja di mana segala restriksi tubuhnya (penjagaan ketat soal virginitas)
 diawasi dan dihakimi. Pada saat ia dewasapun ketika ia ingin menikah, ia harus 
dinikahkan oleh orang tua laki-laki atau keluarga yang berjenis kelamin 
laki-laki, ia tidak dapat secara mandiri memutuskan menikah sendiri misalnya. 

Cerita derita yang berjenis kelamin perempuan sangat banyak, bahkan baru-baru 
ini kita tersentak membaca kisah Lara di media masa yang dijual oleh ibunya 
sendiri ke dalam prostitusi. Lara akhirnya memberontak dan melaporkan ibunya ke 
polisi, namun hingga sekarang, ia pun masih berpikir apakah ia berbuat dosa 
karena durhaka kepada orang tua. Lalu, celakanya, moral Lara yang kini 
dipertanyakan. 

Dosa dan moral dua kata yang melekat pada definisi keberadaan mahluk perempuan. 
Dosa awal manusia pun dikatakan terjadi karena ketertarikan Adam terhadap tubuh 
Eva yang membuat manusia menjadi berdosa. Tubuh Eva diimajinasikan sebagai 
tubuh yang kotor, yang merupakan penyebab dari segala malapetaka. Oleh sebab 
itu, bagi keturunan Eva-Eva lainnya, pengontrolan dan restriksi terhadap 
tubuhnya menjadi penting agar moral masyarakat terjaga dan keturunan Adam-Adam 
lainnya tidak akan jatuh ke jurang nista lagi. Logika fallus semacam ini jelas 
tergambar dalam RUU APP di dalam ayat menimbang: 

bahwa untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang serasi dan harmonis 
dalam keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan/kelompok, diperlukan adanya 
sikap, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang beriman dan bertaqwa kepada 
Tuhan Yang Maha Esa; (RUU APP ayat Menimbang).
bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dan 
perbuatan serta penyelenggaraan pornoaksi dalam masyarakat saat ini sangat 
memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat 
yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; (RUU APP ayat Menimbang). 

Logika fallus yang tercermin di dalam ayat menimbang termuat di dalam 
kata-kata; pengertian adanya sikap, akhlak mulia, kepribadian luhur yang 
beriman, pornografi dan pornoaksi yang mengancam kelestarian tatanan kehidupan 
masyarakat, semua ini diartikan sebagai pentingnya pengaturan seksualitas dan 
tubuh agar manusia bertaqwa dan melandasi nilai-nilainya pada Tuhan Yang Maha 
Esa. Tiga unsur logika fallus bermain di sini; pertama, seksualitas dan tubuh 
penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan; 
kedua, dengan merestriksi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, 
kepribadian luhur, kelestarian tatanan kehidupan masyarakat tidak akan 
terancam; ketiga, seksualitas dan tubuh perempuan didikotomikan sebagai 
“kotor”(perempuan) dan “suci” (Tuhan). Jadi, ada tiga rumusan di dalam RUU APP 
ini, Perempuan-Moral Bangsa-Tuhan/Agama. Kedua rumusan akhir yakni “Moral 
bangsa” dan “Tuhan/Agama” ditentukan oleh
 binal tidaknya perempuan di masyarakat tersebut. Dengan kata lain, bila 
perempuan Indonesia baik-baik (tidak pakai pakaian terbuka/seksi serta tank top 
dan tidak tampil di majalah playboy), maka, moral bangsa dan agama akan terjaga 
dengan baik. Apa buktinya? Tidak perlu dibuktikan secara ilmiah (lewat 
argumentasi sosial) akan tetapi cukup dengan sumber-sumber dogmatis, moralis 
dan ayat-ayat agama. 

Kate Millett, seorang feminis yang menulis buku klasik Sexual Politics, 
mencatat bahwa paham misoginis mengambil berbagai macam bentuk seperti tabu, 
mitos, dan pengetahuan yang didasarkan konsep patriarkis. Perempuan dijadikan 
obyek (bukan subyek yang memutuskan ruang pribadi dan publiknya), diasosiasikan 
dengan mahluk yang berbahanya secara moral, penggoda, tidak dapat dipercaya 
(tukang gosip), serta mempunyai seksualitas binal. Pada saat yang sama logika 
dikotomik disuburkan dengan diskursus perempuan baik/perempuan binal; 
baik/jahat, suci/setan, kalem/”gatel”, dan seterusnya. 

Banyak masyarakat yang melakukan praktek misoginis dengan menguatkan tabu dan 
mitos lewat pengusungan budaya tradisional, paham agama yang sempit, yang 
semuanya diterjemahkan dalam kepentingan politik seksual…Melalui praktek 
misoginis, perempuan di-reformasi, di-ciptakan ulang dengan merestriksi tubuh 
perempuan sesuai dengan keinginan laki-laki, pikiran dikontrol, diatur dan 
disuruh untuk mematuhi segala aturan masyarakat patriarkis.(Millett, 1971:51-53 
dan Ussher, 1991:20-21). 

RUU APP = Politik Seks 

Di berbagai negara demokratis pornografi diakui ada di dalam ruang kehidupan 
manusia sehingga pornografi hanya bisa “diatur” lewat berbagai pengaturan 
tentang distribusi, pajak dan penjualan materi pornografi. Masyarakat yang 
rasional mengakui bahwa memberantas pornografi adalah hal yang tidak mungkin 
karena menyangkut aktifitas seksual manusia dewasa yang ada di dalam ruang 
privat maka tidak mungkin untuk membuat suatu Undang-Undang Anti-pornografi. 
Definisi internasional yang lazim dipakai dalam pengaturan tentang pornografi 
termasuk apa yang disebut dengan hard-porn, yang berbunyi: 

Grafis yang menunjukkan subordinasi seksual perempuan secara eksplisit melalui 
gambar atau kata-kata termasuk dehumanisasi perempuan sebagai obyek seksual, 
benda-benda, komoditi, penikmat penderitaan, sasaran penghinaan, atau 
perkosaan: (dengan jalan) diikat, disayat, dimutilasi, disiksa, atau 
bentuk-bentuk penyiksaan fisik; menempatkannya atau menggambarkannya sebagai 
sasaran pemuas seksual atau perbudakan, dipenetrasi dengan menggunakan benda 
atau hewan, direpresentasikan secara biadab, cedera, penyiksaan, dipertunjukkan 
secara seronok atau tak berdaya, berdarah-darah, tersiksa, atau disakiti dalam 
konteks dan kondisi seksual tertentu. (MacKinnon, 1989).

Definisi ini bertolak dari pemahaman dan semangat untuk membela kaum perempuan 
yang didehumanisasi lewat materi pornografi. Definisi tersebut tidak memasukkan 
erotika sebagai bagian dari definisi porno. Feminis Gloria Steinem membedakan 
pornografi dan erotika, yakni, yang berasal dari kata eros, cinta yang 
berkobar-kobar atau soft porn.. Sebaliknya, hard-pornography memiliki akar kata 
porno atau prostitusi, yang mengandaikan adanya dominasi seksual laki-laki 
terhadap perempuan. 

Membaca definisi RUU APP pada bab 1 yang berbunyi: “Pornografi adalah substansi 
dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan 
yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika”, maka bagi saya, RUU 
APP ini dibuat bukan karena concern masalah moral semata akan tetapi lebih pada 
implikasi politis. RUU APP yang disusun jelas memperlihatkan pola relasi 
berstruktur-kekuasaan. 
 
Struktur kekuasaan yang dominan menindas yang lemah. Artinya, pengaturan seks 
dan ketubuhan perempuan diatur oleh laki-laki (bagian tubuh mana yang boleh 
dilihat, ditonjolkan dan sebagainya). Definisi yang termuat pada Bab 1 
menunjukkan bahwa erotika sebagai bagian dari sensualitas dianggap porno dan 
dilarang. Artinya, definisi pornografi yang ada pada RUU APP sama sekali bukan 
definisi pornografi yang dianut dan diakui secara internasional. Lebih buruk 
lagi semangat RUU APP ini bukan dilandaskan pada semangat MELINDUNGI perempuan, 
anak atau masyarakat pada umumnya, namun, lebih pada semangat PELARANGAN atau 
restriksi, intimidasi dan ancaman yang serius. 

Bentuk-bentuk pelarangan ini dituangkan sebagai berikut: 





Bab dan Pasal

Aturan misoginis/budaya patriarkis

Catatan feminisme

Bab 2 pasal 4
Eksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. 
Pasal ini melarang/meniadakan pakaian tradisional perempuan seperti kebaya, 
baju Bodo, tradisi telanjang di Wamena, dsb.

Bab 2 pasal 6
Mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari 
erotis atau bergoyang erotis. 
Pasal ini melarang perkembangan kesenian tradisional (Jaipong, Tayub, dll), 
dangdut. 

Bab 2 pasal 7
Mengeksploitasi daya tarik aktifitas orang yang berciuman bibir. 
Afeksi sebagai bagian dari wujud emosi perempuan; cium anak, suami, pacar. 

Bab 2 pasal 9
Mengeksploitasi daya tarik aktifitas orang dalam berhubungan seks atau 
melakukan aktifitas mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan 
jenis (dan juga termasuk sejenis, pasl 9 ayat 2).
Hubungan seks termasuk dalam wilayah pribadi yang menjadi hak individu untuk 
mengatur ruang privatnya sesuai dengan penghormatan pada HAM.

Bab 2 pasal 5
Mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa.
Estetika feminis melihat ketelanjangan tubuh perempuan bukan hitam/putih 
ataupun ketidakberdayaan, akan tetapi lebih pada konsep pemberdayaan, my body 
my self. 

Bagian Kedua Pornoaksi, pasal 25 dan seterusnya.
Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang 
sensual, berciuman bibir, bergoyang erotis, gerakan tubuh menyerupai kegiatan 
hubugan seksual.
Definisi pornoaksi tidak ditemukan dalam pemahaman feminisme (bahkan mungkin di 
negara mana pun).

Bab III: Pengecualian dan Perizinan.
Pengecualian dan perizinan materi pornografi diberikan hanya untuk kepentingan 
kesehatan, olah raga, ritual agama/tradisi, pendidikan.
Definisi pornografi tidak pernah berlaku untuk bidang pendidikan, kesehatan, 
olahraga, agama/tradisi.

Bab IV: BAPPN
Sebuah Badan pemerintah yang mengawasi pornografi dan pornoaksi dibiayai oleh 
APBN
Secara historis, budaya patriarki menginstitusionalisasikan kekuatannya lewat 
sistem legalnya. Sistem hukum yang patriarkis mempunyai obsesi mengontrol tubuh 
dan seksualitas perempuan.

Pertanyaan Tentang Hak: Write your body! 
Apa jadinya sastra Indonesia kontemporer yang banyak diwakili oleh perempuan 
muda? Mereka aktif menulis tentang seksualitas dan tubuh yang membebaskan. 
Dalam perkembangan sepuluh tahun sastra Indonesia terakhir ini tidak dapat 
dipungkiri tokoh-tokoh seperti Ayu Utami dan Djenar Maessa Ayu telah memberikan 
kontribusi yang luar biasa. Write your body! , kira-kira begitulah yang 
diinginkan generasi baru feminisme yang melihat persoalan perempuan bukan 
hitam/putih atau pun lewat patokan kaidah-kaidah agama tertentu. Generasi ini 
menganjurkan agar perempuan “menulis” tubuhnya sendiri. Perempuan memikirkan 
kembali tubuhnya dan memberikan interpretasi baru. 

Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan eskpresi kebebasan intelektual yang 
tidak mengandung bahaya apapun. Sebaliknya, perang, poligami, terorisme, dan 
pembunuhan merupakan ekspresi kekerasan yang dilandasi pengusungan budaya 
maskulin. Antara kitab “play boy” dan kitab “perang militer” mana yang 
mengandung kekerasan? Antara ekspose “Anjasmara” dan ekspose “pembinasaan 
Munir”, mana yang menjijikkan? Antara kasus “goyangan erotis Inul” dan 
“pembebasan para koruptor”, mana yang merusak moral bangsa? 

Pada akhirnya, cukup sudah pelarangan, intimidasi, opresi dan penghinaan pada 
tubuh perempuan yang diumbar oleh masyarakat yang phobia terhadap tubuh, 
seksualitas dan sensualitas perempuan. Saya akan menutup makalah ini dengan 
ucapan feminis Perancis Anne Leclerc (1974) sebagai bahan renungan: 

…so much the worst for him, I will have to speak of the joys of my sex, no, no, 
not the joys of my mind, virtue of feminine sensitivity, the joys of my woman’s 
belly, my woman’s vagina, my woman’s breasts, sumptuous joys of which you have 
no idea at all.
I will have to speak of them since it is only from them that a new woman speech 
will be born.
We will have to divulge what you have so relentlessly put solitary confinement, 
for that is what all our other repressions build themselves upon.

Gadis Arivia adalah Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan. Makalah ini didiskusikan 
dalam diskusi Undang-Undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Sie sind Spam leid? Yahoo! Mail verfügt über einen herausragenden Schutz gegen 
Massenmails. 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke