Formalin FORMALIN kembali jadi perbincangan karena banyak dipakai untuk bahan pengawet makanan dalam mi basah, tahu, dan ikan. Cerita yang beredar di masyarakat lebih "mengerikan" karena dikait-kaitkan dengan pemakaian formalin untuk pembalsem mayat/bangkai binatang.
Kenyataanya, formalin tidaklah sedramatis itu. Formalin yang dijual di toko-toko kimia itu merupakan campuran 37 bagian formaldehid (atau metanal, dengan rumus kimia CH2O) dan 63 bagian air. Formaldehid inilah zat aktif yang membuat formalin berguna sebagai bahan baku pabrik-pabrik resin plastik, peledak, senyawa busa, disinfektan, dan insektisida. Namun formaldehid murni (kadar 100%) sangat langka di pasar. Karena ia berwujud gas tak berwarna dan berbau sangat tajam, dengan tidik didih dan titik leleh -21 dan -92 derajat celsius. Formaldehid sangat beracun dan menyebabkan iritasi selaput lendir, pada pernapasan atas, mata, juga kulit. Ia juga dapat mengakibatkan reaksi alergi, kerusakan ginjal, kerusakan gen, dan mutasi yang dapat diwariskan. Sifat merusak ini terletak pada gugus CO atau aldehid. Gugus ini bereaksi dengan gugus amina, pada protein menghasilkan metenamin atau heksametilentetramin. Bayangkan formaldehid bebas dalam makanan, lantas menyusup ke dalam tubuh kita yang banyak bertebaran molekul vital. Apa yang terjadi? Formaldehid akan bereaksi dengan DNA atau RNA sehingga data informasi genetik menjadi kacau. Akibatnya, penyakit-penyakit genetik baru mungkin akan muncul. Bila gen-gen rusak itu diwariskan, maka akan terlahir generasi dengan cacat gen. Tambahan lagi, bila sisi aktif dari protein-protein vital dalam tubuh dimatikan oleh formaldehid, maka molekul-molekul itu akan kehilangan fungsi dalam metabolisme. Akibatnya, kegiatan sel akan terhenti. Itu sebabnya, wadah-wadah formaldehid harus diberi label tengkorak. Artinya beracun. Dan, perlu kehati-hatian dalam menanganinya. Tapi formaldehid dalam formalin tidak sereaktif formaldehid murni. Meski larutan yang stabil dengan titik didih 96 derajat celsius ini tetap merupakan pereduksi sangat kuat. Ia juga dapat meracuni tubuh, baik menyusup lewat pernapasan, perncernaan, maupun kulit. Konsentrasi terendah formalin yang dapat mematikan manusia lewat pernapasan adalah 17 mg per meter kubik per 30 menit, dan lewat mulut sebesar 108 mg per kilogram berat badan. Saat formalin dipakai mengawetkan makanan, gugus aldehid spontan bereaksi dengan protein-protein dalam makanan. Jika semua formaldehid habis bereaksi, sifat racun formalin hilang. Protein makanan yang telah bereaksi dengan formalin tidak beracun dan tidak perlu ditakuti. Namun nilai gizi makanan itu menjadi rendah, karena proteinnya berubah. Protein-protein dalam tahu berformalin, misalnya, menjadi sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (tripsin). Modifikasi struktur rantai samping residu lisin dan arginin akibat reaksi dengan formaldehid membuat pusat aktif tripsin tidak mampu mengenali sisi spesifik pemutusan ikatan peptida pada protein tahu. Ini yang membuat tahu berformalin jauh lebih sulit dicerna ketimbang tahu bebas formalin. Makanan berformalin akan beracun hanya jika di dalamnya mengandung sisa formaldehid bebas. Sisa formaldehid bebas (yang tidak bereaksi) hampir selalu ada dan sulit dikendalikan. Itulah sebabnya, formalin untuk pengawet makanan tidak dianjurkan karena sangat berisiko. Cara sederhana untuk menghilangkan sisa formaldehid bebas dalam formalin adalah penguapan sampai kering (di atas 100 derajat celsius). Tidak menggunakan formalin untuk bahan pengawet makanan adalah langkah terbaik. Bahan beracun tak identik dengan bahan tidak bermanfaat. Formalin memang bukan untuk pengawet makanan. Sifat racun formalin cocok untuk antiseptik toilet, disinfektan, senyawa pembalsem, dan pensteril tanah. Industri penyamakan kulit dan industri pengolahan berbagai protein nabati agar berubah menjadi serat juga menggunakan formalin. Formaldehid yang telah bereaksi hilang sifat racunnya. Itu sebabnya, tidak perlu takut menggunakan busana dari kulit (yang dalam proses penyamakannya menggunakan formalin) atau produk peralatan makan dari bahan melamin (yang pada proses pembuatannya juga pakai formalin). Sementara itu, pekerja yang tiap hari bekerja dengan formalin, misalnya pekerja industri penyamakan kulit, dan pekerja pengawetan mayat atau bangkai di rumah sakit atau di laboratorium, dianjurkan untuk selalu menggunakan kacamata, penutup hidung, dan sarung tangan saat bertugas. Dan, minum susu murni secara teratur merupakan antidot untuk menawarkan racun formalin. Dr. Zeily Nurachman Guru biokimia Jurusan Kimia ITB [EMAIL PROTECTED] [Kolom, Gatra Nomor 10 Beredar Senin, 16 Januari 2005] http://www.gatra.com/artikel.php?id=91548