Gatal Sepanjang Hayat

Komang Gentos (GATRA/Ni Komang Erviani)Udara panas kota Denpasar membuat Komang Gama kegerahan. Ia terbaring gelisah di ruang rawat Kamboja, Rumah Sakit (RS) Sanglah. Rasa gatal yang sangat menyerang beberapa bagian tubuhnya sekaligus. I Nengah Astiti, 40 tahun, sang ibu, hanya bisa membantu putranya yang berusia 14 tahun itu dengan mengibas-ibasnya dengan sebuah kipas tangan.

Gama mengalami kelainan pada kulitnya. Ada guratan-guratan kasar seperti sisik di sekujur tubuhnya. Terik sinar matahari dan udara panas menjadi momok menakutkan bagi keseharian bocah asal Desa Suteg, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, itu.

Sejak dilahirkan dengan bantuan bidan desa, Gama sudah menunjukkan gejala tidak wajar pada kulitnya. Menurut Astiti, kulit anak ketiganya itu bersisik sejak lahir. Tak hanya itu, struktur tulang pada telapak tangan dan kakinya juga tak normal. Tapi ia bisa berjalan meski agak pincang.

Astiti mengaku tidak mengerti apa yang membuat kulit Gama bersisik. Menurut dia, dua dari empat anaknya menderita penyakit ini. Namun satu yang lain, perempuan, meninggal di usia satu setengah bulan. Ia juga tak tahu penyakit apa yang merenggut nyawa bayinya itu. Nasib yang kini menimpa Gama juga dianggapnya sebagai garis nasib.

Usai persalinan, Astiti sempat membawa Gama berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Bangli. Tapi cuma tiga minggu, dan tak berlanjut. "Waktu itu, dokter nggak bilang sakit apa. Cuma dikasih obat. Tapi nggak mau sembuh," tutur perempuan petani itu. Karena keterbatasan biaya, Gama lantas diboyong pulang dan dirawat di rumah.

Astiti dan suami yang juga sepupunya itu hanya sesekali membawa Gama ke balian (orang pintar/dukun). "Biasanya dikasih boreh (ramuan minyak dan rempah-rempah --Red.), biar lemas kulitnya," kata Astiti. Tiga kali sehari, tubuh Gama juga digosok halus dengan air kelapa muda. Tak kunjung membaik. Baru akhir Oktober lalu, Gama dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk mendapat perawatan atas bantuan Bupati Bangli.

Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama. Persis di ranjang sebelahnya, Komang Gentos, 10 bulan, terus merengek. Tampak di sisinya, Darmini, 23 tahun, sang ibu, mencoba menenangkannya. Ia heran dengan penyakit Gentos. Sebab, saat dilahirkan, kulit Gentos normal seperti bayi-bayi lain. "Setelah satu jam (sejak dilahirkan --Red.), baru kulitnya kering, terus mengelupas," ujar Darmini.

Selain Gentos, anak pertama Darmini juga mengalami sakit yang sama dan meninggal ketika berusia 17 hari. Toh, anak kedua Darmini, wanita yang juga menikah dengan pria sepupunya, lahir normal dan kini sudah berusia enam tahun. Bersama Gama dan Gentos, masih ada tiga pasien kakak beradik yang dirawat di RS Sanglah dengan wajah, sebagian kaki, serta tangan bersisik.

Berdasarkan catatan RS Sanglah, ada 19 kasus kulit bersisik yang tersebar di sejumlah kabupaten di Bali. Namun diperkirakan masih banyak kasus serupa di Bali yang belum terekspose. ''Kulit bersisik bukanlah kasus baru dalam dunia medis," begitu diutarakan Anak Agung G.P. Wiraguna, dokter spesialis kulit yang menangani pasien kulit bersisik di RS Sanglah.

Kasus semacam ini bahkan telah tercatat di dunia kedokteran sejak abad ke-17. "Pertama kali di situ bukan berarti kasus pertama. Sebelum itu juga sudah banyak," ujar Anak Agung Wiraguna, yang meraih spesialis kulit dan kelamin di Universitas Airlangga, Surabaya.

Secara statistik, rasio kemungkinan terjadinya kasus ini mencapai 1:300.000. Artinya, terjadi satu kasus di antara 300.000 kelahiran. Setiap tahun, RS Sanglah rata-rata menangani enam kasus kulit bersisik. Dikatakan Wiraguna, kulit bersisik yang dalam bahasa kedokteran disebut dermatosis eritroskuamosa, dengan gejala klinis kulit kemerahan, itu dibangkitkan oleh sejumlah penyakit.

Dermatosis sendiri berarti penyakit kulit, sedangkan eritroskuamosa artinya kemerahan (eritema) dan bersisik (skuama). Jadi, dermatosis eritroskuamosa adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit kemerahan dan bersisik. Yang dimasukkan dalam kelompok penyakit ini antara lain psoriasis vulgaris, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, dermatofitosis (jamur), dan iktiosis.

Berdasarkan foto dan hasil pemeriksaan histopatologi, kasus kulit bersisik di Bali kemungkinan berupa psoriasis vulgaris dan kelompok penyakit iktiosis. Walaupun penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, diduga disebabkan faktor genetik dan faktor imunologik (autoimun).

Karena itu, unsur perkawinan dalam satu lingkungan keluarga diperkirakan memperbesar peluang penyakit yang dikategorikan tidak menular itu. Pada dasarnya, sisik terjadi karena kulit tidak memiliki kemampuan memproduksi minyak dan tidak mampu menghalangi penguapan air.

Pada orang normal, menurut Wiraguna, jaringan lapisan kulit membentuk keratin (lapisan tanduk) dan lemak yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap rangsangan dari luar dan penguapan air yang berlebihan. Pada penderita iktiosis, terjadi mutasi gen pembentuk keratin yang bersifat autosomal dominan dan juga mutasi pada enzim yang diperlukan untuk memproduksi dan metabolisme lemak yang bersifat autosomal resesif.

Akibat dari semua itu, terjadi gangguan pada fungsi pertahanan kulit, sehingga lapisan kulit bagian atas tak punya kemampuan mempertahankan keseimbangan antara kadar air yang ditahan di kulit dan air yang menguap melalui lapisan kulit. Kalau sudah begitu, kulit tampak kering dan bersisik terus-menerus.

Timbulnya kulit kemerahan dan bersisik umumnya dipicu oleh garukan atau tekanan yang berulang. Menurut Wiraguna, penyakit ini sulit disembuhkan. "Karena bersifat genetik, belum ada obat yang efektif untuk mengatasinya secara tuntas," ujarnya. Namun gejala gatalnya bisa ditekan, meski tidak permanen.

Maka, sebagai dokter, ia perlu memberi penjelasan kepada penderita dan keluarganya bahwa penyakit ini berlangsung seumur hidup, tidak menular, dan tidak mengancam jiwa. ''Pihak keluarga juga perlu dukungan moril, agar penderita bisa menjalani kehidupan secara normal, seperti sekolah dan berinteraksi sosial, karena penyakit ini tidak mengganggu kecerdasan penderitanya," ia menambahkan.

Seakan hendak mewakili keinginan manusia bersisik lainnya, Gama mengungkapkan harapannya untuk bisa sembuh. Dengan begitu, ia merasa tidak perlu takut lagi pada sinar matahari dan bisa bermain mobil-mobilan di luar rumah. Lebih penting dari itu, "Biar bisa sekolah," kata bocah yang sampai hari ini belum juga mengenyam pendidikan formal itu.

Bambang Sulistiyo, dan Komang Erviani (Denpasar)
[Kesehatan, Gatra Nomor 52 Beredar Kamis, 9 November 2006]

Kirim email ke