Investasi
Terbuai Investasi Rawan Virgin Island

Di pojok paling kiri ruang tamu kantor yang disesaki nasabah, Hendri Susanto 
duduk tercenung dengan mata terpejam. Kadang kepalanya menunduk, kadang 
digeleng-gelengkan. Sesekali kedua tangannya mengusap wajahnya yang kuyu. "Saya 
benar-benar tak menyangka bakal jadi begini," ucapnya lirih.

Lelaki 45 tahun itu diguncang penyesalan amat sangat. Seluruh simpanannya hasil 
memeras keringat selama puluhan tahun, jumlahnya sekitar Rp 5 milyar, amblas di 
kantor PT Wahana Bersama Globalindo (WBG) di Surabaya. Cuma sebentar ia 
menikmati hasilnya. Setelah itu, wasalam tanpa kesan.

Sejak beberapa bulan ini, WBG yang merupakan agen pemasaran Dressel Investment 
Limited untuk Indonesia mulai gonjang-ganjing. Malah, belakangan, aktivitasnya 
terhenti. Pimpinannya tak lagi nongol, karyawan tak digaji. Tak ayal, ribuan 
investornya dicekam panik, lalu meluruk ke kantor-kantor WBG.

Hendri termasuk salah satu investor di Surabaya yang paling terpukul. Maklum, 
fulusnya yang bablas di perusahaan investasi portofolio itu tidaklah sedikit. 
Selasa pekan lalu itu, ia bersama puluhan investor WBG --dari sekitar 300 
investor di "kota buaya" itu-- mendatangi kantor WBG di lantai 11 Gedung BII di 
Jalan Pemuda.

Pada saat bersamaan, petugas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur menggeledah 
kantor tersebut. Hendri yang emosional ikut menerobos ke ruang marketing. "Saya 
mencari yang mulut besar itu. Mana dia!" teriaknya. Tapi yang dicari tak ada. 
Hendri pun akhirnya terduduk lesu di kursi paling kiri ruang tamu kantor itu.

Orang yang dimaksud Hendri adalah Baina, seorang tenaga marketing PT WBG. 
Baina-lah yang membujuknya menanamkan uang pada 2003. Hendri mengaku terpikat. 
Baina amat pandai membujuknya dan memaparkan banyak keuntungan yang diraih bila 
berinvestasi di WBG.

Ujung-ujungnya, jadilah Hendri berinvestasi. Tahap awal, pengusaha ini menanam 
US$ 255.000, yang dikuras dari tabungannya di Bank Mandiri sebesar US$ 250.000 
dan BII senilai US$ 5.000. Hendri ikut dua program investasi: Sportmans 
(program bulanan dengan bunga 2% per bulan) dan program GMP dengan bunga 7% per 
triwulan.

Selama setahun, investasinya itu berjalan lancar. Pembayaran bunganya 
berlangsung mulus. Pada 2004, entah kenapa, Hendri mulai tak enak hati. Ia 
khawatir nasib WGB bakal seperti bisnis investasi lainnya yang ambruk di tengah 
jalan. Ketika investasinya jatuh tempo, Hendri bermaksud menarik duitnya.

Lagi pula, waktu itu ia butuh duit buat beli mobil dan biaya kuliah anaknya. 
Tapi, kata Hendri, Baina terus membujuknya seraya meyakinkan bahwa investasinya 
di WBG bakal aman-aman saja. Hendri mengaku seperti tersihir sehingga kembali 
bersemangat terus menyuntikkan investasinya sampai mencapai US$ 555.000.

Dua tahun berselang, penghujung 2006, kekhawatiran Hendri terbukti. Pembayaran 
bunga mulai macet. Para investor berbondong-bondong berusaha menarik 
investasinya. Tapi banyak yang tak beruntung. Duitnya nyangkut tak jelas sampai 
kapan.

Stres pun melanda investor. Malah ada yang stroke, seperti dialami Setiady 
Tanzil, investor dari Bandung. Lelaki 74 tahun ini mengaku sangat terpukul 
lantaran seluruh tabungannya sebesar US$ 15.000 terbenam di PT WBG. "Yang 
seperti ini jangan percaya lagi. Itu penipuan," ujarnya.

Sampai Selasa lalu, investor di Bandung tampaknya belum melapor polisi. 
Sedangkan sejumlah investor di Surabaya, lewat kuasa hukumnya, Abdul Salam, 
melaporkan kasus itu ke Polda Jawa Timur. Polisi tengah mengusut kasus ini. 
"Ini penipuan," kata penyidik dari Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Puji 
Riyanto.

***

Sejak berkiprah pada 1996 hingga sekarang, PT WBG yang berkantor pusat di 
Jakarta ini diperkirakan telah menjaring ribuan investor yang tersebar di 
kota-kota besar. Total investasinya ditaksir mencapai Rp 3,5 trilyun. Maklum, 
harga produk yang dipasarkan tak murah: US$ 5.000 per unit (Sportmans) dan US$ 
10.000 per unit (GMP).

Adapun investornya orang berduit dari berbagai kalangan. Ada pengusaha, 
pedagang, artis, pejabat pemerintah, sampai anggota DPR. Malah Ketua DPR Agung 
Laksono juga menjadi investor. Menurut Agung, dana yang diinvestasikan itu 
milik keluarganya, tapi tak disebutkan berapa jumlahnya.

Menurut keterangan, para investor umumnya membeli puluhan bahkan ratusan unit. 
Investor tertarik lantaran yield atau bunga yang ditawarkan lebih tinggi dari 
bunga deposito, tapi jauh di bawah bunga perusahaan sejenis yang telah banyak 
rontok.

Sebutlah, misalnya, PT Qurnia Subur Alam Raya yang paling menghebohkan. Lalu 
Pohonmas, Probest, dan Add Farm. Perusahaan ini mengimingi dengan bunga sampai 
5% sebulan.

Di mata investor, PT WBG dinilai relatif aman. Apalagi, ia mengusung nama 
Dressel Investment Limited yang berkedudukan di British Virgin Island. Investor 
juga terpikat oleh pemasaran PT WBG yang dilancarkan sangat gencar. Umumnya 
calon investor diteleponi, bahkan didatangi dan dikirimi brosur.

Dari tampilannya saja, brosur itu sudah terkesan mewah. Dicetak di atas kertas 
luks yang tebal berhiaskan kompas dan burung rajawali. Profil para pengurus 
Dressel juga ditampilkan. Sedangkan dananya disebutkan diputar antara lain 
untuk produk derivatif, manufaktur, properti, tambang emas, dan teknologi.

Para tenaga pemasar PT WBG tak segan membujuk calon investor untuk bertandang 
ke kantor WBG, menyaksikan presentasi seputar produk Dressel. Tak mengherankan, 
dalam waktu singkat, PT WBG telah menjaring banyak investor. Kian tahun kian 
bertambah. Apalagi, selama bertahun-tahun investor merasa aman-aman saja.

Toh, perusahaan itu akhirnya guncang juga. Di Jakarta, gonjang-ganjing bisnis 
PT WBG mulai mencolok pada Februari lalu. Gara-garanya, tersiar kabar bahwa 
pembayaran yield tersendat dalam beberapa bulan terakhir. Kegelisahan pemodal 
di Jakarta juga dipicu sikap investor Surabaya yang ramai-ramai menarik dananya 
sejak Desember lalu.

Maka, para nasabah di Ibu Kota pun berbondong-bondong mendatangi kantor WBG di 
Wisma BRI II lantai 18, Jalan Sudirman. Pihak PT WBG mengakomodasinya dengan 
menggelar pertemuan di Balai Sarbini, Plaza Semanggi, akhir Februari lalu. 
Diperkirakan 2.000 investor tumplek di sana.

Para pemilik duit mendesak pengembalian uang dalam waktu singkat. PT WBG 
akhirnya menyepakati pengembalian dicicil Mulai Mei mendatang sebesar 5% selama 
20 bulan. Sedangkan investor yang tak menarik dananya hanya akan diberi bunga 
12% setahun, yang dibayarkan tiap tiga bulan.

Tapi investor memilih menarik dananya. Akibatnya, dana cadangan yang 
dialokasikan PT WBG cepat ludes. Uniknya, seperti diutarakan waktu itu oleh 
Manajer Komunikasi Pemasaran PT WBG, Yolinda Sahelangi, kewajiban kepada 
nasabah akan ditalangi Mega Rise Investment dari Singapura.

Tak jelas bagaimana ceritanya sampai Mega Rise dilibatkan. Yang pasti, 
pengembalian duit investor semakin tak jelas menyusul ditutupnya kantor PT WBG 
di Wisma BRI II tersebut. Pengakuan petugas sekuriti BRI II, kantor itu ditutup 
pengelola gedung sejak dua pekan lalu.

Rupanya pihak pengelola BRI II sudah mendengar kabar bahwa PT WBG bermasalah 
dengan kepolisian dan nasabahnya. "Daripada kantor ini diserbu nasabahnya, 
lebih baik diantisipasi dengan menutupnya," ujar seorang Satpam.

Nasabah pun makin kelimpungan. Saban hari, belasan nasabah yang melongok ke 
sana terpaksa gigit jari. Tak ada manajemen PT WBG, apalagi presiden 
direkturnya, Krisno Abiyanto. Ketika mendapat informasi bahwa PT WBG pindah ke 
Plaza Bapindo lantai 10 dan berganti baju menjadi Mega Rise Investment, mereka 
pun meluncur ke sana.

Lagi-lagi para nasabah kecewa berat, karena Mega Rise belum resmi beroperasi di 
situ. Malah surat permohonan sewanya belum disetujui manajemen gedung. Apa 
boleh buat, tampaknya penyelesaian masalah ini masih akan berlarut-larut. 
Polisi mesti segera turun tangan.

Taufik Alwie, Anthony, Arif Sujatmiko (Surabaya), dan Sulhan Syafi'i (Bandung)
[Hukum, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 15 Maret 2007] 

http://www.gatra.com/artikel.php?id=103159

Reply via email to