Minggu, 27 Agustus 2006

Asal Usul Nama Tempat di Jakarta 




Setelah dilakukan penelitian, penyebutan nama tempat dan nama kampung yang ada 
di Jakarta tidak sekadar asal nama. Hampir semua nama tempay dan kampung yang 
dikaji ternyata mempunyai riwayat sendiri-sendiri, seperti peristiwa sejarah 
yang pernah terjadi. Ada juga nama kampung atau tempat yang dikaitkan dengan 
vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang banyak ditemukan. Juga ada nama tempat atau 
kampung yang dikaitkan dengan seorang tokoh yang pernah tinggal di tempat itu. 

Baiklah kita mulai dengan kawasan Ancol di Jakarta Utara, yang kini menjadi 
tempat rekreasi paling terkenal di tanah air. Ancol mengandung arti tanah 
rendah berpaya-paya. Dahulu, bila laut sedang pasang, air payau kali Ancol 
berbalik ke darat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah 
bila Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut Zoutelande (tanah asin). 
Sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada 
1656.

Dari Ancol kita ke Angke, Jakarta Barat. Di sini kita menemukan masjid tua yang 
berusia hampir 300 tahun (dibangun pada 1714), yakni Masjid Al-Anwar. Kata 
Angke berasal dari bahasa Cina, ang, yang berarti darah, dan ke, yang artinya 
bangkai. Nama ini terkait peristiwa sejarah tahun 1740 ketika terjadi 
pemberontakan orang Cina di Batavia. Ribuan warga Cina yang dibantai Belanda 
mayatnya dihanyutkan ke kali, yang kemudian menjadi kali dan kampung Angke. 
Sebelumnya, kampung itu bernama Kampung Bebek. Karena, orang Cina yang tinggal 
di situ senang beternak bebek.

Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja. Yang ada nama kelurahan dan 
stasioon Gambir. Kata Gambir sudah dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels 
mulai membuka daerah itu pada 1810. Kata ini mengacu pada sebutan masyarakat 
setempat yang melihat banyaknya pohon gambir yang tumbuh di kawasan tersebut. 
Sebelum dikembangkan oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda 
yang dinamakan Weltevreden, kawasan itu masih merupakan daerah rawa-rawa dan 
padang ilalang. Pada abad ke-17 oleh pemiliknya, Anthony Paviljoen, daerah itu 
disewakan pada masyarakat Cina sebagai lahan pertanian tebu, sayur-sayuran dan 
persawahan.

Di daerah yang kini dikenal sebagai Lapangan Monas pernah tiap tahun 
diselenggarakan Pasar Gambir untuk memperingati HUT Ratu Wilhelmina, nenek Ratu 
Beatrix sekarang ini. Keramaian itu, kemudian, oleh Gubernur Ali Sadikin 
dilanjutkan dengan Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta) guna memperingati HUT Kota 
Jakarta.

Tidak jauh dari Gambir terdapat kampung Gondangdia yang kini berada di daerah 
pemukiman elit Menteng, Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal di 
kalangan masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi: 
Cikini si gondangdia, saya disini karena dia.

Ada beberapa versi nama kampung Gondangdia. Berasal dari nama pohon gondang 
(sejenis pohon beringin). Berasal dari nama binatang air sejenis keong gondang, 
yang artinya keong besar. Juga berasal dari nama seorang kakek yang terkenal 
dan disegani masyarakat sekitar kampung. Kakek ini punya nama kondang dan 
sering dipanggil 'kyai kondang'. Nama tempat itu pun disebut gondangdia (kakek 
yang tersohor).

Dari Jakarta Pusat kita ke Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Di sini terdapat 
kawasan Kebantenan, karena sejak 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman 
orang-oroang Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra 
Sultan Agung Tirtayasa. Tentang keberadaan orang Bantgen di kawasan tersebut, 
kisahnya dimulai, setelah Sultan Haji mendapatkan bantuan Kompeni. Akibatnya 
Sultan Agung Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama 
keluarga dan abdi-abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi 
kemudian terpaksa menyerahkan diri: Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran 
Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati). Di Batavia awalnya 
mereka ditempatkan di dalam lingkungan benteng. Kemudian, Pangeran Purbaya 
beserta keluarga dan abdi-abdinya diberi pemukiman di Kebantenan, Jatinegara, 
Condet, Citreureup, Ciluwer, dan Cikalong. 

Selain Kebantenan di Jakarta Utara, ada pula Kebantenan yang terletak antara 
Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah baratdaya 
Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada 
di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, 
peninggalan kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan 
sejarah Jawa Barat.

Dari Kebantenan Jakarta Utara, kita menuju ke Kampung Ambon di Rawamangun, 
Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak 1619. Pada waktu itu Gubernur Jenderal 
JP Coen menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan 
perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari 
masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen kemudian ditempatkan di 
Batavia, yang kini menjadi Kampung Ambon.

Pada awal berdirinya VOC, Belanda menempatkan masyarakat untuk tinggal di 
kampung-kampung dengan nama etnis mereka. Karena itu, di Jakarta banyak nama 
tempat mengacu pada etnis, seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung 
Banda(n), Kampung Bugis, dan Kampung Makassar. Di masing-masing kampung itu 
Belanda menempatkan kapiten, yang dipilih dari tokoh masyarakat yang disegani 
dari tiap etnis.

(Alwi Shahab ) 
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=262062&kat_id=84

Reply via email to