sambungan dari Bag.1 Juni 1987 Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran kacau-balau. Aku menjawab soal-soal sekenanya. Aku tak bernafsu untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus saja sudah bagus. Aku bukan saja kehilangan cita-cita, tapi juga semangat dan daya juang. Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung sendiri, aku jadi uring-uringan. Tiada hari tanpa muka masam dan keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya tidak menyikat lantai kamar mandi atau lupa mencuci piring kotor saja, kami bisa bertengkar hebat. Sejujurnya, aku tak kuat lagi dan ingin angkat kaki dari sini.
"Kenapa sekarang sikapmu jadi berubah, Mei Cen? Dulu kamu tidak kurang ajar begini," tegur Tante Lin suatu kali. "Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak berkelahi Kasihan mamamu. Ia kanseharian bekerja keras" lanjutnya lagi. "Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang tua itu pernah punya niat ingin membunuhku, maaf saja! Aku tidak bisa," dengusku, sambil memecahkan telur satu per satu ke dalam adonan. "Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan diingat-ingat terus." "Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak hidup seorang anak yang dirampas ibunya sendiri, masalah anak yang terlahir cacat karena kesalahan ibunya. Apakah sang ibu mengakui kesalahannya? Tidak. Apakah sang ibu menyesali perbuatannya? Tidak. Apakah sang ibu pernah meminta maaf kepada anaknya? Juga tidak. Lalu, kenapa Tante memaksaku menghormati orang tua yang demikian? Hanya karena dia sudah memberiku makan setiap hari?" Aku nyaris membanting baskom berisi adonan. "Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu karena umurnya yang sudah tidak muda. Dia mengalami perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit. Untuk membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual perhiasannya. Paling tidak, hormatilah pengorbanannya itu!" Tante Lin mencoba menasihati. "Oh. jadi sekarang dia menuntut penghormatan?" "Bukan begitu, tapi.." "Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma pasti tahu ketika Mama berniat untuk menggugurkan kandungan," cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku lemah, tapi tidak menjawab. "Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya? Atau, malah justru membantu dengan senang hati?" tanyaku, sinis. "Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali punya keinginan, tidak ada orang lain yang bisa melawannya. Sifatnya keras sekali. Kami tak bisa berbuat apa-apa," kata Tante Lin, berdalih. "Ceritakan Tante, seberapa keras keinginan Mama untuk melenyapkan aku?" Aku segera duduk di depannya. Tante Lin terperangah, menyadari kata-katanya yang salah, lalu meralatnya. "Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang sebenarnya. Jangan khawatir, aku tak akan mati terkejut," desakku lagi. "Coba ceritakan, apa lagi yang dilakukannya?" Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika matanya bertabrakan dengan mataku, ia akhirnya menyerah. "Dia. dia. pernah membanting-banting tubuhnya sendiri di lantai, memukuli perutnya dengan kayu.," ujar Tante Lin terbata-bata. "Apa lagi?" bisikku, mencoba menguatkan hati. "Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum gugur juga, dia nekat pergi ke dukun. Segala macam alat digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai. dukun itu berdiri di perut mamamu, lalu menginjak-injaknya.," kata Tante Lin. "Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah menyangka kau akan terlahir cacat dan menanggung malu seumur hidup.." "Apakah. Mama menyesal ketika melihat keadaanku?" "Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus bagaimana. Dia sempat menawarkan kepada orang lain untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau menerima bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri karena tidak siap menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia mulai menyesal dan berniat untuk membesarkanmu." Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya. Di wajahnya terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal. "Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak pergi meninggalkannya, ini tidak akan terjadi. Dia mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima pengkhianatan papamu." Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali setiap kata yang barusan kudengar. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan menyendiri di kamar. Membayangkan detail kisah itu tidak saja membuat jiwaku tersiksa, tapi aku juga merasa tak berharga sama sekali. Kini aku tahu, kenapa Mama sulit menerima kehadiranku sebagai anak. Penghalang utamanya adalah kebenciannya yang begitu dalam pada Papa. Itulah yang ditumpahkannya padaku. Kenapa aku yang dijadikan alat pelampiasan sakit hatinya? Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga. Tak ada nilainya. Tak ada artinya. Selama beberapa hari, hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di otakku. Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya sinar kehidupan. Tiba-tiba, jalan keluar mulai terlihat, menggoda hatiku untuk melakukannya. Lama-kelamaan, pikiran itu makin mendekati kenyataan ketika kemudian aku menemukan semprotan obat nyamuk di pojok kamar. Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup. Baik, aku akan membantunya sesegera mungkin mewujudkan keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada, kebencian Mama pada Papa mungkin bisa lenyap. Tanggungan hidup Mama juga akan berkurang satu karena dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku. Kalau aku mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam pusaran dendam pada ibu kandungku sendiri. Aku mencintainya, aku tak ingin membencinya.. Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan cairan berbau itu ke dalam kerongkonganku. Rasa panas yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha menarik apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda beterbangan jatuh. Suaranya berisik. Pandangan mataku mengabur, lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku terempas, sempat kuingat ada tangan yang merogoh mulutku, sementara tangan yang lain menekan tengkukku dengan kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang amat sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku terkapar. Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari benakku. Ketika membuka mata, aku mendapati diriku tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher. Setelah pandangan berkunang-kunang yang mengganggu itu hilang, aku menyeret kaki dan memaksanya keluar dari kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang, menandakan sudah pukul satu dini hari. "Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi?" gumamku lirih, dengan tubuh lemas, bersandar di tembok dapur. Mama tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu. Buktinya, ia masih meneruskan kegiatannya menjerang air untuk menyeduh kopi. "Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? Biar dendam Mama terbalas. Biar hati Mama puas. Biar hidup Mama tak lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama ini? Kematianku?" cecarku, sambil bergerak maju menghampiri. Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang dipegangnya ke lantai. Cipratan kopi panas mengenai kakiku yang telanjang. "Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih, diungkit-ungkit terus? Tidak bisakah kita hidup tanpa saling menyalahkan?" Tampak sekali Mama berusaha menekan amarah. Mukanya tegang dan bibirnya gemetar. "Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi," ujarku, sinis. "Jangan kurang ajar, Mei Cen!" "Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya? Setelah usaha yang Mama dulu lakukan gagal, mestinya Mama berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan itu. Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama tinggal bilang saja, mau pakai cara apa? Terjun dari gedung tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi? Dengan senang hati aku akan melakukannya untuk Mama." Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama mengacungkan telunjuknya di depan hidungku. "Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada di kepalamu? Setiap hari kita bertengkar tentang hal yang itu-itu juga! Kenapa Mama begini, kenapa Mama begitu. Berkali-kali dijelaskan tentang situasi yang menjepit waktu itu, kamu masih tidak bisa mengerti juga. Mama tidak punya pilihan lain waktu itu, Mei Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Seorang wanita setengah tua, yang ditinggal mati suaminya tanpa warisan? Sendirian bekerja untuk menghidupi seisi rumah dengan penghasilan pas-pasan. Apakah itu beban yang ringan?" "Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu sebagai kesalahan. Itu masalahnya!" jeritku, sakit hati. "Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat? Tidak ada manusia yang bisa menentang kehendak takdir. Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada yang menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak mampu membiayaimu berobat. Lihat sendiri keadaan kita, Mei Cen. Untuk makan saja kita harus berhemat, belum lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain. Sekarang kamu bicara dengan lagak orang paling pintar sedunia! Main tuding. Ini salah, itu salah! Hei, kamu sadar tidak? Semua yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama. Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!" Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa sial. Itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini. "Mama tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. Aku tidak akan pernah mengganggu hidup keluarga ini lagi karena aku tidak pernah diharapkan ada di sini! Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!" jeritku membabi-buta, menerjang kamar dan langsung mengambil tas di atas lemari. "Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing. Sudah besar malah tambah bikin masalah! Anak kurang ajar! Anak durhaka kamu! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin baik!" teriak Mama, tak kalah seram, kali ini dengan melempar beberapa piring ke arah pintu kamarku. Sambil terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku pelajaran, ijazah dan surat-surat penting, tiga helai baju yang kubeli dengan uangku sendiri, dan selimut tua milik Oma. Aku harus keluar dari rumah ini. Harus! Tak ada lagi yang bisa menahanku lebih lama di sini. Aku cuma seorang manusia cacat tak berguna. Benalu yang membebani. Kenapa Yang Kuasa tidak mencabut nyawaku saja? Tak ada arti lagi hidupku kini. Selama beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang keputusanku untuk pergi. Masalahnya, aku tidak punya tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya. Dengan menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku membulatkan tekad untuk keluar dari rumah ini. Menjelang matahari terbit, dengan lunglai aku menyampirkan tas di bahu dan beranjak membuka pintu depan. Derit suaranya yang khas membuatku terkesima. Mungkin, ini saat terakhir aku bersentuhan dengan pintu kayu yang besar ini. Tanpa sadar kuusap cat cokelatnya yang sudah terkelupas. Perlahan aku berjalan menjauhi rumah, tempat aku dibesarkan, meninggalkannya setapak demi setapak. Kedua tanganku menggenggam erat secarik kertas bertuliskan sebuah alamat Yogyakarta Juni 1987 - 1993 Mulutnya menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu dilepas. Ia menatap, menyelidik. Beberapa detik kemudian, ia membuka gerendel pintu. "Mei Cen?" tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk kuat-kuat sambil menggigil kedinginan. Hujan lebat membuat pakaianku melekat di sekujur kulit. Perutku terus berbunyi, lantaran belum diisi sejak kemarin. "Pasti ada sesuatu yang sangat serius sehingga kamu menemui Ibu di sini," katanya, heran dan curiga. Ia menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan menyuruhku membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam. Ia adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi, karena selalu memberiku semangat. Sayangnya, ia harus pindah tugas ke Yogyakarta. Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng teri, aku duduk di depan Ibu Minarni yang menunggu ceritaku. Dengan getir aku mengulang kisah hidupku, sejak lahir hingga detik-detik terakhir pertengkaranku dengan Mama. Kedua mata Ibu Minarni tampak berkaca-kaca. "Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya tinggal di sini sampai mendapat pekerjaan. Saya janji, tidak akan membuat Ibu susah. Saya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, cuci baju, semuanya, apa saja, asalkan diizinkan menumpang di sini, Bu. Tidur di lantai WC pun tak apa-apa. Ibu tak perlu memberi saya makan. Ibu boleh memperlakukan saya sebagai pembantu," tuturku. Setelah beberapa menit berlalu tanpa ada reaksi apa-apa, aku mendongak. Ibu Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku. "Ibu tahu perasaanmu, Mei Cen. Tapi, melarikan diri bukan jalan keluar yang baik. Keluargamu pasti sangat khawatir. Apalagi, mamamu.." "Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama tidak melarangku, bahkan mengusirku." "Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu melontarkan kata-kata yang bukan maksudnya." Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu Minarni, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan. "Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan permintaanku," kataku. "Kamu mau ke mana?" Ibu Minarni ikut berdiri. "Pergi." "Lho? Bukankah kamu ingin menemui Ibu?" "Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, 'kan? Ibu tidak percaya cerita saya, 'kan?" sergahku, sengit. "Jangan buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa tidak enak dengan keluargamu, jangan-jangan mereka menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari rumah. Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap orang tuamu." "Percayalah, Bu. Mama tidak akan pernah merasa kehilangan. Ia tidak mungkin mencari, apalagi lapor kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti saya." "Hus, jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebaikan, menurut rupa dan teladan-Nya. Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna. Baik, kau boleh tinggal di sini. Ibu akan menganggapmu sebagai anak. Ingat itu! Tapi, asal kamu tahu, Ibu bukan orang kaya. Artinya, kamu harus menerima ikan asin dan tempe sebagai makanan sehari-hari. Setuju?" "Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan menyusahkan Ibu. Tidak akan pernah!" tekadku. "Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Ibu akan tetap memberi tahu keluargamu," katanya, tegas. Sejak itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika Ibu Minarni bangun, rumah sudah rapi dan sarapan sudah terhidang. Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu menjajakannya ke beberapa warung dan toko. Dari 30 tempat yang kudatangi, hanya satu yang bersedia menampung kue-kue buatanku. Dalam beberapa bulan, aku berhasil menjaring dua toko lagi. Uangnya aku gunakan untuk membayar rekening listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun kemudian, Ibu Minarni mengajakku berbicara dengan raut muka serius. Aduh, inilah saat yang paling kutakuti! Ibu Minarni pasti mengusirku! Mungkin, ia akan mengontrakkan rumah ini kepada orang lain atau mungkin membuka kos-kosan. "Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih kembali. Itu bagus. Tapi, Ibu ingin agar kamu bisa lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin.," Ibu Minarni sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan dugaanku? "Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya minta maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau saya harus pergi, saya ingin.," kataku terbata-bata, menahan isak. "Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah.." "Kuliah? Di sini? Tapi.." "Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu. Sayang jika masa depanmu lewat begitu saja. Otakmu cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu Minarni, lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang. "Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu, belajar sungguh-sungguh supaya bisa lulus dengan nilai baik. Supaya kamu bisa datang menemui mamamu dan mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai sebuah kebanggaan," katanya, sambil mengusap rambutku. Kuliah? Aku tidak sedang bermimpi bertemu malaikat kebajikan, 'kan? Sesaat aku ragu, tapi senyuman Ibu Minarni menggambarkan ketulusannya. Tahun pertama kuliah terasa sangat menegangkan. Perasaan minder yang hebat kembali timbul dan membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke mana saja aku melangkah, rasanya setiap mata mengikuti. Hanya segelintir teman yang benar-benar bisa menerima keadaanku. Aku sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa bertemu sosok penolong seperti Ibu Minarni. Dia begitu rajin memperkenalkanku dengan Tuhan, yang tidak pernah kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh kesahku dan giat menyemangatiku. Akan kubuktikan pada Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa dianggap remeh. Di tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu banyak dikejar-kejar berbagai tugas, Ibu Minarni menyuruhku mengikuti bermacam kursus. Mulai dari komputer, bahasa Inggris, sampai kursus keterampilan. Bersama dua teman yang punya minat sama, kami belajar membuat lilin hias dalam bentuk dan warna menarik, lalu menjualnya saat bazar kampus. Di luar dugaan, semuanya laris terjual. Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di antara ratusan orang yang diwisuda. Terpincang-pincang aku menerima ijazah dan ucapan selamat dari para dosen. "Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!" Ibu Minarni memelukku erat-erat, sambil tersenyum puas. "Terima kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa kebaikan Ibu bisa saya balas," kataku, penuh haru. Ibu Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia seperti teringat sesuatu. "Kamu harus segera memberi tahu keluargamu di Siantan. Harus! Tidak boleh tidak!" tegas Ibu Minarni. Aku seperti terkena tembakan tepat di jantung. "Ah, tidak, Bu! Nanti saja! Saya belum siap bertemu mereka." "Kau tidak akan pernah siap selama hatimu terus dipelihara oleh dendam dan kebencian, Mei Cen. Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu satu-satunya jalan." Aku memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah. sayang, Ibu berhati malaikat ini bukan orang tua kandungku. Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh kasih seperti dia. Seandainya saja aku punya kebebasan untuk memilih siapa yang melahirkanku ke dunia. "Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!" tegasku. Kali ini dengan nada dingin yang tak bisa kututup-tutupi. Tak sadar, rahangku mengeras karena desakan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Memaafkan Mama? Mungkin, itu satu-satunya hal yang akan kulakukan jika langit runtuh. Jakarta September 2003 Tampaknya, penduduk kota ini selalu kesetanan setiap hari Senin. Buktinya, pukul tujuh pagi, jalan-jalan sudah dipadati kendaraan. Ditambah genangan air di sana-sini, sisa hujan semalam. Jika tidak telanjur janji dengan Pak Bramanto untuk menyelesaikan proposal proyek, aku tidak rela harus terjebak macet seperti ini. Sudah hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta. Pertemuanku dengan Otto Schmidt, orang Jerman yang tertarik pada pernak-pernik buatanku, membuka sedikit pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi stan kami di acara pameran kecil di Yogya. Perbincangan kami lalu berlanjut ke tahap penjajakan kerja sama dalam bidang art & craft. Ia menyediakan sebagian besar modal dan bertanggung jawab atas pemasaran. Aku dan dua temanku menangani manajemen dan produksi. Malah, kami juga mengembangkan sayap ke bidang dekorasi rumah dan gedung. Sampai di kantor, Mona sudah menghadangku. Tangannya menggenggam buku agenda dan beberapa surat. "Maaf, Bu, Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat ditunda hingga pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru melahirkan," katanya, cepat. "Oh, ya?" ujarku, mengembuskan napas kesal. "Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit sekali menghubungi Ibu." "Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?" "Pukul sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen Perindustrian. Pukul empat sore Ibu diundang ke peresmian mal baru," jelas Mona. Setelah menyerahkan beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku menyampirkan blazer hijau lumut pada sandaran kursi putar, lalu menekan beberapa angka di mesin telepon. "Ibu, ada apa?" "Mei Cen, selamat ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan memberkatimu dengan rahmat dan kebijakan," sapa Ibu Minarni di ujung sana. "Hadiahnya ada di mejamu." Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai penerbangan menarik perhatianku. Isinya, selembar tiket pesawat. "Pontianak?" "Kau tidak ingin menengok keadaan Mama? Kau tidak ingin menjemputnya supaya bisa melihat kehidupanmu sekarang?" Astaga, lagi-lagi topik yang sangat tidak kusukai itu muncul. "Tidak sekarang, Bu," jawabku pendek, sambil menaruh amplop itu di dalam laci dan menguncinya. "Kenapa kau senang mengulur waktu, Mei Cen? Tidak baik memelihara dendam. Kamu sudah dewasa, sudah tahu yang benar dan yang salah. Jangan berkubang di dalam masa lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih, kerugian yang akan kau dapatkan kalau memberi maaf pada ibu kandungmu sendiri?" Suara Ibu Minarni meninggi. "Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini, 'kan? Saya baru saja terjebak macet selama tiga jam dan belum sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa, sih, Ibu belum bosan juga membahas masalah ini?" "Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari Erwan?" "Tidak ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada Erwan, jawabanku tetap sama. Aku tidak akan pulang menemui mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Titik." "Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di atas pasir," keluh Ibu Minarni. Kau sedang mengerjakan hal yang sia-sia. Berdiri di tempat pijakan yang sama sekali tidak kokoh, malah makin menenggelamkan kakimu. Jangan beri tempat untuk amarah. Ingat itu baik-baik!" Ibu Minarni memutuskan hubungan. Aku termangu, mencerna setiap ucapannya. Erwan. Kenapa nama itu harus terdengar lagi? Pria yang katanya mencintaiku apa adanya itu lebih memilih ibunya daripada bersanding denganku. Otto Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku sebagai pengusaha properti yang masih lajang di usia 38. Setahun lamanya kami berteman, hingga suatu malam ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu saja, aku bersedia, karena ia bersumpah akan benar-benar menerima semua kekurangan yang aku miliki. "Tidak malu punya istri cacat?" tanyaku, sungguh-sungguh. "Ah, yang penting kan kecantikan hati!" tegasnya. Ia bilang, kekuatan cinta kami akan sanggup mengalahkan semua perbedaan yang ada. Saat Tahun Baru, Erwan mengajakku makan malam di rumahnya. Ketika melihat pandangan mata ibunya yang terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi masalah serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya rumah bergegas pamit ke kamar dengan alasan kurang enak badan. "Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang tuamu?" tanyaku, sambil melempar serbet. "Sudah, tapi tidak detail," jawab Erwan, salah tingkah. "Tenanglah, aku, toh, sudah memilihmu. Aku akan membicarakannya dengan Mama," janji Erwan. Aku tidak menemukan kejujuran di matanya. Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah kusut masai, aku tahu bahwa hubungan kami tinggal tumpukan abu. "Maafkan aku." Cuma itu. Untuk kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak yang kalah. Pihak yang tidak berhak menerima sebongkah cinta. Satu-satunya orang yang patut disalahkan adalah Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut kebahagiaanku? Kenapa dia begitu kejam merampas hakku untuk hidup seperti perempuan normal lainnya? Makin aku memikirkan jawabannya, aku jadi makin gila. Dan, makin membenci Mama. Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. "Maaf, Bu, ada seorang ibu mau bertemu dengan Ibu. Namanya Lin." "Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa diganggu." Kejutan. Dari mana Tante Lin tahu alamatku? Pasti dari Ibu Minarni. Hmm, mau apa dia datang ke sini menemuiku? Sendiri atau bersama. ah, masa bodoh! Aku sudah bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan mereka lagi. Aku tak mau menemuinya! Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap menghadiri peresmian gerai baru kami di sebuah mal, Mona menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih setia menunggu di ruang tamu. "Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!" "Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan menginap di sini." "Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia macam-macam!" bentakku jengkel. Apa, sih, maunya Tante Lin? Selama tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan, wanita itu tetap tidak beranjak dari kursinya. Ia tetap ingin bertemu denganku. Penting sekali, katanya. Di hari keempat, aku terpaksa mengalah, membuka pintu ruang kerjaku dan mengundangnya masuk. Tante Lin berjalan pelan, sambil mengedarkan pandangan. Kami duduk berhadapan seperti orang asing, saling menunggu lawan bicaranya buka mulut terlebih dulu. Akhirnya, aku tak bisa menahan diri lebih lama. "Ada apa, Tante? Uang yang aku kirim kurang? Kurang berapa?" Tante Lin menatapku gusar. "Bukan masalah uang. Tapi, masalah kesombonganmu! Kamu sengaja tidak mau menemui Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu berhari-hari. Kamu benar-benar keterlaluan!" "Salah siapa? Aku tidak pernah mengundang Tante Lin. Jadi, kalau aku tidak mau menemui tamu yang tidak aku kehendaki, wajar, 'kan?" cetusku, sambil menyipitkan mata. "Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang kaya, Mei Cen. Tapi, jangan kurang ajar pada keluarga sendiri. Jangan lupa diri. Jangan mentang-mentang.." "Kirana. Namaku sekarang Kirana," ujarku, meralat. "Sudahlah, Tante, kurang berapa?" potongku jemu, lalu menarik laci meja di sebelah kananku. Aku mengeluarkan segepok uang, lalu menaruhnya di meja. "Ini, lima juta." "Kamu betul-betul keterlaluan!" Tante Lin mengacungkan telunjuknya di depan hidungku. "Tante datang cuma untuk menyampaikan kabar bahwa mamamu sedang sakit. Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh. Dia sangat mengharapkanmu pulang." "Untuk apa? Aku, toh, bukan anaknya!" "Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei Cen. Sudah kewajibanmu sebagai anak untuk merawat orang tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar." Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang merayap. "Aku sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan aku mengirimkan uang sebagai pengganti semua biaya yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan yang dia minta? Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku tidak punya urusan apa-apa lagi. Silakan ambil uang itu, Tante! Aku masih banyak pekerjaan," ucapku, sambil melangkah ke arah pintu. "Kami tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat! Kau pikir, dengan mengganti nama dan identitas, kamu bisa melupakan asal-usulmu begitu saja? Kau ingin melenyapkan masa lalu? Tidak mau berhubungan dengan kami lagi? Sungguh besar dendammu pada kami!" Bagai disiram bensin berliter-liter, amarahku tersulut. "Ya, aku memang dendam! Dendam seorang anak yang hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat tanganku! Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua? Apakah Mama pernah mengakui kesalahannya, satu kali saja? Apakah pernah dia minta maaf padaku atas percobaan pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu? Apakah dia peduli pada masa depanku dan kebahagiaanku yang terampas?" teriakku, kalap. Tante Lin terenyak mundur. Sambil berlinang air mata, aku meratap lirih, "Siapa yang pernah peduli pada perasaanku? Selalu dianggap tak ada. Bahkan, kalian sepakat mengecapku sebagai anak pembawa sial yang harus diusir keluar dari rumah. Tante tahu, bagaimana perasaanku selama belasan tahun? Sakit sekali. Padahal, aku hanya minta satu hal. Aku hanya ingin Mama menyampaikan penyesalan. Cuma itu! Terlalu kurang ajarkah permintaan itu?" "Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia ingin.." "Maaf, banyak pekerjaan yang menunggu." Cepat-cepat aku mengeringkan mata, lalu membuka pintu lebar-lebar. Sesaat Tante Lin ternganga, kaget melihat sikapku. Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah bungkusan tipis dan menyerahkannya padaku. "Hadiah ulang tahun dari Mama." Aku menatap bungkusan itu dengan sinis. "Tumben, dia ingat ulang tahunku. Bilang padanya, terima kasih untuk kadonya yang sangat berharga. Tapi sayang, aku tak mau menerimanya." "Mei Cen!" "Maaf, Tante. Selamat siang!" Tante Lin memandangku dengan marah. Setelah puas beradu mata, ia berbalik pergi. Saat bayangannya menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya, sukmaku mati rasa. Kenapa setiap kali aku ingin melupakan semuanya, selalu ada yang kembali mengungkit luka itu? Tak bisakah aku kini membangun kembali puing-puing keruntuhan hidup, tanpa harus direcoki percikan-percikan api masa silam? Siantan, Pontianak 21 Juli 2004 Derit kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat lewat di depanku mendorong seorang kakek yang terbaring di ranjang beroda. Aku mengerjapkan mata, menyusun kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran di kursi. Semalaman aku bolak-balik mengintip keadaan Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya keberanian untuk menemuinya. Ketika mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit menyesal karena tidak langsung menanggapi telepon dari Tante Lin, yang sudah menghubungiku selama sebulan terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku tahu, mungkin tak banyak lagi waktu tersisa. Aku beranjak menuju ruang perawat. Informasi yang kudapat sungguh mengejutkan. Keluarga sudah membawa Mama pulang satu jam yang lalu. "Memangnya, sudah sembuh?" tanyaku, penasaran. "Keluarganya ingin merawat di rumah saja," kata seorang perawat. "Kenapa?" tanyaku lagi. "Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal menunggu waktu saja," ucap perawat itu. Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan. Menunggu waktu. Maut sudah di ambang pintu. Mati. Akhirnya, langkah kaki membawaku kembali ke pintu kayu yang sudah kusam dan terkelupas itu. Mataku berkaca-kaca. Inilah rumah yang pernah kutinggali dulu, saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa. Aku melambatkan langkah, menyusuri jejak masa kecilku. Beberapa pojok ruangan tampak kotor dan tak terawat. Rupanya, seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Mata mereka terbelalak ketika melihatku. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat ke pembaringan. Bau kotoran manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan bau apak. Entah siapa yang mengomando, satu per satu mereka keluar. Dengan pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari balik selimut tipis, aku melihat tonjolan tulangnya. Mukanya tirus. Kedua matanya terpejam. Tangannya terlipat di dada. Lima belas menit aku hanya memandangi wajah Mama. Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke telinganya dan berbisik menyapanya. Sungguh, saat ini tak tersisa benci dan dendam dalam diriku. Aku sudah melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata dengan Mama, menghiburnya, menjaganya. "Mama, bisa dengar suaraku? Aku ingin minta maaf. Semestinya, aku bisa datang lebih cepat. Aku takut kita akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut Mama akan mengusirku lagi." Kuusap tangan Mama yang keriput. Kubelai wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Hal yang tidak mungkin aku lakukan dulu. Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama hanyalah angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya. Tapi, ironisnya, dia tak sadarkan diri. "Mama, banyak hal yang ingin kuceritakan. Mama tahu, aku tidak lagi menjual kue seperti dulu. Aku sudah tamat kuliah. Aku ingin minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku sering membuat Mama marah.." Aku terus berupaya membangunkan Mama. Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa henti. Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh bahuku. "Dia sudah meninggal tadi pagi.," bisik Tante Lin. Bisikan itu sangat lembut, tapi efeknya sangat luar biasa. Sesaat aku termangu. Rasanya, sekujur tubuhku kosong. Hampa dan sunyi. Baru kusadari, kepergian Mama membawa pergi sebelah hatiku. Belum sempat kami merekatkan kepingan-kepingan yang terko-yak, Tuhan memanggilnya. Aku menguatkan hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran air mata jatuh juga di pangkuanku. "Dia pergi sambil membawa penyesalan," ujar Tante Lin, serak. "Penyesalan karena kau tidak pernah tahu bahwa ia sudah menyadari kesalahannya, karena kau menolak hadiah darinya." "Hadiah? Hadiah apa?" aku memalingkan wajah pada Tante Lin. "Aku membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun lalu. Kau sama sekali tidak mau menerimanya, bukan?" ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku menggeleng lemah. "Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah lumpuh. Bicara tidak jelas. Ia minta disediakan kertas dan tinta. Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata itu dengan tangan kirinya. Ia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. Harus. Surat ini hadiah ulang tahunmu. Ia ingin kau tahu, sebenarnya ia menyayangimu." Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil sesuatu, lalu mengangsurkan sebuah bungkusan. Tak sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan kertas di dalamnya. Tangisku tak terbendung. Pertahanan diriku bobol sudah. Alangkah egoisnya aku! Alangkah jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar suaraku? Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon! Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini saja! Sambil terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi kertas dalam genggaman tanganku. Tulisan yang tertera di kertas itu tampak dibuat dengan susah payah. Bentuknya acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih buram itu hanya bertuliskan satu kata: M A A F Tamat