sambungan dari Bag.1

Juni 1987
Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran kacau-balau. Aku menjawab soal-soal 
sekenanya. Aku tak bernafsu untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus saja 
sudah bagus. Aku bukan saja kehilangan cita-cita, tapi juga semangat dan daya 
juang. 
Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung sendiri, aku jadi uring-uringan. 
Tiada hari tanpa muka masam dan keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya tidak 
menyikat lantai kamar mandi atau lupa mencuci piring kotor saja, kami bisa 
bertengkar hebat. Sejujurnya, aku tak kuat lagi dan ingin angkat kaki dari sini.

"Kenapa sekarang sikapmu jadi berubah, Mei Cen? Dulu kamu tidak kurang ajar 
begini," tegur Tante Lin suatu kali.
"Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak berkelahi Kasihan mamamu. Ia 
kanseharian bekerja keras" lanjutnya lagi.
"Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang tua itu pernah punya niat 
ingin membunuhku, maaf saja! Aku tidak bisa," dengusku, sambil memecahkan telur 
satu per satu ke dalam adonan. 

"Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan diingat-ingat terus."

"Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak hidup seorang anak yang 
dirampas ibunya sendiri, masalah anak yang terlahir cacat karena kesalahan 
ibunya. Apakah sang ibu mengakui kesalahannya? Tidak. Apakah sang ibu menyesali 
perbuatannya? Tidak. Apakah sang ibu pernah meminta maaf kepada anaknya? Juga 
tidak. Lalu, kenapa Tante memaksaku menghormati orang tua yang demikian? Hanya 
karena dia sudah memberiku makan setiap hari?" Aku nyaris membanting baskom 
berisi adonan. 

"Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu karena umurnya yang sudah tidak 
muda. Dia mengalami perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit. Untuk 
membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual perhiasannya. Paling tidak, 
hormatilah pengorbanannya itu!" Tante Lin mencoba menasihati.

"Oh. jadi sekarang dia menuntut penghormatan?"

"Bukan begitu, tapi.."

"Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma pasti tahu ketika Mama berniat 
untuk menggugurkan kandungan," cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku lemah, 
tapi tidak menjawab.

"Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya? Atau, malah justru membantu dengan 
senang hati?" tanyaku, sinis.

"Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali punya keinginan, tidak ada 
orang lain yang bisa melawannya. Sifatnya keras sekali. Kami tak bisa berbuat 
apa-apa," kata Tante Lin, berdalih.

"Ceritakan Tante, seberapa keras keinginan Mama untuk melenyapkan aku?" Aku 
segera duduk di depannya. Tante Lin terperangah, menyadari kata-katanya yang 
salah, lalu meralatnya.

"Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang sebenarnya. Jangan khawatir, aku tak 
akan mati terkejut," desakku lagi. "Coba ceritakan, apa lagi yang dilakukannya?"

Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika matanya bertabrakan dengan 
mataku, ia akhirnya menyerah. "Dia. dia. pernah membanting-banting tubuhnya 
sendiri di lantai, memukuli perutnya dengan kayu.," ujar Tante Lin 
terbata-bata. 

"Apa lagi?" bisikku, mencoba menguatkan hati.

"Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum gugur juga, dia nekat pergi 
ke dukun. Segala macam alat digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai. dukun 
itu berdiri di perut mamamu, lalu menginjak-injaknya.," kata Tante Lin.

"Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah menyangka kau akan terlahir cacat dan 
menanggung malu seumur hidup.."

"Apakah. Mama menyesal ketika melihat keadaanku?"

"Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus bagaimana. Dia sempat 
menawarkan kepada orang lain untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau 
menerima bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri karena tidak siap 
menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia mulai menyesal dan berniat untuk 
membesarkanmu." Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya. Di wajahnya 
terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal. 

"Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak pergi meninggalkannya, ini 
tidak akan terjadi. Dia mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima 
pengkhianatan papamu." 

Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali setiap kata yang barusan 
kudengar. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan 
menyendiri di kamar. Membayangkan detail kisah itu tidak saja membuat jiwaku 
tersiksa, tapi aku juga merasa tak berharga sama sekali. Kini aku tahu, kenapa 
Mama sulit menerima kehadiranku sebagai anak. Penghalang utamanya adalah 
kebenciannya yang begitu dalam pada Papa. Itulah yang ditumpahkannya padaku. 
Kenapa aku yang dijadikan alat pelampiasan sakit hatinya? 

Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga. Tak ada nilainya. Tak ada 
artinya. Selama beberapa hari, hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di 
otakku. Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya sinar kehidupan. 
Tiba-tiba, jalan keluar mulai terlihat, menggoda hatiku untuk melakukannya. 
Lama-kelamaan, pikiran itu makin mendekati kenyataan ketika kemudian aku 
menemukan semprotan obat nyamuk di pojok kamar. 

Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup. Baik, aku akan membantunya 
sesegera mungkin mewujudkan keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada, kebencian 
Mama pada Papa mungkin bisa lenyap. Tanggungan hidup Mama juga akan berkurang 
satu karena dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku. Kalau aku 
mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam pusaran dendam pada ibu kandungku 
sendiri. Aku mencintainya, aku tak ingin membencinya.. 

Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan cairan berbau itu ke dalam 
kerongkonganku. Rasa panas yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha 
menarik apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda beterbangan jatuh. Suaranya 
berisik. Pandangan mataku mengabur, lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku 
terempas, sempat kuingat ada tangan yang merogoh mulutku, sementara tangan yang 
lain menekan tengkukku dengan kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang 
amat sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku terkapar. 

Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari benakku. Ketika membuka mata, 
aku mendapati diriku tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher. Setelah 
pandangan berkunang-kunang yang mengganggu itu hilang, aku menyeret kaki dan 
memaksanya keluar dari kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang, menandakan 
sudah pukul satu dini hari. 

"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi?" gumamku lirih, dengan tubuh lemas, 
bersandar di tembok dapur. Mama tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu. 
Buktinya, ia masih meneruskan kegiatannya menjerang air untuk menyeduh kopi.
"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? Biar dendam Mama terbalas. Biar hati 
Mama puas. Biar hidup Mama tak lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama 
ini? Kematianku?" cecarku, sambil bergerak maju menghampiri. 

Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang dipegangnya ke lantai. Cipratan 
kopi panas mengenai kakiku yang telanjang.

"Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih, diungkit-ungkit terus? Tidak 
bisakah kita hidup tanpa saling menyalahkan?" Tampak sekali Mama berusaha 
menekan amarah. Mukanya tegang dan bibirnya gemetar.

"Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi," ujarku, sinis.

"Jangan kurang ajar, Mei Cen!"

"Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya? Setelah usaha yang Mama dulu lakukan 
gagal, mestinya Mama berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan itu. 
Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama tinggal bilang saja, mau pakai cara 
apa? Terjun dari gedung tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi? Dengan 
senang hati aku akan melakukannya untuk Mama."

Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama mengacungkan telunjuknya di 
depan hidungku. 

"Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada di kepalamu? Setiap hari 
kita bertengkar tentang hal yang itu-itu juga! Kenapa Mama begini, kenapa Mama 
begitu. Berkali-kali dijelaskan tentang situasi yang menjepit waktu itu, kamu 
masih tidak bisa mengerti juga. Mama tidak punya pilihan lain waktu itu, Mei 
Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat 
masalah? Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Seorang wanita setengah 
tua, yang ditinggal mati suaminya tanpa warisan? Sendirian bekerja untuk 
menghidupi seisi rumah dengan penghasilan pas-pasan. Apakah itu beban yang 
ringan?"

"Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu sebagai kesalahan. Itu 
masalahnya!" jeritku, sakit hati. 

"Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat? Tidak ada manusia yang bisa 
menentang kehendak takdir. Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada 
yang menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak mampu membiayaimu 
berobat. Lihat sendiri keadaan kita, Mei Cen. Untuk makan saja kita harus 
berhemat, belum lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain. Sekarang kamu bicara 
dengan lagak orang paling pintar sedunia! Main tuding. Ini salah, itu salah! 
Hei, kamu sadar tidak? Semua yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih payah 
Mama. Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi! 
Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!"

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa sial. 
Itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini.

"Mama tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai sekarang, tanggungan Mama 
berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk 
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan pernah 
menginjak rumah ini lagi. Aku tidak akan pernah mengganggu hidup keluarga ini 
lagi karena aku tidak pernah diharapkan ada di sini! Akan kubuktikan, aku bisa 
hidup tanpa kalian!" jeritku membabi-buta, menerjang kamar dan langsung 
mengambil tas di atas lemari.

"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah 
ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting! 
Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing. Sudah besar malah tambah bikin 
masalah! Anak kurang ajar! Anak durhaka kamu! Makin cepat kamu keluar dari 
rumah ini, makin baik!" teriak Mama, tak kalah seram, kali ini dengan melempar 
beberapa piring ke arah pintu kamarku. 

Sambil terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku pelajaran, ijazah dan 
surat-surat penting, tiga helai baju yang kubeli dengan uangku sendiri, dan 
selimut tua milik Oma. Aku harus keluar dari rumah ini. Harus! Tak ada lagi 
yang bisa menahanku lebih lama di sini. Aku cuma seorang manusia cacat tak 
berguna. Benalu yang membebani. Kenapa Yang Kuasa tidak mencabut nyawaku saja? 
Tak ada arti lagi hidupku kini. 

Selama beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang keputusanku untuk pergi. 
Masalahnya, aku tidak punya tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya. Dengan 
menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku membulatkan tekad untuk 
keluar dari rumah ini. Menjelang matahari terbit, dengan lunglai aku 
menyampirkan tas di bahu dan beranjak membuka pintu depan. Derit suaranya yang 
khas membuatku terkesima. Mungkin, ini saat terakhir aku bersentuhan dengan 
pintu kayu yang besar ini. Tanpa sadar kuusap cat cokelatnya yang sudah 
terkelupas. Perlahan aku berjalan menjauhi rumah, tempat aku dibesarkan, 
meninggalkannya setapak demi setapak. Kedua tanganku menggenggam erat secarik 
kertas bertuliskan sebuah alamat
 

Yogyakarta
Juni 1987 - 1993
Mulutnya menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu dilepas. Ia menatap, 
menyelidik. Beberapa detik kemudian, ia membuka gerendel pintu.

"Mei Cen?" tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk kuat-kuat sambil menggigil 
kedinginan. Hujan lebat membuat pakaianku melekat di sekujur kulit. Perutku 
terus berbunyi, lantaran belum diisi sejak kemarin. 

"Pasti ada sesuatu yang sangat serius sehingga kamu menemui Ibu di sini," 
katanya, heran dan curiga. Ia menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan 
menyuruhku membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha menahan diri untuk tidak 
bertanya macam-macam. Ia adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi, karena 
selalu memberiku semangat. Sayangnya, ia harus pindah tugas ke Yogyakarta. 

Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng teri, aku duduk di depan Ibu 
Minarni yang menunggu ceritaku. Dengan getir aku mengulang kisah hidupku, sejak 
lahir hingga detik-detik terakhir pertengkaranku dengan Mama. Kedua mata Ibu 
Minarni tampak berkaca-kaca. 

"Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya tinggal di sini sampai 
mendapat pekerjaan. Saya janji, tidak akan membuat Ibu susah. Saya akan 
mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, cuci baju, 
semuanya, apa saja, asalkan diizinkan menumpang di sini, Bu. Tidur di lantai WC 
pun tak apa-apa. Ibu tak perlu memberi saya makan. Ibu boleh memperlakukan saya 
sebagai pembantu," tuturku. Setelah beberapa menit berlalu tanpa ada reaksi 
apa-apa, aku mendongak.

Ibu Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku. "Ibu tahu perasaanmu, Mei Cen. 
Tapi, melarikan diri bukan jalan keluar yang baik. Keluargamu pasti sangat 
khawatir. Apalagi, mamamu.."

"Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama tidak melarangku, bahkan 
mengusirku."

"Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu melontarkan kata-kata yang 
bukan maksudnya."

Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu Minarni, aku tahu apa yang 
sebenarnya ingin dia sampaikan.

"Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan permintaanku," kataku.

"Kamu mau ke mana?" Ibu Minarni ikut berdiri.

"Pergi."

"Lho? Bukankah kamu ingin menemui Ibu?"

"Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, 'kan? Ibu tidak percaya cerita 
saya, 'kan?" sergahku, sengit. 

"Jangan buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa tidak enak dengan keluargamu, 
jangan-jangan mereka menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari rumah. 
Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap orang tuamu."

"Percayalah, Bu. Mama tidak akan pernah merasa kehilangan. Ia tidak mungkin 
mencari, apalagi lapor kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih 
menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti saya."

"Hus, jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebaikan, 
menurut rupa dan teladan-Nya. Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak 
berguna. Baik, kau boleh tinggal di sini. Ibu akan menganggapmu sebagai anak. 
Ingat itu! Tapi, asal kamu tahu, Ibu bukan orang kaya. Artinya, kamu harus 
menerima ikan asin dan tempe sebagai makanan sehari-hari. Setuju?"

"Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan menyusahkan Ibu. Tidak akan 
pernah!" tekadku. 

"Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Ibu akan tetap 
memberi tahu keluargamu," katanya, tegas.

Sejak itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan mulai mengerjakan pekerjaan 
rumah tangga. Ketika Ibu Minarni bangun, rumah sudah rapi dan sarapan sudah 
terhidang. Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu menjajakannya ke beberapa 
warung dan toko. Dari 30 tempat yang kudatangi, hanya satu yang bersedia 
menampung kue-kue buatanku. 

Dalam beberapa bulan, aku berhasil menjaring dua toko lagi. Uangnya aku gunakan 
untuk membayar rekening listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun 
kemudian, Ibu Minarni mengajakku berbicara dengan raut muka serius. Aduh, 
inilah saat yang paling kutakuti! Ibu Minarni pasti mengusirku! Mungkin, ia 
akan mengontrakkan rumah ini kepada orang lain atau mungkin membuka kos-kosan.

"Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih kembali. Itu bagus. Tapi, 
Ibu ingin agar kamu bisa lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin.," Ibu Minarni 
sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan dugaanku?

"Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya minta maaf karena 
banyak merepotkan Ibu. Kalau saya harus pergi, saya ingin.," kataku 
terbata-bata, menahan isak.

"Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah.."

"Kuliah? Di sini? Tapi.."

"Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu. Sayang jika masa depanmu 
lewat begitu saja. Otakmu cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu 
Minarni, lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.

"Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu, belajar sungguh-sungguh 
supaya bisa lulus dengan nilai baik. Supaya kamu bisa datang menemui mamamu dan 
mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai sebuah kebanggaan," katanya, 
sambil mengusap rambutku. 

Kuliah? Aku tidak sedang bermimpi bertemu malaikat kebajikan, 'kan? Sesaat aku 
ragu, tapi senyuman Ibu Minarni menggambarkan ketulusannya. 

Tahun pertama kuliah terasa sangat menegangkan. Perasaan minder yang hebat 
kembali timbul dan membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke mana 
saja aku melangkah, rasanya setiap mata mengikuti. Hanya segelintir teman yang 
benar-benar bisa menerima keadaanku. 

Aku sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa bertemu sosok penolong 
seperti Ibu Minarni. Dia begitu rajin memperkenalkanku dengan Tuhan, yang tidak 
pernah kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh kesahku dan giat 
menyemangatiku. Akan kubuktikan pada Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa 
dianggap remeh. 

Di tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu banyak dikejar-kejar 
berbagai tugas, Ibu Minarni menyuruhku mengikuti bermacam kursus. Mulai dari 
komputer, bahasa Inggris, sampai kursus keterampilan. Bersama dua teman yang 
punya minat sama, kami belajar membuat lilin hias dalam bentuk dan warna 
menarik, lalu menjualnya saat bazar kampus. Di luar dugaan, semuanya laris 
terjual. 

Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di antara ratusan orang yang 
diwisuda. Terpincang-pincang aku menerima ijazah dan ucapan selamat dari para 
dosen. 

"Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!" Ibu Minarni memelukku 
erat-erat, sambil tersenyum puas. 

"Terima kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa kebaikan Ibu bisa saya balas," 
kataku, penuh haru. Ibu Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia seperti 
teringat sesuatu. 

"Kamu harus segera memberi tahu keluargamu di Siantan. Harus! Tidak boleh 
tidak!" tegas Ibu Minarni. Aku seperti terkena tembakan tepat di jantung. "Ah, 
tidak, Bu! Nanti saja! Saya belum siap bertemu mereka."

"Kau tidak akan pernah siap selama hatimu terus dipelihara oleh dendam dan 
kebencian, Mei Cen. Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu 
satu-satunya jalan."

Aku memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah. sayang, Ibu berhati malaikat ini bukan 
orang tua kandungku. Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh kasih seperti dia. 
Seandainya saja aku punya kebebasan untuk memilih siapa yang melahirkanku ke 
dunia.

"Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!" tegasku. Kali ini dengan nada 
dingin yang tak bisa kututup-tutupi. Tak sadar, rahangku mengeras karena 
desakan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Memaafkan Mama? Mungkin, 
itu satu-satunya hal yang akan kulakukan jika langit runtuh.

Jakarta
September 2003
Tampaknya, penduduk kota ini selalu kesetanan setiap hari Senin. Buktinya, 
pukul tujuh pagi, jalan-jalan sudah dipadati kendaraan. Ditambah genangan air 
di sana-sini, sisa hujan semalam. Jika tidak telanjur janji dengan Pak Bramanto 
untuk menyelesaikan proposal proyek, aku tidak rela harus terjebak macet 
seperti ini. 

Sudah hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta. Pertemuanku dengan Otto 
Schmidt, orang Jerman yang tertarik pada pernak-pernik buatanku, membuka 
sedikit pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi stan kami di acara 
pameran kecil di Yogya. Perbincangan kami lalu berlanjut ke tahap penjajakan 
kerja sama dalam bidang art & craft. Ia menyediakan sebagian besar modal dan 
bertanggung jawab atas pemasaran. Aku dan dua temanku menangani manajemen dan 
produksi. Malah, kami juga mengembangkan sayap ke bidang dekorasi rumah dan 
gedung.

Sampai di kantor, Mona sudah menghadangku. Tangannya menggenggam buku agenda 
dan beberapa surat. "Maaf, Bu, Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat ditunda 
hingga pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru melahirkan," katanya, 
cepat.

"Oh, ya?" ujarku, mengembuskan napas kesal. 

"Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit sekali menghubungi Ibu."

"Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?"

"Pukul sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen Perindustrian. Pukul empat 
sore Ibu diundang ke peresmian mal baru," jelas Mona. Setelah menyerahkan 
beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku menyampirkan blazer hijau lumut 
pada sandaran kursi putar, lalu menekan beberapa angka di mesin telepon.

"Ibu, ada apa?"

"Mei Cen, selamat ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan memberkatimu dengan rahmat dan 
kebijakan," sapa Ibu Minarni di ujung sana. "Hadiahnya ada di mejamu."

Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai penerbangan menarik perhatianku. 
Isinya, selembar tiket pesawat.

"Pontianak?"

"Kau tidak ingin menengok keadaan Mama? Kau tidak ingin menjemputnya supaya 
bisa melihat kehidupanmu sekarang?"

Astaga, lagi-lagi topik yang sangat tidak kusukai itu muncul. 

"Tidak sekarang, Bu," jawabku pendek, sambil menaruh amplop itu di dalam laci 
dan menguncinya.

"Kenapa kau senang mengulur waktu, Mei Cen? Tidak baik memelihara dendam. Kamu 
sudah dewasa, sudah tahu yang benar dan yang salah. Jangan berkubang di dalam 
masa lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih, kerugian yang akan kau 
dapatkan kalau memberi maaf pada ibu kandungmu sendiri?" Suara Ibu Minarni 
meninggi. 

"Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini, 'kan? Saya baru saja terjebak 
macet selama tiga jam dan belum sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa, 
sih, Ibu belum bosan juga membahas masalah ini?"

"Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari Erwan?"

"Tidak ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada Erwan, jawabanku tetap sama. Aku 
tidak akan pulang menemui mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Titik."

"Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di atas pasir," keluh Ibu 
Minarni. Kau sedang mengerjakan hal yang sia-sia. Berdiri di tempat pijakan 
yang sama sekali tidak kokoh, malah makin menenggelamkan kakimu. Jangan beri 
tempat untuk amarah. Ingat itu baik-baik!" Ibu Minarni memutuskan hubungan. Aku 
termangu, mencerna setiap ucapannya. 

Erwan. Kenapa nama itu harus terdengar lagi? Pria yang katanya mencintaiku apa 
adanya itu lebih memilih ibunya daripada bersanding denganku. 

Otto Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku sebagai pengusaha properti yang 
masih lajang di usia 38. Setahun lamanya kami berteman, hingga suatu malam ia 
mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu saja, aku bersedia, karena ia 
bersumpah akan benar-benar menerima semua kekurangan yang aku miliki. 

"Tidak malu punya istri cacat?" tanyaku, sungguh-sungguh.

"Ah, yang penting kan kecantikan hati!" tegasnya. Ia bilang, kekuatan cinta 
kami akan sanggup mengalahkan semua perbedaan yang ada. 

Saat Tahun Baru, Erwan mengajakku makan malam di rumahnya. Ketika melihat 
pandangan mata ibunya yang terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi masalah 
serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya rumah bergegas pamit ke 
kamar dengan alasan kurang enak badan.

"Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang tuamu?" tanyaku, sambil 
melempar serbet.

"Sudah, tapi tidak detail," jawab Erwan, salah tingkah. "Tenanglah, aku, toh, 
sudah memilihmu. Aku akan membicarakannya dengan Mama," janji Erwan. Aku tidak 
menemukan kejujuran di matanya. 

Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah kusut masai, aku tahu bahwa 
hubungan kami tinggal tumpukan abu. "Maafkan aku." Cuma itu. 

Untuk kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak yang kalah. Pihak yang 
tidak berhak menerima sebongkah cinta. Satu-satunya orang yang patut disalahkan 
adalah Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut kebahagiaanku? Kenapa dia begitu 
kejam merampas hakku untuk hidup seperti perempuan normal lainnya? Makin aku 
memikirkan jawabannya, aku jadi makin gila. Dan, makin membenci Mama.

Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. "Maaf, Bu, ada seorang ibu mau 
bertemu dengan Ibu. Namanya Lin."

"Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa diganggu."

Kejutan. Dari mana Tante Lin tahu alamatku? Pasti dari Ibu Minarni. Hmm, mau 
apa dia datang ke sini menemuiku? Sendiri atau bersama. ah, masa bodoh! Aku 
sudah bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan mereka lagi. Aku tak mau 
menemuinya!

Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap menghadiri peresmian gerai baru 
kami di sebuah mal, Mona menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih setia 
menunggu di ruang tamu.

"Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!"

"Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan menginap di sini."

"Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia macam-macam!" bentakku jengkel. Apa, 
sih, maunya Tante Lin?

Selama tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan, wanita itu tetap tidak 
beranjak dari kursinya. Ia tetap ingin bertemu denganku. Penting sekali, 
katanya. Di hari keempat, aku terpaksa mengalah, membuka pintu ruang kerjaku 
dan mengundangnya masuk. Tante Lin berjalan pelan, sambil mengedarkan 
pandangan. Kami duduk berhadapan seperti orang asing, saling menunggu lawan 
bicaranya buka mulut terlebih dulu. Akhirnya, aku tak bisa menahan diri lebih 
lama.

"Ada apa, Tante? Uang yang aku kirim kurang? Kurang berapa?"

Tante Lin menatapku gusar. "Bukan masalah uang. Tapi, masalah kesombonganmu! 
Kamu sengaja tidak mau menemui Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu 
berhari-hari. Kamu benar-benar keterlaluan!"

"Salah siapa? Aku tidak pernah mengundang Tante Lin. Jadi, kalau aku tidak mau 
menemui tamu yang tidak aku kehendaki, wajar, 'kan?" cetusku, sambil 
menyipitkan mata.

"Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang kaya, Mei Cen. Tapi, jangan 
kurang ajar pada keluarga sendiri. Jangan lupa diri. Jangan mentang-mentang.."

"Kirana. Namaku sekarang Kirana," ujarku, meralat. "Sudahlah, Tante, kurang 
berapa?" potongku jemu, lalu menarik laci meja di sebelah kananku. Aku 
mengeluarkan segepok uang, lalu menaruhnya di meja. "Ini, lima juta."

"Kamu betul-betul keterlaluan!" Tante Lin mengacungkan telunjuknya di depan 
hidungku. "Tante datang cuma untuk menyampaikan kabar bahwa mamamu sedang 
sakit. Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh. Dia sangat 
mengharapkanmu pulang."

"Untuk apa? Aku, toh, bukan anaknya!"

"Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei Cen. Sudah kewajibanmu sebagai 
anak untuk merawat orang tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar." 

Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang merayap.

"Aku sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan aku mengirimkan uang 
sebagai pengganti semua biaya yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan yang 
dia minta? Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku tidak punya urusan apa-apa 
lagi. Silakan ambil uang itu, Tante! Aku masih banyak pekerjaan," ucapku, 
sambil melangkah ke arah pintu.

"Kami tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat! Kau pikir, dengan 
mengganti nama dan identitas, kamu bisa melupakan asal-usulmu begitu saja? Kau 
ingin melenyapkan masa lalu? Tidak mau berhubungan dengan kami lagi? Sungguh 
besar dendammu pada kami!"

Bagai disiram bensin berliter-liter, amarahku tersulut. "Ya, aku memang dendam! 
Dendam seorang anak yang hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat 
tanganku! Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua? Apakah Mama pernah mengakui 
kesalahannya, satu kali saja? Apakah pernah dia minta maaf padaku atas 
percobaan pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu? Apakah dia peduli pada masa 
depanku dan kebahagiaanku yang terampas?" teriakku, kalap. Tante Lin terenyak 
mundur. 
Sambil berlinang air mata, aku meratap lirih, "Siapa yang pernah peduli pada 
perasaanku? Selalu dianggap tak ada. Bahkan, kalian sepakat mengecapku sebagai 
anak pembawa sial yang harus diusir keluar dari rumah. Tante tahu, bagaimana 
perasaanku selama belasan tahun? Sakit sekali. Padahal, aku hanya minta satu 
hal. Aku hanya ingin Mama menyampaikan penyesalan. Cuma itu! Terlalu kurang 
ajarkah permintaan itu?" 

"Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia ingin.."

"Maaf, banyak pekerjaan yang menunggu." Cepat-cepat aku mengeringkan mata, lalu 
membuka pintu lebar-lebar. Sesaat Tante Lin ternganga, kaget melihat sikapku. 
Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah bungkusan tipis dan menyerahkannya 
padaku.

"Hadiah ulang tahun dari Mama."

Aku menatap bungkusan itu dengan sinis. "Tumben, dia ingat ulang tahunku. 
Bilang padanya, terima kasih untuk kadonya yang sangat berharga. Tapi sayang, 
aku tak mau menerimanya." 

"Mei Cen!"

"Maaf, Tante. Selamat siang!" 

Tante Lin memandangku dengan marah. Setelah puas beradu mata, ia berbalik 
pergi. Saat bayangannya menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya, sukmaku mati 
rasa. 

Kenapa setiap kali aku ingin melupakan semuanya, selalu ada yang kembali 
mengungkit luka itu? Tak bisakah aku kini membangun kembali puing-puing 
keruntuhan hidup, tanpa harus direcoki percikan-percikan api masa silam?

Siantan, Pontianak
21 Juli 2004
Derit kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat lewat di depanku mendorong 
seorang kakek yang terbaring di ranjang beroda. Aku mengerjapkan mata, menyusun 
kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran di kursi. Semalaman aku bolak-balik 
mengintip keadaan Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya keberanian 
untuk menemuinya. 

Ketika mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit menyesal karena tidak 
langsung menanggapi telepon dari Tante Lin, yang sudah menghubungiku selama 
sebulan terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku tahu, mungkin tak 
banyak lagi waktu tersisa. 

Aku beranjak menuju ruang perawat. Informasi yang kudapat sungguh mengejutkan. 
Keluarga sudah membawa Mama pulang satu jam yang lalu.

"Memangnya, sudah sembuh?" tanyaku, penasaran. 

"Keluarganya ingin merawat di rumah saja," kata seorang perawat.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal menunggu waktu saja," ucap 
perawat itu. 

Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan. Menunggu waktu. Maut sudah di 
ambang pintu. Mati.

Akhirnya, langkah kaki membawaku kembali ke pintu kayu yang sudah kusam dan 
terkelupas itu. Mataku berkaca-kaca. Inilah rumah yang pernah kutinggali dulu, 
saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa. 
Aku melambatkan langkah, menyusuri jejak masa kecilku. Beberapa pojok ruangan 
tampak kotor dan tak terawat. 

Rupanya, seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Mata mereka terbelalak 
ketika melihatku. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat ke pembaringan. Bau 
kotoran manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan bau apak. Entah siapa 
yang mengomando, satu per satu mereka keluar. 

Dengan pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari balik selimut tipis, aku 
melihat tonjolan tulangnya. Mukanya tirus. Kedua matanya terpejam. Tangannya 
terlipat di dada. Lima belas menit aku hanya memandangi wajah Mama. 

Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke telinganya dan berbisik 
menyapanya. Sungguh, saat ini tak tersisa benci dan dendam dalam diriku. Aku 
sudah melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata dengan Mama, menghiburnya, 
menjaganya.

"Mama, bisa dengar suaraku? Aku ingin minta maaf. Semestinya, aku bisa datang 
lebih cepat. Aku takut kita akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut Mama 
akan mengusirku lagi." Kuusap tangan Mama yang keriput. 

Kubelai wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Hal yang tidak 
mungkin aku lakukan dulu. Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama hanyalah 
angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya. Tapi, ironisnya, dia tak 
sadarkan diri.

"Mama, banyak hal yang ingin kuceritakan. Mama tahu, aku tidak lagi menjual kue 
seperti dulu. Aku sudah tamat kuliah. Aku ingin minta maaf untuk semua 
kesalahan yang pernah kulakukan. Aku sering membuat Mama marah.." Aku terus 
berupaya membangunkan Mama. 

Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa henti. Tiba-tiba sepasang 
tangan menyentuh bahuku.

"Dia sudah meninggal tadi pagi.," bisik Tante Lin. Bisikan itu sangat lembut, 
tapi efeknya sangat luar biasa. Sesaat aku termangu. Rasanya, sekujur tubuhku 
kosong. Hampa dan sunyi.

Baru kusadari, kepergian Mama membawa pergi sebelah hatiku. Belum sempat kami 
merekatkan kepingan-kepingan yang terko-yak, Tuhan memanggilnya. Aku menguatkan 
hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran air mata jatuh juga di pangkuanku. 

"Dia pergi sambil membawa penyesalan," ujar Tante Lin, serak. "Penyesalan 
karena kau tidak pernah tahu bahwa ia sudah menyadari kesalahannya, karena kau 
menolak hadiah darinya." 

"Hadiah? Hadiah apa?" aku memalingkan wajah pada Tante Lin.

"Aku membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun lalu. Kau sama sekali tidak 
mau menerimanya, bukan?" ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku menggeleng 
lemah. 

"Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah lumpuh. Bicara tidak jelas. Ia 
minta disediakan kertas dan tinta. Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata 
itu dengan tangan kirinya. Ia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. 
Harus. Surat ini hadiah ulang tahunmu. Ia ingin kau tahu, sebenarnya ia 
menyayangimu." 

Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil sesuatu, lalu mengangsurkan 
sebuah bungkusan.

Tak sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan kertas di dalamnya. 
Tangisku tak terbendung. Pertahanan diriku bobol sudah. Alangkah egoisnya aku! 
Alangkah jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar suaraku? Aku mohon, beri aku 
kesempatan sekali lagi. Aku mohon! Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini saja! 

Sambil terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi kertas dalam genggaman 
tanganku. Tulisan yang tertera di kertas itu tampak dibuat dengan susah payah. 
Bentuknya acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih buram itu hanya bertuliskan 
satu kata: M A A F


Tamat

Kirim email ke